Opini

Interaksi Sosial dalam ‘Hadih Maja’

MANUSIA merupakan makhluk sosial. Tidak ada satupun pekerjaan yang bisa dilakukan secara individual

Editor: bakri

Oleh Adnan

MANUSIA merupakan makhluk sosial. Tidak ada satupun pekerjaan yang bisa dilakukan secara individual. Semua hal membutuhkan bantuan dan pertolongan individu lain. Maka, kesuksesan dalam berinteraksi sosial sangat mempengaruhi kenyamanan dan ketentraman hidup dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, bila interaksi dengan masyarakat sekitar tidak baik, maka siap-siaplah untuk dikucilkan.

Masyarakat Aceh merupakan satu model masyarakat di Indonesia yang selalu mengedepankan kebersamaan, kekompakan dan persatuan. Hal tersebut terlihat dalam berbagai sejarah (historis) yang telah ditorehkan masyarakat Aceh tempo doeloe. Tidak ada satu kerajaan pun di Nusantara ketika itu, yang dapat mengusir penjajahan Belanda. Akan tetapi, para pejuang Aceh ketika itu atas dasar kebersamaan dan kekompakan mencintai tanah air dapat mengusir penjajah Belanda. Maka, masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang bisa diajak kompromi untuk mencapai suatu kemaslahatan.

Oleh karena itu, kekuatan masyarakat Aceh ada pada semangat kebersamaan dan kekompakan. Tentu, hal itu terjadi karena interaksi sosial antarmasyarakat Aceh berjalan dengan harmonis. Maka, tidak dapat dipungkiri, endatu Aceh dulu mengajarkan kepada anak cucunya, untuk dapat berinteraksi sosial dengan harmonis terhadap tetangga dan masyarakat sekitar. Karena hal itu akan melahirkan kenyamanan dan ketentraman bersama.

 Menjaga persaudaraan
Di antara peribahasa Aceh yang lazim disebut sebagai hadih maja mengajarkan kita tentang prinsip dalam berinteraksi sosial dengan baik adalah, yaitu: Pertama, menjaga persatuan dan persaudaraan. Lam udep ta meusare, lam meugle tameubila, lam lampoh ta meutulong, lam meu blang ta meusyedara (dalam hidup harus bersatu, di kebun harus saling membela, di ladang harus saling tolong menolong, di sawah harus bersaudara). Semangat yang diajarkan oleh para endatu kita adalah jangan sampai anak cucunya bermusuhan dengan tetangga dan masyarakat yang lain. Sehingga akibatnya akan kembali kepada diri sendiri. Jika berbuat baik kepada orang lain, akan berakibat baik pada diri sendiri. Dengan demikian, lahirlah sikap saling membantu dan tolong menolong, sikap persaudaran dan persatuan.

Begitu pula sebaliknya, bila kita tidak berinteraksi dengan baik dengan orang lain, maka akan berakibat pada diri sendiri pula. Minimal masyarakat yang lain akan mengucilkan serta akan menjauh dengan kita. Seperti terungkap dalam hadih maja: Bak ie raya bek ta theun apeh, bak ie tareh bek ta theun bubee, bek ta meurakan ngoen si paleh, hareuta abeh geutanyoe malee (ketika banjir jangan mencari rezeki, di air deras jangan mencari ikan, jangan berteman dengan orang jahat, harta habis serta kita juga malu).

Peribahasa Aceh tersebut mengajarkan kepada kita bahwa, setiap kebaikan akan berdampak kebaikan, dan setiap keburukan akan berdampak keburukan. Salah satu akibat dari buruknya interaksi sosial dengan masyarakat sekitar adalah akan dikucilkan dan diasingkan oleh warga sekitar. Hal tersebut senada dengan yang dijelaskan Allah Swt dalam Alquran: “Jika kalian mengerjakan kebaikan, maka kebaikan itu atas kalian. Akan tetapi sebalinya, apabila kalian mengerjakan keburukan, maka keburukan itu atas kalian.” (QS. Al-Isra’: 7).

Di samping itu, endatu kita dulu juga mengajarkan agar anak cucunya tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji di tengah masyarakat. Seperti yang tersebut dalam hadih maja: Buleun peungeuh takawe eungkot, wate ie surot takoh bak bangka, tasuet gleung meuh sok gleung balot, buet han patoet beuk takeurija (bulan terang silahkan memancing, ketika air surut nebang pohon, keluarkan gelang emas dan pakai gelang biasa, pekerjaan yang tidak pantas jangan lakukan). Salah satu di antara pekerjaan yang tidak pantas dilakukan adalah sikap cuek terhadap tetangga dan masyarakat sekitar.

Kedua, tidak saling menyakiti. Meunyoe hate hana teupeeh, pade bijeeh geu peutaba, meunyoe hate ka teupeeh, bu leubeeh han geu peutaba (bila tidak menyakitkan hati, makan dengan beras benih pun diberikan, akan tetapi, bila menyakitkan hati, ada nasi lebih saja tidak diajak makan). Interaksi sosial dengan masyarakat sekitar dituntut untuk terus harmonis. Karena membangun sebuah kampung yang aman, tentu sangat berperan penting pada keluarga sebagai masyarakat kecil.

Jika setiap keluarga sudah saling harmonis dengan keluarga lainnya, maka segala permasalahan kampung dengan mudah mendapat solusi, baik itu dari segi keamanan dan kenyamaan dalam kampung. Dan bila ini terjadi, maka akan mengurangi beban aparat, seperti polisi dan TNI juga security dalam mengamankan kampung. Hal ini disebabkan peran masyarakat sangat penting. Akan tetapi, mustahil hal tersebut dapat terwujud tanpa keharmonisan interaksi dalam sebuah masyarakat.

Ketiga, saling percaya. Prinsip dasar masyarakat Aceh akan mempercayai orang yang memperjuangkan hak-haknya. Karena jika hak-hak mereka telah diperjuangkan, maka apapun yang diminta oleh yang memperjuangkan itu akan diberikan. Apakah ia ingin menjadi DPR, bupati/wali kota, gubernur. Presiden dan Raja, masyarakat rela bahu-membahu untuk memperjuangkan mereka. Seperti yang terungkap dalam hadih maja: Meuriri uroet ta ikat beunteung, meuriri ureung jeut taboh keuraja (hanya rotan tertentu yang bisa untuk mengikat kayu, dan hanya orang-orang tertentu yang dapat dijadikan sebagai raja). Tentu, hal tersebut tak terlepas dari pandangan masyarakat dalam mengamati, betapa besar perjuangannya untuk masyarakat.

Oleh karena itu, seharusnya di tahun politik ini, para caleg lebih mengedepankan memperjuangkan hak-hak rakyat, daripada mengumbar janji-janji palsu tanpa realisasi. Karena masyarakat akan melihat perjuangan yang telah diemban, bukan melihat janji-janji palsu yang ditebarkan. Maka bagi para caleg petahana sudah seharusnya membuktikan amanah yang telah diberikan. Bila selama ini memperjuangkan aspirasi rakyat, maka tidak perlu kampanye, tentu masyarakat akan berbondong untuk memilihnya.

 ‘Bubee dua jab’
Terkait dunia politik sebagaimana tersebut di atas, satu hadih maja yang kerap terdengar di kalangan masyarakat kita adalah: Bubee dua jab, seureukap dua muka, keunoe toe keudeuh rab, ban dua pat meuteumee rasa (seperti alat penyaring ikan dua muka, ke sana dekat, ke sini dekat, sehingga semua tempat membawa keuntungan). Artinya, bila hanya mengumbar janji belaka tanpa bukti yang ditorehkan, maka masyarakat Aceh menyebut dengan munafik. Bila munafik sudah disematkan pada seseorang, maka yakinlah seumur hidup rakyat tidak akan memperdulikan kita lagi.

Berdasarkan hal tersebut, maka akan menghilangkan kepercayaan yang diberikan rakyat. Karena tidak mungkin masyarakat akan menyematkan salah satu sifat kepada seseorang tanpa ada sebabnya. Seperti filosofi dalam peribahasa Aceh, meunyoe hana angen pot, pane patot suwe meuputa, meunyoe hana sapeu toet, pane patot asap meubura (jika bukan karena angin, mustahil baling-baling akan berputar, jika tak ada yang terbakar, tidak mungkin keluar asap begitu besar).

Interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sangat berperan penting dalam berbagai segi kehidupan. Karena sebagai makhluk sosial mustahil semua hanya dapat dilakukan oleh per individual, per komunitas, per organisasi, bahkan setiap kebijakan pemerintah sekalipun, harus dapat melibatkan masyarakat dalam menyukseskannya. Tentu hal tersebut harus dilakukan dengan interaksi harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka mustahil seluruh program-program yang telah dicangakan pemerintah dapat berjalan dengan baik.

* Adnan Yahya, Mahasiswa Komunikasi Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Email: adnanyahya50@yahoo.co.id

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved