KUPI BEUNGOH
Kutub Pemikiran Teuku Zulkhairi, Nauval, dan Syah Reza
forum-forum ilmiah harus tetap dipertahankan demi perkembangan intelektual kaum muslimin.
TELAH berlangsung diskusi menarik via tulisan di rubrik kupi beungoh pada Ramadhan lalu antara Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran. Setelah menyimak ulasan dari dua sosok tersebut, maka dapat dipastikan jika keduanya berasal dari dua kutub pemikiran yang berbeda.
Jika hendak memakai istilah yang digunakan oleh penulis-penulis kontemporer, maka Teuku Zulkhairi berada di kutub tradisionalisme skolastik yang sangat terikat dengan mazhab tertentu, sedangkan Nauval Pally Taran masuk dalam katagori tradisionalisme Salafi yang tidak terikat dengan mazhab tertentu, di mana pemikiraannya banyak merujuk pada praktek Salaf. [BACA : Catatan untuk Dakwah Salafy, Hendaklah Lebih Toleran!]
Namun demikian klasifikasi ini tidaklah absolut. Artinya, masih terbuka peluang untuk direvisi kembali. Saya mungkin terlalu buru-buru dalam mengelompokkan kedua sosok ini, tapi klasifikasi ini penting guna mengurai “benang kusut” antaranya keduanya. [BACA:Menjawab Teuku Zulkhairi, Mengenai Dakwah Salafi].
Perbedaan kutup pemikiran kedua sosok ini tentunya akan berimplikasi pada perbedaan cara pandang dan landasan pijak yang digunakan oleh keduanya. Sebagai seorang tradisionalis skolastik, Teuku Zulkhairi juga merujuk kepada Alquran dan Sunnah.
Tetapi seperti dikatakan oleh Tariq Ramadan (2002), bahwa Alquran dan Sunnah dalam pemahaman tradisionalisme skolastik adalah sebagaimana dipahami oleh ulama mazhab dan tidak ada ruang untuk pembaharuan.
Kenyataan ini tentu berbeda dengan Nauval Pally Taran yang menurut dugaan saya berada di kutub tradisionalisme Salafi. Menurut Ramadan, kubu ini tidak terikat dengan ulama mazhab dalam memahami Alquran dan Sunnah, tetapi mereka cenderung mengikuti praktik langsung dari para sahabat Nabi Saw. Kubu ini memiliki banyak persamaan dengan kelompok ahlul hadits, seperti halnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Sementara itu, dalam konteks teologi, baik Teuku Zulkhairi maupun Nauval Pally Taran masih berada dalam lingkup teologi Sunni. Sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisan mereka, bahwa keduanya sama-sama mengaku dan menyebut diri sebagai ahlussunnah waljama’ah. Tentunya hal ini bukanlah sebatas klaim, tetapi dibuktikan oleh argumen dan tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam tulisan mereka. Baik Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran sama-sama menggunakan referensi dari kalangan Sunni dan terbebas dari unsur-unsur teologi Syi’ah. Tegasnya, Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran bukan Syi’ah.
Tanggapan Syah Reza
Menyikapi “polemik” antara Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran, seorang penulis lainnya juga ikut “nimbrung” guna menyemarakkan diskusi tersebut. Syah Reza dalam tulisannya telah berusaha mengurai “benang kusut” antara Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran dengan memposisikan keduanya sesuai manhaj masing-masing.
Sebagai bentuk apresiasi, bahkan Syah Reza menyebut bahwa “perdebatan” antara Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran sebagai bentuk tradisi ilmiah yang pernah dipraktekkan oleh Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. [BACA:Mendamaikan Teuku Zulkhairi Versus Nauval Pally Taran]
Di awal tulisannya Syah Reza menukil kisah perdebatan ilmiah via tulisan antara Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, di mana pihak pertama menghasilkan Tahafut Al-Falasifah dan pihak kedua melahirkan Tahafut Al-Tahafut, meskipun kedua perdebatan ini sebenarnya tidak terjadi dalam satu masa.
Seperti kita ketahui, Ibn Rusyd menulis bantahannya terhadap Al-Ghazali jauh setelah Al-Ghazali wafat sehingga tidak memungkinkan bagi Al-Ghazali untuk melakukan kritik balik. Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H, sedangkan Ibn Rusyd baru lahir pada tahun 520 H. Kondisi ini tentunya berbeda dengan “perdebatan” Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran yang berlangsung semasa–yang di abad modern ini mungkin agak serupa dengan debat Soekarno versus Natsir.
Selain itu, Syah Reza juga nampak “kurang adil” dalam memberikan contoh, misalnya Syah Reza menyebut bahwa Ibn Taimiyah yang bermanhaj Salaf membid’ahkan filsafat. Secara tidak langsung contoh ini memberi kesan bahwa seolah-olah hanya Ibn Taimiyah saja yang tidak toleran terhadap filsafat. Padahal jika ditelisik, kritik terhadap para filosof juga dilakukan oleh Al-Ghazali yang notabene bermanhaj Asy’ariyah dalam Tahafut Al-Falasifah.
Secara umum, tulisan Syah Reza memang cukup mencerahkan–dan saya juga mengambil manfaat dari tulisan beliau. Tetapi (mohon maaf), saya melihat Syah Reza “tidak setia” pada tujuannnya sendiri. Tujuan awal dari Syah Reza adalah ingin mendamaikan Teuku Zulkhairi dan Nauval Pally Taran – dan ini tercermin dari tajuk tulisannya.
Namun sayangnya di akhir tulisan tersebut saudara saya Syah Reza justru membuat konklusi yang lumayan “melenceng”. Artinya Syah Reza bukannya mendamaikan keduanya (TZ dan NPT), tetapi justru memperkuat posisi Teuku Zulkhairi.