Opini
Hantu ‘Bullying’ Jilid II
TAK berselang lama sejak kemunculan opini Lailatussaadah, berjudul “Hantu Bullying di Sekolah” (Serambi, 19/9/2015)
Oleh Hanif Sofyan
TAK berselang lama sejak kemunculan opini Lailatussaadah, berjudul “Hantu Bullying di Sekolah” (Serambi, 19/9/2015) terjadi dua peristiwa kekerasan anak yang cukup memilukan sekaligus memprihatinkan. Kedua kasus termutakhir itu masuk dalam kategori bullying (kekerasan) berat karena menyebabkan kematian pada kedua korbannya. Kasus pertama menimpa Ayu Azahara (9 tahun) korban kekerasan “konflik rumah tangga” yang sedang dalam penyelidikan pihak kepolisian (Serambi, 14/9/2015). Kasus termutakhir menimpa Nurul Fatimah (11 tahun) yang berdasarkan penyelidikan awal disebabkan oleh pengeroyokan yang dilakukan oleh teman-teman sebaya di sekolahnya (Serambi, 28/9/2015).
Apa yang kita saksikan di Youtube pada medio Juni 2014 silam karena kasus tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok murid sekolah dasar terhadap teman siswinya di Sumatera Barat dan memancing reaksi keras dan meluas ternyata terjadi juga di Aceh, bahkan sampai menimbulkan kematian pada korbannya.
Apa yang menjadi kekuatiran Lailatussaadah, Dosen Prodi Pendidikan Islam UIN Ar-Raniry dalam opininya soal bullying menjadi persoalan yang tidak sederhana lagi. Pertama, berkaitan dengan kekerasan itu sendiri, dan; Kedua, kekerasan berujung kematian korbannya dilakukan oleh anak-anak yang masih di bawah umur. Poin kedua menjadi dasar keprihatianan kita yang mendalam.
Kedua peristiwa tersebut membuka mata kita atas pencarian jawaban petanyaan, apa sesungguhnya yang sedang terjadi di lingkungan kita, di antara anak-anak kita? Apakah dampak dari meniru adegan karena maraknya tayangan sinetron, film dan game yang menyuguhkan kekerasan, genk-genk di lingkungan sekolah, dramatisasi kaya-miskin yang hampir merata di banyak televisi swasta kita? Ataukah karena kurikulum dan sistem pembelajaran di sekolah atau institusi pendidikan kita yang salah?
Berbagai peristiwa yang terjadi saat ini merupakan kausalitas-sebab akibat dari peristiwa lainnya. Dalam beberapa waktu sebelumnya pemerintah kota Banda Aceh secara serius melakukan ‘razia’ terkait perkembangan permainan game online yang tidak hanya menjadi sebab maraknya judi online, namun menu sajian game yang menyuguhkan kekerasan menjadi stimulan yang mendorong perubahan perilaku anak-anak kita saat ini. Kebijakan tersebut merepresentasikan kekuatiran kita semua atas dampak negatif suguhan kekerasan dan kebebasan ekspresi yang keblablasan.
Dampak kekerasan
Menarik mencermati hal-hal apa yang dapat dirasakan langsung oleh anak-anak korban bullying, terutama yang berada di lingkungan sekolah, sebagaimana disampaikan Lailatussaadah. Anak-anak korban bully selalu memikirkan hal-hal (kekerasan) apalagi yang akan terjadi dan dialami selanjutnya? Siapa yang akan menolong? Bagaimana menceritakan kepada orang lain, terutama gurunya tanpa bukti kuat dan menyaksikan langsung kejadian kekerasan yang dialaminya? Hal-hal yang terlihat sederhana tersebut menjadi persoalan yang sangat kompleks bagi anak-anak yang mengalami kekerasan.
Dalam upaya meminimalisir dampaknya peran berbagai komponen sekolah maupun orang tua sendiri harus lebih konkret dan realistis. Karena pengaduan yang tidak direspons dengan cepat, tidak ditindaklanjuti dan dicarikan solusinya secara cepat dan tepat justru akan semakin memperburuk perlakuan yang dapat diterima oleh korban bully. Karena perlakuan intimidasi akan terus berlangsung selama korban tidak mendapat dukungan yang serius. Harus dibangun sebuah mekanisme sistem pengaduan dan perlindungan korban yang secara serius ditangani oleh pihak sekolah.
Dalam kenyataannya berbagai faktor penanganan yang tidak direspon dan dicarikan jalan keluarnya yang tepatlah yang menyebabkan korban semakin terintimidasi bahkan oleh beberapa pihak sekaligus, pelaku bully dan pihak sekolah yang tidak memiliki bukti cukup untuk ‘menyeret’ pelaku dan memberikan sanksi atau jika telah masuk ke ranah hukum harus berpedoman pada Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak disekolah, penting diberi pembelajaran tentang pemahaman tentang bagian tubuh yang dianggap ‘sensitif’ baik untuk anak-anak pria maupun wanita. Ketika bagian yang dianggap ‘tabu’ diganggu sebisa mungkin mereka ‘melawan, memberontak’ atau berteriak meminta pertolongan. Dalam hal ini peran para pihak yang terlibat langsung dalam kasus per kasus harus cermat menangani masalah jangan justru menjadi blunder, menyudutkan ‘korban’ dan memberi peluang para pelaku untuk mengulangi, melakukan intimidasi, umumnya hal ini berkaitan dengan bukti tindak kekerasan tersebut.
Mekanisme “pertahanan dan perlindungan” munculnya kasus kekerasan di sekolah harus dibangun dengan baik sebagai antisipasi awal kemungkinan timbulnya tindak kekerasan yang bisa menimpa siswa manapun. Pemberlakuan disiplin jam operasional sekolah secara jelas, termasuk jam kegiatan ekstra kurikuler, penanggung jawab kegiatan atau petugas keamanan yang harus ada di lokasi sekolah dan stand by memberi pertolongan atau pengawasan. Karena bisa saja kasus kekerasan dilakukan dilingkungan sekolah yang tidak terdeteksi pengawas, guru atau penjaga keamanan. Beberapa kasus terjadi di ruang kelas, ruang antara (tangga gedung) yang diakses rutin tanpa pilihan jalan keluar lain, belakang sekolah dan lingkungan kamar mandi atau toilet sekolah.
Dalam kebijakan dan aturan sekolah juga harus dimasukkan poin-poin yang menekankan punisment and reward, sanksi bagi pelaku kekerasan maupun pemberian jaminan keamanan bagi whistle blower (pemberi informasi) yang harus dijaga dengan hati-hati agar tidak menjadi alasan timbulnya kekerasan baru karena dasar dari pengaduan yang belum dicermati sudah dipublikasi pihak sekolah termasuk nama pemberi informasinya karena dapat menimbulkan kekerasan baru akibat dendam. Forum ini dapat difasilitasi dengan dibentuknya Komite khusus penanganan dan pengaduan kasus kekerasan disekolah, termasuk juga dengan menggencarkan kampanye tentang UU Sistem Pidana Anak, Hukuman bagi pelaku kekerasan termasuk pelaku anak-anak, agar anak didik memahami dan berhati-hati dalam bertingkah laku buruk.
Lebih proaktif
Pemahaman peran orang tua dan guru terhadap kasus kekerasan yang menimpa anak didik dan putera-puterinya agar lebih proaktif ketika menemukan indikasi adanya tindak kekerasan, dapat berupa gejala sakit atau kecelakaan yang tidak wajar. Demikian juga dengan tingkat kepedulian masyarakat terhadap pengawasan pendidikan anak-anak dengan tidak menyerahkan sepenuhnya pada peran sekolah termasuk dalam penanganan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang tidak lagi menjadi ‘rumah kedua’ yang aman bagi anak-anak.
Dalam konteks pemberlakuan kurikulum yang memuat berbagai materi berbasis norma agama, sosial dan pembentukan karakter harus secara intensif diaplikasikan dalam kondisi riil untuk memberi gambaran konkret bagi anak didik; korelasi antara materi pembelajaran dan pemanfaatannya dalam kehidupan nyata secara hati-hati. Dalam hal ini pemberlakuan Kurikulum 2013 (K-13) sebenarnya telah mengakomodir berbagai kebutuhan aplikasi tersebut, hanya saja dalam pelaksanaanya masih trial and error. Karena kurikulum ini masih terus akan dievaluasi untuk menemukan bentuknya yang paling sesuai dengan kebutuhan membangun basis karakter anak didik di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya yang berbasis syariat.
Muatannya akan lebih dominan didorong dengan muatan syariah, materi pembelajaran agama yang porsinya lebih besar yang dimasukkan dalam muatan lokal (mulok).