Opini

PON XX di Aceh Mengapa Tidak?

FILOSOFI Olimpiade dan Sejarah Olahraga Indonesia (sebuah kilas balik) Olimpiade Modern yang digagas

Editor: bakri

Oleh Nyak Amir

FILOSOFI Olimpiade dan Sejarah Olahraga Indonesia (sebuah kilas balik) Olimpiade Modern yang digagas oleh Baron Piere de Coubertin (1896) dapat mempengaruhi ide dan gagasan kepada seluruh negara di dunia, bahwa olahraga memiliki potensi dan berdampak terhadap perubahan suhu politik, sosial, dan ekonomi. Memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya bahwa gerakan olimpiade berhasil menyebarluaskan semangat berolahraga dan membangun sebuah masyarakat olahraga bertaraf global.

Ditinjau dari sejarahnya, bahwa tujuan dari olimpiade modern dan tujuan olahraga secara umum adalah untuk menyebarkan paham citius, altius, dan fortius (bukan makna yang sempit yaitu cepat, tinggi, dan kuat dalam hal ukuran). Tetapi memiliki arti yang luas, yaitu kecerdasan dalam memahami fenomena nyata, memiliki standar moral yang tinggi, dan kuat atau gigih dalam perjuangan. Dalam lingkup mikro, tujuan lain dari kegiatan olahraga adalah menciptakan kesehatan tubuh yang sehat jasmani, rohani, dan sejahtera paripurna (well being).

Seiring dengan perjalanan waktu dan suhu politik dunia, paham Olimpiade yang ideal tersebut berubah ke arah propaganda politik. Hal ini terjadi antara lain dipengaruhi karena pecahnya Perang Dunia II yang mengakibatkan saling boikot antar-blok, seperti yang terjadi di Olimpiade Moscow (Uni Sovyet) pada 1980, dan terjadi lagi pada Olimpiade Los Angles 1984 di Amerika Serikat.

 Event tandingan
Interaksi antara politik dan olahraga, juga pernah terjadi di Indonesia ketika Presiden Soekarno menggelar event olahraga tandingan The Games of the New Emerging Forces (Ganefo), pada 10-22 November 1963. Ganefo, yang memiliki semboyan Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur), diikuti oleh 2.000-3.000 atlet dari 30 negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur (www.berdikarionline.com, ed.). Namun perubahan logika politik dalam olahraga ini, tidak dapat bertahan lama sehingga bergeser kepada logika ekonomi.

Penyelenggaraan olimpiade dengan dalih selalu rugi di setiap penyelenggaraan, maka Amerika Serikat yang menjadi tuan rumah  Olimpiade Los Angles pada 1984 mengadakan sebuah gagasan baru. Gagasan baru itu yang melukiskan bahwa “Los Angles Olympic Organizing Committee’s emphasis, on using the games to make a profit”. Hasilnya memang terbukti benar, dengan menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan pihak swasta, sehingga hasil pada Olimpiade 1984, pihak panitia penyelenggara mendapatkan keuntungan besar dan merupakan satu-satunya panitia penyelenggaraan selama olimpiade berlangsung yang mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan olahraga.

Sejak itulah setiap kegiatan olahraga setingkat Olimpiade dan kejuaraan-kejuaraan lainnya, panitia akan berusaha untuk melibatkan pihak swasta dalam hal memasarkan dan menjual olahraga agar dapat menghasilkan keuntungan materi yang dapat mendongkrak perekonomian nasional. Ambil contoh merek-merek pakaian olahraga terkenal seperti Asics, Nike, Adidas, dan Reebok merupakan barang atau alat-alat olahraga yang dimunculkan dan dipasarkan ketika pertandingan Olimpiade berlangsung.

Perbedaan mendasar dari logika politik dan logika ekonomi adalah ditinjau dari tujuan dan sasarannya. Tujuan olahraga dengan sasaran utama kepentingan politik, sudah pasti tidak akan untung secara ekonomi, tetapi akan berbeda jika logika ekonomi yang menjadi dasar kebijakan, maka secara politik akan diuntungkan. Contohnya Kanada, olahraga elite telah dijadikan sebagai alat untuk mempromosikan Kanada dalam ekonomi global. Bahwa motif ekonomi akan melumat menjadi satu dengan motif politik, diperkuat dengan perkembangan teknologi komunikasi dan kemajuan perusahaan media yang lambat laun menggeser orientasi ke arah pemenuhan kebutuhan seketika dalam konteks nilai budaya modern yang berkembang di masyarakat Barat.

Sedikit bebeda, perjalanan olahraga di Indonesia, terutama tentang tujuan dan pelaksanaan kegiatannya. Perjalanan di Indonesia dimulai sebelum dan setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menempatkan olahraga sebagai alat pemersatu bangsa, seperti penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) I di Solo pada 1948. Pada hakekatnya, olahraga dijadikan alat pemersatu bangsa, alat perjuangan bangsa, selain tujuan filosofis yang lain, seperti kesegaran jasamani, keterampilan, kecerdasan dan sikap, perilaku dan sportivitas pelakunya.

Pada 9 April 1962 Presiden Soekarno menyampaikan gagasan di hadapan para olahragawan Asian Games IV di Sasana Gembira Bandung. Inti pidatonya adalah bahwa bangsa Indonesia sedang menjalankan revolusi besar yang dinamakan revolusi “Panca Muka”, artinya Nasional, Politik, Ekonomi, Kultural, dan Keolahragaan atau “Manusia Indonesia Baru”. Revolusi Panca Muka kemudian diperbaiki dengan Dasa Muka yang selanjutnya diubah lagi menjadi multikompleks yang posisinya lebih besar dari Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, dan Revolusi Rusia.

Usaha-usaha yang bersifat nasional tersebut dimaknai dengan istilah nation building. Jadi Revolusi Nasional, politik, ekonomi, cultural, dan keolahragaan, masing-masing adalah sebagian dari nation building Indonesia. Gagasan Bung Karno terus dikumandangkan tepatnya pada Nopember 1963 dihadapan para atlet Ganefo di Istana Negara akan perlunya membentuk karakter bangsa. Dari pidato inilah lahir konsep olahraga yang terkenal pada waktu itu, yang disebut nation and character building (Soekarno 1963).

Kebijakan olahraga pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, tepatnya pada 19 Januari 1981 pada Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas) IV di Istana Negara. Soeharto mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengibarkan panji olahraga Nasional, yaitu “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”. Kebijakan pemerintah ini tidak dapat terealisasi dengan baik, karena perangkat dan dasar hukumnya tidak dibuat, sehingga kebijakan itu terkesan hanya ungkapan yang tidak dapat dijalankan.

 Pengaruh politik
Pengaruh politik dalam olahraga masih sangat kental di Indonesia. Sampai sekarang, warna logika politik masih sangat kuat, seperti halnya penerapan doktrin revolusi olahraga dalam paradigma revolusi multikompleks, semasa Bung Karno pada 1960-an. Kondisi ini terjadi hampir di semua provinsi, bahwa logika politik masih sangat mempengaruhi sistem keolahragaan kita. Hal ini masih sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan model mental dari bangsa Indonesia, yang mempengaruhi kerangka berfikir dan keputusan yang diambil.

Hasil pengamatan penulis setelah beberapa kali mengikuti PON, di Palembang (Sumatera Selatan), Samarinda (Kalimatan Timur), dan Pekanbaru (Riau), penulis mengamati bahwa peserta yang mengikuti PON mencapai 25 ribu orang dari 33 Provinsi. Penulis menghitung dan memperkirakan jumlah uang yang dikeluarkan oleh kontingen setiap provinsi selama berada di arena PON (mulai dari akomodasi, transportasi, konsumsi, dan lain-lain) mencapai Rp 15 juta per orang.

Saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana jika seluruh peserta dihitung, berapa uang yang masuk kepada panitia, hotel, dan lain-lain, berarti penyelenggara PON telah menarik ratusan miliaran rupiah bahkan mencapai triliunan dari peserta PON. Ilustrasi ini menjadi suatu bahan kajian bahwa olahraga dapat dikemas dengan manajemen, sistem, dan organisasi yang baik akan menghasilkan keuntangan yang besar.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved