Opini

Merkuri Ancam Masa Depan Aceh

MEMBACA berita “Mengungkap Sindikat Merkuri” yang diturunkan sebagai headline di Serambi Indonesia, Selasa (18/2/2014)

Editor: bakri

Oleh Siti Maria Ladia PS

MEMBACA berita “Mengungkap Sindikat Merkuri” yang diturunkan sebagai headline di Serambi Indonesia, Selasa (18/2/2014), membuat saya tercengang. Bagaimana tidak, kasus penyelundupan dan pengedaran merkuri yang dibahas hampir satu halaman depan surat kabar sudah sangat memprihatinkan. Yang anehnya lagi, peristiwa ini sudah terjadi lama dan baru diungkap sekarang. Semuanya berawal dari aktivitas tambang emas yang menyebar di Aceh. Tak ayal lagi, Aceh merupakan satu provinsi di Indonesia yang paling banyak mengandung logam mulia emas. Ini menjadi satu alasan mengapa Aceh disebut `provinsi kaya’.

Meski demikian, kekayaan yang dimiliki tak selamanya membuat masyarakat Aceh hidup sejahtera, bahkan menimbulkan dilema baru yang akar permasalahannya sudah sangat kompleks. Hal ini, sebenarnya bukan bermasalah di tambang emas Aceh, tapi aktivitas penambang emas ilegal yang menuai kontroversi. Mulai dari tewasnya 12 penambang yang dilaporkan sepanjang 2008-2013 karena tertimbun di dasar terowongan dan kehabisan oksigen, sekarang muncul lagi masalah baru yaitu pencemaran merkuri disebabkan aktivitas penambangan emas ilegal.

 Logam cair berbahaya
Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan peredaran merkuri yang terkandung dalam berbagai kosmetik ilegal. Merkuri atau air raksa merupakan logam berat berbahaya. Merkuri diberikan simbol kimia Hg yang merupakan singkatan dari bahasa Yunani Hydrargyrum, yang berarti cairan perak. Ini satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam temperatur kamar (250C), titik bekunya paling rendah (-390C), berwarna abu-abu, tidak berbau, mempunyai kecenderungan lebih besar bercampur dengan logam lain menjadi logam campuran.

Merkuri digunakan untuk pemisahan logam emas dengan unsur logam lainnya, untuk alat-alat kedokteran, serta sebagai konduktor yang baik dalam mengalirkan tegangan arus listrik tinggi maupun rendah. Namun secara keseluruhan merkuri sama sekali tidak dibutuhkan kehadirannya dalam tubuh kita, karena logam berat yang satu ini sangat berbahaya (Roger, 1984).

Semua komponen merkuri dalam bentuk apa pun yang masuk ke tubuh manusia menyebabkan kerusakan permanen pada otak, hati, dan ginjal. Seperti merkuri anorganik dalam bentuk garam yang banyak digunakan dalam kosmetik dan obat-obatan ilegal maupun merkuri organik yang beredar dan mengendap di alam yang efek racunnya tidak akan hilang selama berabad-abad seperti metil merkuri. Dr Charless Lee mengatakan bahwa paparan merkuri bisa menyebabkan dampak kesehatan yang serius. Efeknya bisa merusak ginjal dan sstem saraf serta menghambat perkembangan otak bayi dalam kandungan dan anak-anak yang masih kecil.

Tidak hanya itu, merkuri juga bisa terhisap melalui pernapasan dengan kadar penyerapan 80% yang bisa menyebabkan kerusakan parah pada sistem pernapasan. Di dalam darah, 90% metil merkuri diserap ke dalam sel darah merah, dan bisa menyebabkan gangguan di seluruh tubuh, baik  pada sistem saraf pusat, pencernaan, imunitas, gangguan peredaran darah, bahkan gangguan di sistem reproduksi. Apabila terpapar pada ibu hamil akan berpindah melalui plasenta pada bayi yang menyebabkan mutasi pada DNA, sehingga menyebabkan bayi yang dilahirkan mengalami gangguan berbagai fungsi otak dan tubuh, kecacatan bahkan kematian.

Di antara semua unsur logam berat, merkuri menduduki peringkat pertama dalam hal racunnya. Kehadiran merkuri dalam tubuh walaupun sedikit atau berada di bawah ambang batas toleransi tetap membahayakan kesehatan. Terlebih lagi ketika akumulasi merkuri sudah menumpuk di dalam tubuh maka akan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian.

Pada awal Januari 2013 lalu, negara-negara anggota PBB telah berhasil menyepakati Konvensi Minamata di Jenewa, yang bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahaya merkuri. Adanya konvensi ini menuntut Indonesia sebagai salah satu anggota PBB dan sebagai Negara yang memiliki banyak tambang emas untuk menerapkan sistem dan teknologi yang rendah merkuri, mengatur tentang pembuangan limbah merkuri dan juga mencegah penyelundupan merkuri yang marak terjadi saat ini.

 Kompleksitas masalah
Permasalahan yang terjadi saat ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, namun harus kita lihat dari berbagai aspek. Munculnya puluhan bahkan ratusan penambang emas illegal ini harusnya menjadi pengamatan pihak pemerintah Aceh. Mengapa hal ini bisa terjadi? Saat ini masyarakat berlomba-lomba ingin cepat kaya dan sejahtera. Seiring dengan beban hidup yang lebih tinggi, masyarakat mulai mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dalam waktu cepat tanpa memikirkan risiko-risiko yang akan dihadapi.

Harapan untuk menjadi cepat kaya terbentang di benak para penambang emas tersebut, mereka tidak memikirkan keselamatan bahkan kesehatan keluarganya hanya demi mendulang rupiah dan mendapatkan hidup yang lebih layak. Bertani bukan lagi pilihan, hasil panen yang lama belum lagi serangan hama dan kemarau ekstrem menjadi pertimbangan besar. Makanya tak heran jika di wilayah-wilayah yang memiliki banyak aset tambang emas, lebih banyak masyarakat yang memilih untuk bekerja sebagai penambang.

Aktivitas menambang memang bukan hal yang mudah, mereka harus berpacu dengan waktu dan tenaga yang dikuras luar biasa, kadang hasilnya sesuai dengan keringat, kadang pula tidak, bahkan harus merelakan nyawa sendiri dan keluarga. Penggunaan merkuri yang digunakan untuk memisahkan bijih emas sudah menyebar kemana-mana. Saat penambang pulang membawa uang, tanpa disadari dia juga “membawa maut” untuk keluarga dan orang-orang sekitarnya. Jika sudah begini kejadiannya, siapa yang harus disalahkan?

Tidak mungkin kita hanya menyalahkan sang penambang yang mencari pundi-pundi emas di lubang maut, atau tauke emas yang ingin cepat kaya dengan “tambang surga-neraka” itu, atau masyarakat yang membiarkan aktivitas ilegal ini terjadi di daerahnya. Tapi kemana perginya pihak pemerintah setempat? Mengapa membiarkan kejadian ini terus berlarut-larut, padahal sudah mengetahui dampak yang akan ditimbulkan?

Pencemaran merkuri di beberapa daerah di Aceh yang disajikan secara eksklusif di Harian Serambi Indonesia sebagaimana kita sebutkan di awal tulisan ini, sebenarnya telah menyindir Pemerintah Aceh yang ‘loyo’ terhadap pencemaran lingkungan dan kesehatan bagi masyarakat Aceh. Betapa tidak, pemerintah dianggap lalai dalam menangani kasus penggelapan merkuri, seperti yang saat ini marak terjadi di Aceh Jaya. Akibatnya, apa yang telah dilakukan pemerintah bisa dibilang tidak ada artinya dibandingkan dengan korban yang telah dan akan terus berjatuhan.

Apakah Pemkab Aceh Jaya khususnya, tidak berpikir jika kabar pencemaran merkuri di sana akan mengurangi pendapatan daerah? Karena merkuri yang telah mencemari sungai akan masuk ke dalam tubuh ikan dan hewan laut. Merkuri juga akan mencemari pengairan di sawah dan masuk ke dalam tumbuh-tumbuhan, yang pada gilirannya mengancam kesehatan manusia yang mengonsumsinya. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved