Breaking News

Opini

Revisi UU Pemilu dan Pembaruan Demokrasi Aceh

Revisi tersebut bukan hanya upaya teknis memperbaiki tahapan atau mekanisme elektoral, tetapi juga momentum refleksi dan koreksi

Editor: mufti
KOMPAS.COM
Titi Anggraini, Pengajar Hukum Pemilu FHUI, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) 

Titi Anggraini, Pengajar Hukum Pemilu FHUI, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

REVISI Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) merupakan legislasi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025 dan 2026. Revisi tersebut bukan hanya upaya teknis memperbaiki tahapan atau mekanisme elektoral, tetapi juga momentum refleksi dan koreksi terhadap tata kelola demokrasi di daerah-daerah yang memiliki kekhususan, terutama Aceh. Sebagai satu-satunya provinsi dengan status otonomi khusus yang mencakup kewenangan politik paling luas, pembaruan pengaturan pemilu dan pilkada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan hal yang tidak terhindarkan.

Selama hampir dua dekade, UUPA menjadi pilar utama pengaturan penyelenggaraan pemerintahan dan demokrasi Aceh. Namun dalam kurun waktu itu pula, banyak perubahan mendasar terjadi dalam sistem hukum, kelembagaan, dan praktik politik nasional. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus sejumlah perkara yang secara langsung maupun tidak, berdampak pada pengaturan demokrasi Aceh. Karena itu, memperbarui ketentuan pemilu dan pilkada dalam UUPA adalah suatu keniscayaan. Baik untuk menindaklanjuti putusan-putusan MK maupun untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan praktik demokrasi dan tata kelola pemilu yang semakin kompleks dan menuntut integritas lebih tinggi.

Menuju konsolidasi

UUPA lahir pada 2006 dalam atmosfer politik yang sangat berbeda dengan hari ini. Saat itu, Aceh baru saja keluar dari konflik panjang melalui perjanjian damai Helsinki pada 2005. Undang-undang ini lahir dari semangat rekonsiliasi dan stabilisasi politik. Pengakuan terhadap partai politik lokal, mekanisme pemilihan kepala daerah yang khusus, serta penyelenggara pemilu yang khas menjadi bagian dari formula politik hukum yang dirancang untuk menjaga kedamaian dan memberi ruang bagi rekonstruksi politik Aceh. Dalam konteks itu, UUPA adalah hasil kompromi politik yang berfungsi ganda. Sebagai instrumen integrasi nasional sekaligus mekanisme penyembuhan luka sosial-politik pascakonflik.

Namun dua puluh tahun kemudian, tantangan Aceh berubah. Demokrasi di Aceh bukan lagi sebatas rekonsiliasi, tetapi tentang konsolidasi. Permasalahannya tidak sekadar terletak pada legitimasi partai lokal atau penerimaan terhadap sistem politik nasional, tetapi pada bagaimana memastikan bahwa sistem demokrasi yang telah berjalan mampu menghasilkan pemerintahan yang akuntabel, kompetitif, dan berintegritas. Dalam dua dekade terakhir, berbagai dinamika menunjukkan bahwa demokrasi di Aceh menghadapi problem serupa dengan daerah lain, bahkan dalam beberapa hal lebih serius.

Fakta lapangan menunjukkan partai politik lokal yang dulu diharapkan menjadi wahana artikulasi aspirasi rakyat kini mulai mengalami tantangan kaderisasi, problem akuntabilitas manajemen, dan ketergantungan pada elite. Persaingan elektoral di Aceh juga tidak lepas dari politik transaksional dan patronase, bukan pada pertarungan gagasan dan program. Kekerasan politik yang bernuansa lokalisme masih sesekali muncul. Fenomena ini menunjukkan bahwa keistimewaan politik Aceh belum sepenuhnya menghasilkan demokrasi yang lebih berkualitas. Meski kita sama-sama paham bahwa semua butuh proses serta tidak semua prasyarat yang dibutuhkan tersedia memadai.

Selain itu, persoalan kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh juga membutuhkan perhatian serius. Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih), yang dibentuk berdasarkan UUPA, berada dalam posisi yang sering kali tidak jelas di antara dua yurisdiksi. Tunduk pada pengaturan UUPA di satu sisi, namun secara fungsional tetap berada dalam sistem hierarkis nasional di bawah supervisi KPU dan Bawaslu. Ambiguitas ini beberapa kali menimbulkan perselisihan, baik terkait rekrutmen anggota maupun pelaksanaan tahapan. Dalam sejumlah kasus, ketegangan itu muncul karena regulasi yang dinilai tidak sinkron antara UUPA dan UU Pemilu/Pilkada.

MK telah memberikan sejumlah koreksi terhadap inkonsistensi tersebut. Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 meneguhkan pengakuan konstitusional terhadap kesinambungan eksistensi calon perseorangan di Aceh. MK menegaskan bahwa keistimewaan Aceh tidak boleh mengurangi hak konstitusional warga negara, dan calon perseorangan harus tetap diperbolehkan berlaga dalam pilkada di Aceh sebagai bagian dari jaminan hak politik yang setara bagi seluruh warga Indonesia.

Sedangkan Putusan MK No. 61/PUU-XV/2017 menyebut bahwa KIP dan Panwaslih di Aceh bukan lembaga yang berdiri di luar sistem nasional, melainkan bagian integral dari penyelenggara pemilu nasional yang memiliki latar historis khusus. Oleh karena itu perubahannya harus dikonsultasikan dengan DPRA untuk menjaga semangat otonomi khusus Aceh tanpa menabrak prinsip kesatuan sistem pemilu nasional.

Pelopor demokrasi

Keistimewaan Aceh seharusnya tidak berhenti pada perbedaan bentuk atau tata cara, melainkan dimaknai sebagai peluang menampilkan kualitas demokrasi yang lebih baik. Kekhususan tidak seharusnya sekadar simbol politik, tetapi menjadi sarana untuk memastikan bahwa proses demokrasi di Aceh bisa berlangsung lebih adil, transparan, dan berintegritas dibanding daerah lain. Bukan sekadar lex specialist, tetapi juga special in substance. Maka, pembaruan UUPA menjadi krusial bukan untuk menghapus kekhususan Aceh, melainkan untuk memastikan agar tetap relevan dan konstitusional. Pengaturan tentang partai politik lokal, mekanisme pencalonan kepala daerah, dan desain kelembagaan penyelenggara pemilu perlu dievaluasi. Partai politik lokal harus bisa memenuhi standar transparansi keuangan dan kaderisasi politik agar tidak menjadi kendaraan pribadi elite. Mekanisme pencalonan kepala daerah sebaiknya membuka ruang yang adil bagi semua partai, tanpa menciptakan kartelisasi apalagi koalisi tunggal yang menutup kompetisi.

Penyelenggara pemilu di Aceh harus dirancang dengan mekanisme seleksi berbasis merit dan profesionalisme yang terukur, bukan representasi politik. Konsep check and balances dalam proses seleksi harus dihadirkan guna mencegah hegemoni legislatif (legislative heavy) yang rentan menggerus kepercayaan publik. Jaminan keterlibatan dan pengawasan publik juga mesti diatur eksplisit. Revisi UUPA juga penting dalam konteks sinkronisasi dengan arah perubahan nasional. Misalnya, pemisahan antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah berdasarkan Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang akan memengaruhi penjadwalan pemilu di Aceh dan akhir masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRA/DPRK.

Jelang dua puluh tahun pelaksanaan UUPA adalah momen refleksi yang berharga. Aceh telah berhasil menjaga perdamaian dan stabilitas politik, tetapi kini harus melangkah ke tahap berikutnya, yakni penguatan kualitas demokrasi. Keistimewaan tidak boleh berhenti pada identitas simbolik, melainkan diwujudkan dalam praktik politik yang bersih, kompetitif, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Pembaruan UUPA melalui koherensi dengan revisi UU Pemilu harus dipahami sebagai bagian dari agenda memperkuat demokrasi yang lebih inklusif dan setara.

Melalui pembaruan tersebut, Aceh dapat menunjukkan bahwa otonomi khusus bukanlah privilese yang memisahkan, melainkan tanggung jawab untuk menjadi pelopor dalam memperjuangkan demokrasi yang bermartabat. Apalagi keistimewaan sejati bukan diukur dari seberapa berbeda Aceh dibanding daerah lain, melainkan seberapa unggul kualitas integritas, profesionalisme, dan keadilan politiknya.

Jika pembaruan UUPA mampu menjawab tantangan itu, maka Aceh akan tetap menjadi contoh keberhasilan demokrasi lokal yang tidak hanya damai, tetapi juga berkeadilan dan kredibel.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved