Opini

Aceh Poros Maritim Nusantara, Mungkinkah?

KEINGINAN Pemerintah Aceh untuk memperluas kewenangannya dalam mengelola wilayah laut hingga mencapai 200 mil

Editor: bakri

Oleh Muhammad Heikal Daudy

KEINGINAN Pemerintah Aceh untuk memperluas kewenangannya dalam mengelola wilayah laut hingga mencapai 200 mil dapat dipaham (Serambi, 26/11/14). Sekalipun pada kenyataannya dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setiap pemerintah daerah (pemda) diberi wewenang oleh pemerintah pusat untuk mengelola laut wilayahnya seluas 12 mil laut sesuai ukuran lebar laut teritorial dan selebihnya menjadi urusan nasional. Dalam perkembangannya, persoalan seberapa besar wewenang pemda untuk mengelola laut wilayahnya memang tidak sederhana.

Satu titik krusial (crutial point) dari persoalan ini berpunca pada masalah luas wilayah sebagai variabel penting bagi setiap pemda dalam menghitung besaran dana alokasi umum (DAU) yang diterima dari pemerintah pusat. Oleh karena selama ini pemerintah pusat hanya mendasarkan perhitungannya pada variabel tunggal yakni luas daratan saja. Praktis kebijakan tersebut menuai kontroversi dari daerah-daerah, khususnya yang memiliki pantai dan/atau pulau hingga memunculkan pertanyaan; Mengapa luas wilayah daerah yang diperhitungkan dalam DAU hanya luas daratan saja? (Sobar Sutrisna, 2006)

Pemerintah Aceh sendiri berdasarkan MoU Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), sangat menginginkan agar pemanfaatan serta pengelolaan laut yang ada di wilayah pantainya secara sungguh-sungguh wujud di bawah kewenangannya secara langsung. Kepentingannya bukan semata-mata alasan ekonomis (perolehan DAU, DAK, dsb), melainkan Pemerintah Aceh punya visi besar untuk mampu “berdaulat” terhadap wilayah lautnya. Berdaulat disini berpretensi pada dua hal yaitu: a) berdaulat secara ekonomi sebagai wujud kemandirian; dan b) berdaulat secara hukum demi eksistensi keistimewaan dan kekhususannya sebagai daerah otonomi dalam bingkai NKRI. Lalu mampukah Pemerintah Aceh mewujudkannya?

Sekadar ingatan bahwa secara geografis perairan laut Aceh berada di antara Selat Malaka (pesisir timur) dan Samudera Hindia (pesisir barat), menempatkan daerah ini berhadapan langsung dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Laut Aceh merupakan aset besar yang berperan sebagai sumber kekayaan alam, sumber energi, sumber bahan makanan, media lintas laut antar pulau, kawasan perdagangan, dan wilayah pertahanan keamanan.

 Semakin berkembang
Dewasa ini perhatian masyarakat Aceh terhadap potensi wilayah lautnya semakin berkembang. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh perkembangan pembangunan yang dinamis, yang mengakibatkan semakin terbatasnya potensi sumber daya di darat. Pengaruh lainnya adalah perkembangan kemaritiman secara nasional sehingga memberikan kemudahan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut.

Sementara itu, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut masih menghadapi kendala klasik berupa: 1) Kendala teknis, meliputi tingkat kemiskinan nelayan yang tinggi, rendahnya produktivitas, gejala tangkap lebih dan illegal fishing, pencemaran dan kerusakan fisik habitat, konflik penggunaan ruang, minimnya perhatian pembangunan pulau-pulai kecil, lemahnya penanganan pascapanen dan pemasaran serta rendahnya semangat bahari; 2) Kendala struktural, meliputi kondisi ekonomi makro yang belum kondusif bagi kemajuan perikanan serta sistem hukum dan kelembagaan perikanan yang masih lemah (Wingyo Handoko, 2004).

Berkaca pada permasalahan yang berpotensi muncul dari dua kendala tersebut, sejatinya kedaulatan Aceh terhadap laut wilayahnya haruslah diwujudkan dengan mengoptimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya lokal secara bijak, khususnya di sektor perikanan dan kelautan. Sejumlah peraturan terkait dengan pemanfaatan serta pengelolaan laut ini cukup relevan untuk dijadikan tolok ukur di antaranya: a) Konvensi Internasional Hukum Laut 1982 telah diratifikasi melalui UU No.17 Tahun 1985; b) Konvensi Hak ekonomi, sosial dan budaya 1976 telah diratifikasi melalui UU No.11 Tahun 2005; c) UUPA; dan d) regulasi-derivatif terkait lainnya.

Pemerintah Aceh berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan dan kelautannya. Secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 162 ayat (1) UUPA bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang hidup di laut wilayah Aceh. Selanjutnya pada ayat (2) diuraikan mengenai kewenangan untuk mengelola SDA yang hidup di laut sebagaimana dimaksud meliputi; a) Konservasi dan pengelolaan SDA di laut; b) Pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan; c) Pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; d) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya; e) Pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut; dan f) Keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan NKRI.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut di sekitar Aceh sesuai dengan kewenangannya (Pasal 162 ayat (3) UUPA). Adapun pengelolaan SDA di wilayah laut sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup (Pasal 162 ayat (4) UUPA). Ini menunjukkan bahwa, Aceh memiliki potensi besar untuk membangun kedaulatan lautnya.

 Tunduk pada UUPA
Pemerintah Aceh wajib menjadikan UUPA sebagai dasar dalam melahirkan kebijakan-kebijakan strategis dalam hal pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan serta penegakan hukum di wilayah lautnya. Pemerintah Aceh dapat mengenyampingkan produk peraturan perundang-undangan lain yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan yang berlaku umum secara nasional. Seperti pengelolaan perikanan, Pemerintah Aceh hanya tunduk pada UUPA dan bukan pada UU No.45 Tahun 2009 atau UU lainnya, sepanjang pasal-pasal yang diatur itu bertentangan dengan UUPA, karena dalam hal ini berlaku azas hukum lex specialis derogat leg lex generalis. (Sulaiman Tripa, 2010)

Adapun pertimbangan bagi Pemerintah Aceh untuk fokus memanfaatkan serta mengelola sumber daya perikanan dan kelautan sebagai leading sector kebijakannya, yaitu: Pertama, Aceh memiliki sumber daya laut yang besar, baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas; Kedua, Aceh memiliki daya saing (competitive advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana tercermin dan bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya; Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backtrand and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya; Keempat, sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga bertahan dalam jangka panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula, dan; Keenam, secara umum industri perikanan berbasis sumber daya lokal dengan input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar.

Peran Pemerintah Aceh sebagai regulator di sektor ini harus lebih efektif, sehingga dalam implementasinya tidak berjalan lamban apalagi sampai mandeg seperti saat ini. Demikian pula pengarusutamaan prinsip pemenuhan hak ekonomi sosial budaya dalam pembuatan kebijakan harus terimplementasi secara aplikatif. Jika tidak, maka hanya akan menjerumuskan masyarakat khususnya para nelayan sebagai penerima manfaat langsung. Jadi, perlindungan terhadap kehidupan nelayan harus sungguh-sungguh diperhatikan dan dipenuhi oleh Pemerintah Aceh. Sehingga pendayagunaan potensi kelautan (ocean economics) akan memberi peluang terhadap optimalisasi peran sumber daya lokal seperti para nelayan di Aceh.

Upaya Pemerintah Aceh dalam melahirkan kebijakan-kebijakan strategis di sektor perikanan dan kelautan, serta penegakan hukum di laut wilayahnya dengan berpedoman pada UUPA dan aturan terkait lainnya, akan menjadi modal utama dalam mendorong terjadinya demokratisasi dan keadilan sosial, demi mensejahterakan rakyat Aceh, khususnya peningkatan kualitas kehidupan para nelayan dan yang terpenting kedaulatan Aceh terhadap laut wilayahnya dapat terjuwud. Dan sesuai visi-misi duet kepemimpinan nasional sekarang yang menginginkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka Aceh adalah poros maritim Nusantara. Nah!

* Muhammad Heikal Daudy, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha). Email: heikal1985@gmail.com

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved