Opini
Pelabuhan Bebas dan Import ala Abu Nawas
MEMBACA berita tentang ditangkapnya dua penyelundup gula yang dipasok dari pelabuhan bebas Sabang
Oleh Muhammad Aljazuli
MEMBACA berita tentang ditangkapnya dua penyelundup gula yang dipasok dari pelabuhan bebas Sabang (Serambi, 17/1/2014), kembali membuat kita harus menarik nafas dalam-dalam. Berita tersebut seolah mengungkit kembali ingatan kita tentang Bea Cukai, yang dulu juga pernah menyita gula-gula yang diselundupan oleh Mak-mak yang hanya berjumlah 1-2 sak.
Mendengar sebutan penyelundup, membuat kita membayangkan tentang orang-orang yang beraksi bak mafia-mafia di film action bikinan Hollywood. Jika penyelundup-penyelundup di film tersebut biasanya menyelundupkan suatu barang berbahaya semisal senjata dan narkoba, dan biasanya mereka menyelundupkan antarnegara. Tetapi ada satu penyelundupan di dunia ini yang sangat aneh dan unik yaitu penyelundupan di Aceh. Yang diselundupkan bukan bom, bukan heroin, tetapi satu barang barang halal, barang kebutuhan pokok. Penyelundupannya pun bukan antarnegara, apalagi antar benua. Tetapi dalam satu negara, bahkan dalam satu provinsi, yang mungkin dunia pun akan tertawa jika sampai mengetahui cerita semacam ini, yang mungkin tidak masuk akal. Ya sekali lagi penyelundupan barang dalam satu provinsi dan barang itu adalah gula.
Jika melihat kembali kebijakan yang berlaku saat ini yang menjadikan Sabang sebagai satu jalur masuknya barang import, semisal gula, mobil-mobil bekas layak pakai, dan barang-barang elektronik. Jujur saja bukankah ini sebuah kebijakan lucu, layaknya akal-akalan Abu Nawas? Jika gula dimasukkan ke Sabang dengan beberapa kapal saja, mau dibawa kemana gula sebanyak itu? Apakah untuk di-muek oleh warga Sabang? Tentu tak akan habis dikonsumsi oleh penduduk Sabang yang hanya berjumlah 32.000 jiwa.
‘Impor-imporan’
Demikian pula kebijakan import mobil bekas yang hanya boleh digunakan di Pulau Weh saja. Bukankah ini ibarat “impor-imporan” seperti akal-akalan Abu Nawas? Itu sudah terbukti, dengan mudah dijumpai mobil-mobil yang dibiarkan membusuk di semak-semak kota Sabang. Mobil-mobil tersebut tidak boleh dibawa keluar pulau, sedangkan Sabang adalah pulau kecil, yang tak membutuhkan banyak mobil dan malah merepotkan jika hanya digunakan untuk transportasi di sana.
Seharusnya Sabang dapat menjadi satu pintu yang dapat membuka jalan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Melalui Sabang dapat dipasok barang-barang import yang harganya lebih murah dibandingkan harga barang-barang yang dipasok dari Medan dan pulau Jawa, tentunya diharapkan akan dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat Aceh. Nilai uang akan lebih berharga, karena dengan murahnya harga barang, tentu lebih banyak barang yang dapat terbeli oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Semisal gula Sabang yang lebih murah harganya daripada gula yang dipasok dari Medan dan Pulau Jawa. Jika para pemimpin negeri ini berpikir jika nanti gula Sabang diperbolehkan dijual bebas di Aceh, bagaimana nantinya nasib petani tebu di pulau Jawa? Bagaimana nanti nasib perusahaan penggilingan tebu di sana? Bagaimana nasib cukong-cukong di Medan yang menjadi miskin karena Aceh tak lagi beli barang kesana? Bahkan untuk kebutuhan celana dalam warga Aceh pun, kita masih harus membeli dari Medan. Ini sama halnya dengan hadih maja: Takira keu ie mata gob si titek, rho ie mata droe meu bram-bram (Sibuk memikirkan nasib orang lain, sedangkan nasib rakyat sendiri semakin tak menentu).
Tetapi jika masalahnya adalah regulasi yang tak kunjung turun, aturan yang terus ditunda-tunda, maka terbukti sudah ungkapan abuwa-abuwa di warkop “Aceh nyoe dipeulheuh ulé, dimat bak iku”. Aceh ini tak benar-benar dibebaskan bertindak demi kesejahteraan dirinya sendiri, semua hanya kepurapuraan, tak ada keikhlasan. Terus dipeu ngeut-ngeut, dan ureung Aceh terus dipeulangoe ateuh tanoh tho.
Menyikapi masalah ini, Pemerintah Aceh yang sekarang ini seharusnya lebih tegas dan menyadari bahwa saat ini kita punya bargaining position, mengingat Aceh yang punya status keistimewaan. Sebagian besar para pemimpin Aceh sekarang, mulai dari Gubernur, DPRA, DPRK sampai Bupati adalah mantan pejuang (ureung droe), yang baru saja berdamai dengan pemerintah pusat. Seharusnya kita bisa berteriak lebih lantang dan berbicara tanpa basa-basi “bek pike hana meu oh sabe”. Apalagi, Aceh saat ini lagee aneuk agam saboh bagi pemerintah RI. Apa pun akan diberikan, apa pun akan dituruti asal tidak bikin ribut di rumah.
Jika sekarang saja Sabang tak mampu dibuka, maka jangan harap ke depan lebih mudah. Banyak kepentingan yang bermain, pemerintah pusat tak ingin Batam tersaingi oleh Sabang. Toke-toke di Medan akan berbuat apa pun demi tidak terlepasnya ketergantungan Aceh dari Medan, dan triliunan uang ureung Aceh terus mengalir dan harus terus disetor ke Medan dan ke pulau Jawa.
Bukankah dalam UUD 1945 Pasal 33 telah disebutkan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Jika bumi, air dan kekayaan di dalamnya sah digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengapa demi kesejahteraan rakyat Aceh hanya sebuah pelabuhan bebas yang boleh memasok barang dan segala kebutuhan rakyat Aceh baik yang berada di Sabang dan Aceh daratan tidak boleh? Bukankah Gubernur, DPRA, dan lain-lain adalah perpanjangan tangan negara yang berhak dan berkewajiban memberi kemakmuran bagi rakyatnya?
MoU Helsinki
Bahkan bukankah sudah sangat jelas disebutkan dalam MoU Helsinki Point 1.3.2 disebutkan: “Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh”. Lalu, kurang apalagi alasan untuk kita bertindak? Kurang apalagi alasan untuk kita menuntuk hak milik kita sendiri?
Jika Pemerintah Aceh ingin rakyat Aceh daratan hanya terus saja membaca berita di Serambi tentang bersandarnya beberapa kapal pesiar di Sabang tanpa ada implikasi sedikit pun bagi mereka; jika Pemerintah Aceh ingin membiarkan penjara-penjara terus diisi oleh rakyat Aceh yang menyeludupkan barang halal dari Sabang ke Aceh daratan hanya demi sedikit keuntungan, demi sesuap nasi; dan jika Pemerintah Aceh tetap ingin melihat status pelabuhan bebas hanya sebagai sebuah status kosong, maka biarkan saja kita terus ditipu, biarkan saja kita terus dibodoh-bodohi, terus diam dan duduk santai saja.
Tetapi jika kita tidak ingin terus dibodoh-bodohi, jika kita tidak ingin terus dipeu ngeut-ngeut, maka saat inilah saat yang tepat untuk bertindak, saat kekuasaan dan pemerintahan ada di tangan sendiri, tak ada alasan untuk menunda-nunda, jika tidak sekarang, kapan lagi? Lima tahun ke depan belum tentu kekuasaan terus berada di tangan kita, dan jangan sampai lima tahun ke depan, kita mendengar suara-suara keluhan di kalangan rakyat “hana perubahan sagai, sama cit lagee jameun.”
Semoga kita bisa melihat dan merasakan kembali kejayaan pelabuhan bebas Sabang seperti di era 1980-an. Bahkan lebih jaya lagi seperti telah diamanahkan dalam MoU Helsinki, yang telah diperjuangkan dengan kubangan darah oleh ribuan syuhada demi kesejahteraan rakyat Aceh, demi terangkatnya harkat dan martabat aneuk nanggroe. Dan, tidak menjadikannya hanya sebuah slogan-slogan yang kita sendiri tidak tahu apa isinya.
Muhammad Aljazuli, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Jabal Ghafur, Pidie. Email: muhammadaljazuli84@gmail.com