Kupi Beungoh
Retak Harmonisasi Kampus: Lemah Kebijakan Manajemen Konflik Perguruan Tinggi
Model konflik terjadi di lingkungan kampus bisa saja dalam bentuk konflik perselisihan verbal berupa ejekan, olokan, hinaan, dan makian
*) Oleh: Dr. H. Herman, M.A
KONFLIK di lingkungan kampus merupakan hal yang wajar, dan tidak dapat dihindari antara pimpinan dan warga kampus. Hanya saja setiap konflik yang terjadi bagaimana dikelola dengan baik supaya komunikasi tetap harmonis, kolaborasi tetap sehat, serta saling percaya, dan mempercayai semakin kuat antara pimpinan dengan warga kampus. Kegagalan dalam penyelesaian konflik di kampus dapat mengganggu aktivitas akademik, dan non akademik serta muncul komunikasi yang tidak sehat, terjadi kolaboratif dengan pihak orang sepaham saja, dan sirna kepercayaan antara pimpinan dengan warga kampus.
Model konflik terjadi di lingkungan kampus bisa saja dalam bentuk konflik perselisihan verbal berupa ejekan, olokan, hinaan, dan makian yang dapat menimbulkan trauma dan rasa takut bagi warga kampus. Kadang juga dalam bentuk konflik psikologis berupa tindakan seperti pengucilan dan pandangan sinis yang berdampak negatif terhadap emosional warga kampus. Kadang pula dalam bentuk konflik srtuktural, dan kelembagaan berupa ketidak adilan dalam penempatan sumber daya manusia, kurang merata beban kerja, keliru dalam pemberian penghargaan, dan sanksi kepada warga kampus, dan implementasi peraturan perundang-undangan yang banyak yang keliru di kampus. Sedangkan dalam bentuk konflik fisik dapat berupa tindakan agresif, seperti: mendorong, mengejar, dan memukul.
Muncul konflik di kampus bisa saja datang dari pimpinan, dosen, dan mahasiswa yang dipicu oleh berbagai macam perbedaan pendapat, berbagai macam perbedaan kepentingan, dan berbagai macam perbedaan nilai yang tidak sejalan terjadi di kampus. Pimpinan kampus yang tidak transfaran dalam pengambilan keputusan, atau tidak mendengar aspirasi dosen, dan mahasiswa dapat menjadi sumber konflik di kampus. Dosen yang tidak profesional dalam mengajar, atau tidak memberikan penilaian yang adil kepada mahasiswa juga dapat menjadi sumber konflik antara dosen dan mahasiswa.
Manajemen konflik memegang peran penting dalam mewujudkan lingkungan kampus yang harmonis. Harmonis lingkungan kampus tidak hanya sebatas melihat dampak hubungan interpersonal di lingkungan kampus semata, tetapi juga melihat dari dampak pengaruh terhadap kualitas perkuliahan yang kondisinya penuh dengan ketegangan atau perselisihan yang dapat mengganggu konsentrasi dosen, dan karyawan dalam menjalankan tugas pokok, dan fungsi (Tupoksi) mareka masing-masing di kampus.
Pimpinan kampus selaku top menejer memiliki tanggung jawab yang sangat signifikan dalam menciptakan lingkungan kampus yang harmonis melalui kebijakan manajemen konflik yang efektif. Dosen sebagai ujung tonbak kampus harus berperan aktif dalam mengidentifikasi, dan menganalis tanda-tanda kemungkinan terjadi konflik diantara sesama warga kampus, dan mahasiswa serta pihak eksternal kampus.
Lemahnya manajemen konflik di perguruan tinggi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya kemampuan, dan kesadaran pimpinan kampus akan pentingnya manajemen konflik. Kemudian tidak jelas dan terarah kebijakan manajemen konflik serta kurangnya sumber daya untuk menangani konflik. Dampak negatif dari lemahnya manajemen konflik di perguruan tinggi dapat berupa terjadinya konflik yang berkepanjangan, merusak reputasi perguruan tinggi, dan mengganggu proses perkuliahan di kampus.
Dari beberapa hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di lembaga pendidikan dapat membawa dampak positif, dan negatif. Dampak positif dari konflik, yaitu bersikap kooperatif, menaruh kepentingan terhadap lembaganya di atas kepentingan pribadi, menimbulkan kesadaran berorganisasi, bijaksana dalam mengambil kebijakan, dan menemukan solusi yang baik. Sedangkan dampak negatif, yaitu suasana kerja tegang, tidak nyaman, kurang semangat, sering terlambat dan tidak tercapai target kinerjanya.
Merujuk pada hasil penelitian tersebut, implementasi manajemen konflik di perguruan tinggi sangat urgen sekali dalam rangka menciptakan lingkungan kampus yang harmonis. Untuk itu manajemen konflik di kampus sangat perlu dibenahi, terutama terkait dengan perancangan, dan perumusan kebijakan anti konflik, kebijakan komunikasi terbuka, dan kebijakan pelibatan orang tua mahasiswa dalam membangun lingkungan kampus yang hasmonis.
Makna dan Peran Manajemen Konflik
Manajemen konflik kampus merupakan proses mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan konflik yang terjadi dengan cara-cara konstruktif, dengan tujuan menciptakan lingkungan kampus yang harmonis, kondusif, aman, dan nyaman bagi mahasiswa, dosen, dan karyawan kampus. Manajemen konflik tidak hanya difokuskan pada penyelesaian konflik yang sudah terjadi, akan tetapi juga pada pencegahan konflik agar tidak terjadi konflik atau masalah di masa depan (Dayu Ahmat, et. all., 2025).
Peran manajemen konflik di kampus sangat signifikan sekali, karena disamping mengidentifikasi, dan menyelesaikan konflik yang terjadi secara efektif dan efisien, juga dalam penyelesaian, dan penanganan konflik harus dapat menciptakan lingkungan kampus yang harmonis, dan hubungan pimpinan dengan warga kampus dan mahasiswa serta meningkatkan prestasi akademik mahasiswa, mengurangi stress, dan kecemasan yang dialami warga kampus serta mahasiswa akibat konflik (Sigit Haryato,et. all., 2024).
Kebijakan Manajemen Konflik di Kampus
Pimpinan kampus memiliki kewajiban untuk merancang, dan merumuskan kebijakan menajemen konflik dalam mewujudkan lingkungan kampus yang hasmonis (Yusra Jamali, et. all., 2018). Pimpinan kampus, dalam merancang, dan merumuskan kebijakan menajemen konflik harus melibatkan dosen dan karyawan dalam mengidentifikasi sumber konflik yang mungkin terjadi di kampus, membentuk tim manajemen konflik, dan mengembangkan kebijakan manajemen konflik yang jelas, terarah, dan transparan dalam menangani komflik yang terjadi.
Kebijakan manajemen konflik di kampus minimal ada tiga (3) kebijakan, yaitu kebijakan anti konflik, kebijakan komunikasi terbuka, dan kebijakan keterlibatan orant tua mahasiswa. Kalau ketiga kebijakan tersebut dapat direalisasikan dengan baik, maka akan terwujud lingkungan kampus yang harmonis secara permanen.
1. Kebijakan Anti Konflik
Kebijakan anti konflik merupakan suatu kebijakan yang dirancang, dan dirumus untuk mencegah, mengurangi, dan menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi di lingkungan kampus. Kebijakan anti konflik dibuat untuk menciptakan lingkungan kampus yang harmonis bagi semua pihak yang terlibat.
Kebijakan anti konflik dibuat dengan tujuan untuk mencegah tidak terjadi konflik yang tidak perlu, dan sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya konflik. Kebijakan anti konflik juga untuk mengurangi dampak negatif dari konflik yang telah terjadi, dan meminimalkan kerugian yang ditimbulkan akibat konflik yang telah terjadi. Selanjutnya kebijakan anti konflik untuk meningkatkan kepercayaan, dan kepuasan semua pihak yang terlibat dalam meningkatkan lingkungan yang harmonis di kampus (Dayu Ahmat, et. all., 2025).
Pimpinan kampus selaku pihak pengambilan keputusan dapat membuat kebijakan anti konflik dengan jelas, dan konsekuensi sanksi diterapkan kepada warga kanpus, dan mahasiswa yang terlibat konflik. Kebijakan anti konflik di kanpus adalah aturan atau norma yang melarang terjadinya konflik, atau bertentangan antara individu atau kelompok dalam lingkungan kanpus. Konsekwensi sanksi yang diberikan kepada pihak terlibat konflik dapat berupa teguran, penundaan hak, denda, pengucilan, dan tindakan hukum .
Larangan anti konflik yang dibuat oleh pimpinan kampus dapat berupa larangan kekerasan, larangan diskriminasi, larangan penghinaan, dan larangan penyebaran kebencian. Larangan kekerasan adalah larang berupa ancaman kekerasan dalam menyelesaikan konflik, dan larangan diskriminasi adalah larang berupa diskrimininasi berdasarkan ras, agama, jenis kelamin atau karakteristik lainnya yang bersifat diskriminatif. Sedangkan larangan penghinaan adalah larangan penghinaan atau pelecehan terhadap individu, dan kelompok serta larangan penyebaran kebencian atau provokasi yang dapat memicu konflik di lingkungan kampus.
Konsekwensi sanksi bagi yang terlibat dalam konflik adalah 1) saksi administratif, yaitu dapat berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat atau penurunan pangkat dosen, dan karyawan dan mahasiswa penundaan penyelesaian kuliah, 2) sanksi hukum, yaitu dapat berupa denda, hukuman penjara atau tindakan hukum lainnya sesuai peraturan yang berlaku, 3) saksi sosial, yaitu dapat berupa pengucilan, kehilangan kepercayaan, dan reputasi yang rusak, 4) saksi ekonomi, yaitu dapat berupa kerugian materiil, seperti ganti rugi atau kompensasi, 5) sanksi disiplin, yaitu dapat berupa penundaan atau pencabutan hak-hak tertentu pimpinan, dan warga kampus.
2. Kebijakan Komunikasi Terbuka
Komunikasi terbuka merupakan proses komunikasi yang memungkinkan semua pihak untuk menyampaikan pendapat, perasaan, dan kebutuhan mereka secara bebas dan jujur. Dalam konteks kampus, komunikasi terbuka antara warga kampus, dan mahasiswa dapat membantu mencegah konflik dalam upaya menciptakan lingkungan kampus yang harmonis.
Komunikasi terbuka dengan tujuan untuk mencegah konflik yang dapat timbul dari kesalah pahaman atau komunikasi yang tidak efektif dan untuk meningkatkan kepercayaan antara warga kampus dan mahasiswa. Kemudian untuk meningkatkan kualitas hubungan antara warga kampus, dan mahsiswa. Selanjutnya untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam upaya meningkatkan lingkungan kampus yang harmonis (Sigit Haryato, et. all., 2024).
Pimpinan kampus membuat kebijakan yang dapat mendorong komunikasi terbuka dengan warga kanpus, dan mahasiswa untuk mencegah, dan memecahkan masalah konflik. Kebijakan komunikasi terbuka dapat dilakukan dengan cara: 1) mendengarkan secara aktif dan empati terhadap pendapat dan perasaan warga kanpus, dan mahasiswa, 2) menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, 3) menghindari pertentangan dan konfrontasi yang tidak perlu, 4) mendorong partisipasi warga kampus, dan mahasiswa dalam diskusi dan pengambilan keputusan, dan 5) menggunakan media komunikasi yang efektif di dalam dan di luar kampus.
Manfaat kebijakan komunikasi terbuka adalah untuk meningkatkan kepuasan warga kampus, dan mahasiswa, dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan lingkungan kuliah yang kondusif. Kemudian membangun kepercayaan antara warga kampus, dan mahasiswa serta mencegah konflik yang dapat timbul dari kesalah pahaman atau komunikasi yang tidak efektif.
3. kebijakan Keterlibatan Orang Tua Mahasiswa
Pelibatan orang tua mahasiswa dalam proses penyelesaian konflik di kampus adalah suatu proses yang melibatkan orang tua mahasiswa dalam membantu menyelesaikan konflik yang terjadi antara mahasiswa, dosen, dan atau pihak lain di kampus. Pelibatan orang tua mahasiswa dapat membantu meningkatkan kualitas penyelesaian konflik dan membangun hubungan yang lebih baik antara kampus, dan orang tua mahasiswa (Khairunnisa, et. all., 2024).
Tujuan pelibatan orang tua mahasiswa dalam proses manajemen konflik adalah 1) untuk meningkatkan kualitas penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan mahasiswa, dan orang tua mahasiswa, 2) untuk membangun kepercayaan antara kampus, dan orang tua mahasiswa, 3) untuk meningkatkan partisipasi orang tua dalam kegiatan kanpus, dan 4) untuk meningkatkan kualitas hubungan antara kampus, mahasiswa, dan orang tua mahasiswa.
Pimpinan kampus dapat membuat kebijakan yang melibatkan orang tua mahasiswa dalam proses penyelesaian konflik di kampus. Peran pelibatan orang tua mahasiswa adalah untuk memberikan informasi tentang mahasiswa, dan keluarga yang berkaitan dengan konflik, sekaligus untuk membantu mengidentifikasi masalah, dan kebutuhan mahasiswa. Kemudian membantu mencari solusi yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, dan kampus serta mengawasi, dan menindak lanjuti sebagai umpan baliknya. Selanjutnya membangun jaringan dengan pihak lain yang dapat mendukung prestasi kuliah mahasiswa, dan reputasi kanpusnya.
Manfaat pelibatan orang tua mahasiswa adalah untuk membangun meningkatkan kepuasan orang tua dan mahasiswa dengan proses penyelesaian konflik yang baik, dan meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan lingkungan kuliah yang kondusif. Kemudian membangun kepercayaan antara kampus, dan orang tua mahasiswa serta meningkatkan hasil belajar mahasiswa dengan meningkatkan dukungan dan partisipasi orang tua mahasiswa.
Lemah kebijakan Manajemen Konflik dapat Merusak Harmonisasi Kampus
Lemah manajemen konflik merupakan salah satu penyebab utama retak harmonisasi kampus, karena tidak adanya mekanisme yang efektif untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Ketika konflik tidak diatasi dengan baik, maka dapat menyebabkan ketegangan dan ketidakpuasan di kalangan dosen, karyawan, dan mahasiswa.
Dampak lemah manajemen konflik dapat berupa penurunan kualitas pendidikan secara drastis. Motivasi dan kinerja dosen terus melemah secara berlahan-lahan. Konflik yang tidak terkendali terus meningkat, dan kepercayaan masyarakat tehadap perguruan tinggi terus menurun, reputasi kampus terus rusak di mata publik.
Untuk mengatasi retak harmonisasi kampus, perguruan tinggi perlu meningkatkan kapasitas manajemen konflik dengan mengembangkan kebijakan manajemen konflik yang komprehensif dan inklusif. Kemudian terus meningkatkan kesadaran dan edukasi kepada dosen, karyawan, dan mahasiswa tentang pentingnya manajemen konflik di kampus. Selanjutnya terus meningkatkan partisipasi dosen, karyawan, dan mahasiswa dalam menyelesaikan, dan mencegah konflik di kampus, dan pihak pimpinan perguruan tinggi terus meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lemahnya manajemen konflik dapat menyebabkan konflik yang tidak terkendali, sehingga mengganggu harmonisasi kampus yang berpotensi dapat merusak lingkungan akademik yang seharusnya kondusif untuk melaksanakan kegiatan akademik, dan non akademik di kampus.
Implikasi dari hal tersebut perlu adanya peningkatan kapasitas manajemen konflik di perguruan tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik secara efektif. Kemudian penting adanya pengembangan kebijakan manajemen konflik yang komprehensif dan inklusif untuk memastikan bahwa semua pihak di kampus memiliki akses ke proses penyelesaian konflik yang adil dan transparan.
Selanjutnya perlu peningkatan kesadaran dan edukasi tentang pentingnya manajemen konflik di kalangan sivitas akademika untuk mencegah konflik dan meningkatkan harmonisasi kampus.
*) PENULIS adalah Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Dr-H-Herman-MADosen-STAIN-Teungku-Dirundeng-Meulaboh.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.