Opini
Memperkarakan Cinta
Namun, realitas yang tampak sekarang dalam dinamika kehidupan manusia mulai terasa ‘ganjil’ dan bertolak belakang
Oleh Sammy Khalifa
CINTA adalah fitrah manusia. Ia merupakan anugerah terindah yang diberikan oleh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada umat manusia. Cinta menyertai kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam keseharian manusia, baik manis mau pun pahit. Dengan segala kompleksitas yang terkandung di dalamnya, ia menampilkan manusia seutuhnya dalam haru-biru dan sedu-sedan perasaan yang bercampur-aduk di hamparan dunia.
Namun, realitas yang tampak sekarang dalam dinamika kehidupan manusia mulai terasa ‘ganjil’ dan bertolak belakang dengan semangat yang diusung cinta sesungguhnya. Cinta telah mengalami pergeseran makna. Ia kian menjauh dari hiruk-pikuk manusia. Sementara manusia hanya terlena dan mengira masih ada cinta di sekelilingnya, padahal tinggal bayang semu fatamorgana semata. Ada apa sebenarnya?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring mendefinisikan cinta: “1. suka sekali; sayang benar: 2. kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): 3. ingin sekali; berharap sekali; rindu: 4. susah hati (khawatir); risau.” (http://bahasa.kemdiknas.go.id). Sementara Oxford Dictionaries mengartikan cinta sebagai “1. a strong feeling of affection: 2. a great interest and pleasure in something: 3. a person or thing that one loves: 4. (in tennis, squash, and some other sports) a score of zero; nil.” (http://oxforddictionaries.com/).
Cinta bahasa universal
Memang hal ini tak bisa dijadikan landasan umum karena cinta itu sendiri begitu kompleks adanya, namun paling tidak dari pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa cinta merupakan perasaan kasih sayang yang utuh, baik untuk manusia mau pun obyek lainnya. Sejatinya, cinta adalah bahasa universal yang dipahami oleh semua manusia di dunia.
Di sinilah letak kekeliruan pemahaman dan persepsi tentang cinta yang ada selama ini, terutama oleh kaum muda; generasi jejaring sosial dunia maya yang identik dengan kegalauannya. Cinta hanya dipandang sebagai relasi keintiman antara seorang pria dan wanita. Sehingga dengan pemahaman yang salah kaprah seperti ini menjadikan cinta hanya sebagai barang yang eksklusif dan dikonsumsi oleh orang-orang tertentu saja. Padahal aspek dan dimensi cinta itu sangatlah luas.
Ironisnya, cinta juga telah direduksi maknanya menjadi lebih sempit. Seperti pemaknaan kata ‘bercinta’. Walau pun tak tertulis, lazimnya kata ini mengacu pada aktivitas seksual antara pria dan wanita. Padahal dalam KBBI Daring sendiri, kata ‘bercinta’ ini bermakna “menaruh (rasa) cinta”. Lebih luas lagi, makna dari kata ini adalah bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan cintanya kepada wujud yang dicintainya, sementara pemuasan seksual yang dimaksud di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak ekspresi cinta.
Akibat pemaknaan yang tidak tepat sasaran tersebut, maka ketimpangan-ketimpangan lainnya pun kian menggurita. Maka tak heran jika kemudian banyak pejabat pemerintah mulai dari level keuchik (kepala desa), camat, bupati, gubernur dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta perangkat pemerintah lainnya terekspos media massa akibat kasus korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjerat mereka.
Salah kaprah
Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi adalah karena ketiadaan perasaan cinta yang ‘membumi’ dalam diri mereka. Dalam arti sebenarnya, mereka hampir sepenuhnya tidak mencintai profesi atau jabatan yang diembannya saat ini. Mereka hanya melihat profesi atau jabatan yang diembannya itu sebagai instrumen untuk memperkaya diri, keluarga dan golongannya serta menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Hal ini tak semata-mata karena kecintaannya pada uang dan kekuasaan yang, pada hakikatnya berlandaskan cinta semu (pseudo-love).
Hal-hal seperti ini (pemahaman cinta yang salah kaprah), tanpa disadari secara perlahan-lahan akan mengikis habis kesakralan dan kekudusan nilai-nilai cinta. Sehingga cinta bukan lagi barang yang suci dan keramat, tetapi telah kotor dan nista oleh pemahaman yang setengah-setengah. Disadari atau tidak, mereka telah menurunkan derajat cinta sedikit demi sedikit hingga ke titik kulminasi terendah yang begitu hina.
Hati adalah lentera jiwa. Begitu orang bijak membahasakannya. Cinta tanpa hati itu mustahil, dan hati tanpa cinta laksana jasad kehilangan jiwa. Karena itu, hati haruslah dijadikan sebagai barometer utama dalam memaknai cinta dan melihat realitas dunia. Tak ada lagi yang akan mengira bahwa cinta hanya sekadar cerita eksklusif kalangan muda-mudi modern atau aktivitas pemuasan nafsu belaka. Karena dengan adanya filter hati, semua realitas mampu dipilah-pilah dan dipertimbangkan dengan jernih.
Cinta tak lagi sebatas perhatian kepada obyek yang dicintai ketika merasakan sensasi kebahagiaan pada dirinya semata, tanpa realisasi tanggung jawab terhadap cintanya. Berani mencintai, harus berani pula menghadapi berbagai risiko dan konsekuensi yang menyertainya. Cinta tanpa tanggung jawab itu hipokrit. Karena itu, hati sebagai filter yang mempertimbangkan sikap dan tindakan, diharapkan mampu mengemban tanggung jawab cinta dengan sebenar-benarnya.
Tanggung jawab cinta
Pejabat pemerintah yang mengaku mencintai profesi atau jabatannya harus mampu membuktikan klaimnya itu dengan mempertanggungjawabkan jabatannya. Ia harus mencintai jabatannya dari hati, dengan pertimbangan nurani mengemban jabatan sesuai aturan main yang berlaku; menjalankan tugas dan kewajiban yang berlaku. Dengan demikian, kecenderungan melakukan praktik KKN semakin kecil karena telah terikat ‘ikrar’ untuk mencintai jabatannya sepenuh hati.
Pun begitu, mencintai profesi atau jabatan bagi seorang pejabat pemerintah juga berarti mencintai apa-apa saja yang menjadi objek yang harus diadvokasi dan diperjuangkan dalam lingkup tugas dan kewajibannya. Dalam hal ini tentu saja masyarakat luas. Jadi, seorang pejabat pemerintah harus mencintai masyarakat, rakyatnya seperti ia mencintai jabatannya, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah makna cinta sejati yang sesungguhnya.
Maka, pesan cinta ini sudah selayaknya dihadiahkan untuk para kandidat, yang akan bersaing mengekspresikan cintanya kepada rakyat dalam bursa Pilkada Aceh nanti. Semoga mereka benar-benar menunjukkan cinta yang tulus dan ikhlas dari nurani yang sebenarnya.
Hidup tak akan paripurna tanpa hadirnya cinta. Betapa indahnya dunia tatkala cinta menyapa. Ketika setiap umat manusia mampu mengikrarkan dan juga mempertanggungjawabkan cinta di hadapan wujud yang dicintainya. Mari bercinta!
* Sammy Khalifa, Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: samkhaf.elnanggroe89@gmail.com