Pesan Suluk untuk Pemimpin
ACEH memiliki cara tersendiri menyambut bulan suci Ramadhan, bulan yang diyakini begitu mulia dan sakral
ACEH memiliki cara tersendiri menyambut bulan suci Ramadhan, bulan yang diyakini begitu mulia dan sakral dalam Islam melahirkan perilaku baru yang bersifat baik dan kolektif sehingga kadang perilaku kolektif ini tidak ditemukan di bulan selain bulan Ramadhan. Hampir semua muslim di belahan dunia melakukan “taubat” dan ibadah khusus dalam bulan suci ini.
Di Aceh sendiri bulan Ramadhan diawali dan disambut dengan “meugang” yaitu tradisi memakan daging sapi atau kerbau di setiap keluarga, tradisi ini sudah menjadi “kewajiban” bagi masyarakat Serambi Mekkah dan jarang ditemukan di beberapa tempat di nusantara ini, kemudian akan dilanjutkan dengan beragam ibadah rohani di beberapa tempat terutama mesjid dan dayah. Kalau di mesjid kita temukan orang-orang beri’tikaf maka di dayah akan kita temukan orang-orang bersuluk.
Hampir semua dayah di Aceh melakukan aktivitas kesufiannya di bulan nan mulia ini yaitu ibadah suluk. Namun apabila kita telusuri lebih jauh maka ibadah suluk ini hanya ditemukan di beberapa dayah yang memang dipimpin oleh teungku yang terkenal kesufiannya atau dayah yang memiliki nilai historis sufinya seperti dayah Tanoh Abee dan Labuhan Haji. Suluk tidak hanya ritual ibadah semata namun memiliki makna mendalam terhadap pelakunya karena suluk diwarnai dengan enam belas pelajaran-pelajaran penting yang berpondasi “ismu zat” atau ketauhidan selama berlangsungnya praktik tersebut. Suluk biasanya dilakukan minimal sepuluh hari dan kadang dilakukan sampai selesai Ramadhan atau bahkan empat puluh hari. Ibadah ini dipimpin oleh seorang mursyid dan dibantu oleh munaffis dan khalifah dalam praktiknya. Struktur ibadah suluk memiliki ciri khas sendiri yang tentu berbeda dengan struktur keseharian teungku dayah dalam internal dayahnya. Fungsi dari suluk untuk menciptakan individu yang bisa hidup sederhana dan membentuk hati terpaut pada kehidupan akhirat.
Tasawuf dalam tradisi keilmuwan dayah merupakan pelengkap dari ilmu syariat dan ketauhidan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh imam Malik yang selalu dipergunakan oleh kaum sufi “barangsiapa yang hanya mempelajari ilmu fiqih, atau syari’at saja tidak menyempurnakannya dengan tasawuf maka ia itu fasik, barangsiapa yang mempelajari tasawuf saja tetapi tidak mengerti tentang fiqih atau syari’at maka ia itu zindik. Tetapi barangsiapa yang mempelajari keduanya mendalami ilmu fiqih dan menyempurnakannya dengan tasawuf maka ia itulah orang yang tahkik, yaitu orang yang sudah sampai kepada hakikat”. Penekanan fasik di sini menunjukkan bagaimana pentingnya tasawuf untuk menjaga hakikat hati seorang manusia agar tidak lahir sifat-sifat yang bisa mencelakakan hati (Aboebakar Atjeh, 1984).
Biasanya suluk dilakukan pada bulan puasa, haji dan bulan maulid. Peserta suluk dibina dan ditempa mentalnya menjadi mental sufi. Bukankah sejarah menyebutkan bahwa mental sufi juga sangat berpengaruh terhadap kemajuan Islam terutama dalam hal memperbaiki moral umat yang saat itu sedang rusak. Sehingga di Baghdad sebagai barometernya peradaban Islam selain majunya pengetahuan juga berkembang pesat tasawuf dan para sufi.
Suluk untuk Pemimpin
Di tengah kondisi Aceh yang carut marut kondisi politiknya, lahirnya individu-individu yang ingin berkuasa di Aceh melalui proses bergaining yang cukup alot sehingga kadang intimidasi dan membunuh nyawa manusia yang jelas-jelas dikutuk oleh Allah sang pencipta seperti menjadi hal yang biasa. Nilai-nilai kemanusiaan terkikis, sikap sosial untuk saling menghargai seakan dikebiri. Kegersangan ini tentu bersumber dari kekosongan nilai spiritual dan kehampaan pelajaran-pelajaran hati.
Memang mustahil menggiring individu dan kelompok tersebut untuk bersuluk, tetapi setidaknya pesan-pesan suluk harus sampai kepada mereka. Pesan-pesan ibadah suluk bisa mengubah sifat buruk yang kolektif di tengah masyarakat. Menyebut calon pemimpin Aceh tentu mereka pemimpin Islam. Tragedi dan peristiwa politik yang tidak baik penuh kerusakan akhlak memang pernah menghinggapi umat muslim, sebut saja bagaimana kekejaman dan kerusakan akhlak umat yang terjadi setelah Nabi wafat mulai dari pembunuhan khalifah, terjadinya perang Shiffin dan perang Jamal hingga melahirkan sistem hirarki dalam Islam di setiap dinasti. Semuaya berproses dalam poltik penuh kerusakan akhlak dan keluar dari nilai-nilai keislaman menuju kerakusan dan cinta kepada dunia tanpa menghiraukan humanisme dan nilai-nilai keislaman.
Demikian juga yang terjadi di Aceh bukanlah konflik regulasi, tetapi krisis nilai humanisme dan tumbuhnya sikap bergaining untuk terus berpacu menjadi yang terbaik lewat jalur politik dan terkenal di tengah masyarakat. Sikap rakus dan kekejaman seperti terulang lagi di tengah umat muslim Aceh, nilai-nilai keislaman yang penuh kemanusiaan seperti diabaikan begitu saja. Menjawab masalah seperti ini tidak banyak yang bisa dilakukan selain memperkuat persatuan kita sebagai bangsa Aceh, namun di sisi lain salah satu metode meredam konflik horizontal di Aceh adalah lewat konsep tasawuf, terutama pelajaran dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam suluk mungkin bisa memberi solusi. Mengajak para pemimpin, politisi untuk kembali ke ajaran Islam adalah jalan yang berat namun ulama memiliki kapasitas membina umatnya.
Kita berharap nilai-nilai suluk sebagai ajaran tasawuf bisa diintegrasikan dalam kehidupan politik Aceh, sehingga melahirkan kondisi politik yang kondusif, tidak melahirkan kerakusan dan kekejaman, seiring bulan Ramadhan kita berharap mereka yang sedang berkompetisi akan memiliki hati yang fitrah berpondasi nilai tasawuf sehingga tidak ada lagi konflik kepentingan dan Aceh memiliki pemimpin yang bisa membina dan menyejahterakan rakyat. Semoga.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta.