Opini
APBA 2014 dan Inovasi Birokrasi
TIDAK berlebihan rasanya ketika kita memberikan apresiasi pada hasil kerja dan keseriusan
Oleh Nurul Hidayah
TIDAK berlebihan rasanya ketika kita memberikan apresiasi pada hasil kerja dan keseriusan Pemerintah Aceh dalam menyajikan pengesahan anggaran yang dapat dikatagorikan tercepat dari tahun-tahun sebelumnya. Tentunya dengan harapan dapat diikuti oleh kinerja yang optimal, sehingga menghasilkan daya serap anggaran yang sesuai dengan program dan kegiatan yang direncanakan secara tepat waktu sebelum akhir tahun anggaran.
Meski mekanisme perencanaan dan pengesahan anggaran telah ditetapkan dalam berbagai peraturan terkait, namun fenomena tolak tarik pengesahan anggaran sepertinya menjadi pemandangan lazim dalam dinamika birokrasi. Sebab, proses perencananaan dan penganggaran tidak hanya dimaknai sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat saja, akan tetapi lebih menterjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam kebijakan publik secara operasional.
Reformasi birokrasi yang telah digagas sejak 2010 dan dituangkan dalam Peraturan Presiden RI No.81 Tahun 2010 dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-1025, pada prinsipnya diarahkan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di mana salah satu tujuannya adalah menjadikan birokrasi Indonesia yang antisipatif, proaktif dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Oleh karenanya, keterlambatan pengesahan anggaran pada tahun-tahun sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai berjalannya proses pemerintahan secara alami. Sehingga apa yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dalam upaya percepatan pengesahan APBA 2014 ini merupakan administrative reform dengan melakukan inovasi kebijakan yang sangat diperlukan dalam merubah suatu keadaan yang mengarah pada optimalisasi pelayanan publik, seperti di bidang sosial, politik maupun agama.
Proses politik
Sungguhpun perencanaan dalam pembangunan daerah tidak terlepas dari proses politik (public choice theory of planning) dalam menerjemahkan visi dan misi yang tertuang dalam RPJM/D pemerintah terpilih, perencanaan tetaplah merupakan bagian dari proses simultan dalam siklus anggaran (budgeting cycle) yang dimulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pelaporan dan pemeriksaan. Karenanya, kemajuan pembangunan suatu daerah amat ditentukan dari perencanaan yang baik untuk suatu proses menentukan tindakan masa depan yang tepat, yang secara sistematis memperhitungkan sumber daya yang tersedia, di samping adanya keputusan dari sejumlah pilihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Mengutip pendapat Kaufman bahwa “perencanaan adalah suatu proyeksi tentang apa yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan secara sah dan berdaya guna”. Hal ini dapat kita maknai bahwa perencanaan merupakan sesuatu yang menjadi keperluan dalam sebuah sistem untuk mendukung tercapainya tujuan. Kita tahu, faham dan maklum, bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, setiap awal tahun anggaran kita digusarkan oleh panjangnya masa “istirahat” di kalangan PNS untuk menanti pengesahan anggaran dan proses pecah telur (meminjam istilah pak Taqwallah untuk proses pencairan anggaran).
Meski berbagai upaya telah dilakukan dalam mengiring proses percepatan, kita selalu terjebak dengan sistem dan kebiasaan lama yang seolah menjadi kebijakan yang tidak bisa dirubah. Sehingga setiap awal tahun oleh pegawai dianggap masa “paceklik” yang baru mulai berdenyut pada medio April dan Mei. Kebiasaan ini justeru sering disinyalir sebagai penyebabkan rendahnya kinerja aparatur pemerintah dengan dalih menyalahkan sistem pengganggaran dan lupa bahwa kita adalah bahagian dari sistem dimaksud.
Reformasi birokrasi telah menggeser paradigma tata kelola pemerintahan yang semula lebih menekankan hak-hak eklusif bagi negara untuk mengatur hak publik (goverment) menjadi urusan bersama antara pemerintah, civil society dan dunia usaha (governance). Sehingga untuk menghasilkan tata pemerintahan yang baik (good governance), langkah kebijakan inovatif pemerintah Aceh yang telah menghasilkan percepatan pengesahan anggaran, harus tetap berpijak pada konstruksi yang kokoh sebagai hasil interaksi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang bersendikan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas dan partisipatif.
Jika semua ini dapat kita wujudkan, maka seluruh unsur yang terlibat dalam pengelolaan anggaran (APBA 2014) merasa ikut memiliki. Semua ini berdampak pada peningkatan kinerja, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan di samping diharapkan tetap dapat menampung sasaran-sasaran perencanaan yang bersifat makro yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sebagai wujud sistem perencanaan yang serasi antara bottom up planning dan top down policy.
Memaknai prinsip bahwa APBA oleh pemerintah daerah digunakan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas pengeluaran dana masyarakat dalam melakukan pemberian pelayanan kepada masyarakat, maka para perencana diharapkan harus memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai hubungan program dengan anggaran kinerja khususnya berkaitan dengan strategi dan prioritas program yang memiliki nilai taktis strategis bagi pembangunan. sehingga tujuan pembangunan dalam upaya meningkatkan sumberdaya masyarakat dan opimalisasi pelayanan publik dapat terwujud.
Kebijakan strategis
Inovasi kebijakan dalam menetapkan kebijakan strategis terhadap percepatan pengesahan anggaran menjadi sebuah langkah penting dimana semua perubahan yang dilakukan harus menghasilkan aset berwujud (tengible asset) dengan hasil nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Inovasi dalam merubah kondisi stagnant sebagai langkah reformasi birokrasi yang oleh Caiden (1969) didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan oleh manusia tidak bersifat otomatis atau alamiah, sebagai suatu proses dan mengandung resistensi seiring reformasi itu sendiri.
Sebelum Reformasi Birokrasi dicanangkan, ketidakberanian kita berinovasi dalam mengambil kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat, lebih disebabkan terbelenggunya kita pada konsep birokrasi era administrasi publik tradisional ala Max Weber yang menekankan bahwa birokrasi memerlukan aturan yang jelas, hirarki spesialisasi dan lingkungan yang relatif stabil. Sehingga kita beranggapan bahwa pada tataran birokrasi pemerintah, inovasi tidak diperlukan.
Kewajiban administrator dalam pemerintahan adalah menjalankan aturan yang telah ditetapkan (rule driven) kalaupun diperlukan hanya untuk mengakomodir masukan dalam mekanisme top down. Namun dalam perkembangannya, hegemoni konsepsi ini bergeser dengan bergulirnya new public management yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi pelayanan masyarakat yang digerakkan oleh misi dan desentralisasi (Osbone, 1992).
Ketika otonomi daerah diimplementasikan, maka konsekwensi logisnya adalah sejauh mana daerah mampu mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan daerah secara efektif dan efisien. Kita berharap semua aktor yang terlibat dalam proses percepatan pengesahan APBA 2014 dapat menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan integritas, serta memiliki arah yang jelas terhadap kebijakan anggaran yang berbasis pada kepentingan publik. Sehingga implikasi reformasi birokrasi yang dilakukan menggambarkan sebuah fenomena perbaikan kinerja dalam konstruksi sinergis antara masyarakat dan pemerintah sebagai mekanisme kinerja yang aspiratif.