Salam
Jangan Perpanjang Daftar Kematian di Lahan Tambang
Prahara di tambang emas rakyat kembali terulang. Adalah Erwin bin Zainal Abidin (35) warga Gampong Pulo Loih
Prahara di tambang emas rakyat kembali terulang. Adalah Erwin bin Zainal Abidin (35) warga Gampong Pulo Loih, Kecamatan Geumpang, Pidie, tewas di lubang tambang sedalam 8 meter di pegunungan Geumpang, Selasa (11/7) siang, akibat lubang tambang runtuh.
Godaan logam mulia yang bernama emas, memang punya magnitude yang luar biasa. Imbauan hingga ketentuan penghentian penambangan secara tradisional lewat moratorium gubernur sekalipun, dianggap angin lalu.
Tragedi Erwin hanyalah segelintir prahara tambang tradisional yang terpantau. Karena sudah bukan rahasia lagi, petaka kematian di arena tambang sering ditutup secara rapat--terutama--ke media, untuk tidak memancing reaksi pengambil kebijakan, atau teriakan LSM lingkungan.
Harian ini mencatat sedikitnya 10 nyawa telah melayang di seputaran lokasi penambangan logam mulia di Geumpang, Pidie. Tanggal 21 Januari 2014, tiga penambang tewas kehabisan oksigen di kedalaman 30 meter di Pulo Loih. Pada 17 Nopember 2016, tiga penambang juga tewas dan tiga lainnya cedera tertimbun di Lamjeu Geumpang, Pidie. Selain itu, 20 Januari 2017, kembali tiga nyawa melayang pada lokasi tambang Pulo Loih, Geumpang.
Sementara korban tewas lainnya terjadi pada penambangan emas di Sungai Mas, Aceh Barat, Alur Peulumat Aceh Selatan hingga Gunong Ujuen, Aceh Jaya.
Rangkaian kematian itu seperti dianggap angin lalu, dan seakan dianggap kompensasi dari sebuah pekerjaan yang dibuai dengan mimpi menjadi milyarder.
Khusus untuk kawasan Geumpang, Pidie, beberapa pekan lalu, pihak Polisi Hutan Aceh yang berusaha menyita beko di lokasi tambang tebing sungai, malah dihadang oleh kelompok penambang yang ‘diperkuat’ dengan pihak pihak yang seharusnya bertanggungjawab membasmi penambang ilegal, yang jelas jelas memporakporandakan lingkungan.
Sejarah mencatat, penutupan lokasi tambang emas di Aceh, bukan karena regulasi pemerintah, tapi semata mata karena kandungan emas dirasakan tak layak tambang lagi. Lokasi Gunong Ujuen, Aceh Jaya, yang sempat dipenuhi puluhan ribu penambang, kini tinggal sejarah. Padahal lokasi tambang itu baru ditemukan tahun 2007 lalu.
Mimpi indah Gunong Ujuen mengingatkan kita dengan hamparan padang emas terbesar dunia di Kalgoorlie, Australia Barat, yang kini jadi sejarah dan disulap menjadi lokasi wisata.
Fenomena beko yang gagal disita di Geumpang, Pidie, makin membuat kita sadar, jika magnit mimpi emas itu bukan hanya dinikmati oleh rakyat penambang, pemilik beko, tapi juga figur figur yang kadang hanya sesekali melongok ke lokasi tambang.
Dalam kondisi begini rasanya, seribu kebijakan moratorium pun, hanya akan menjadi hiasan filing kabinet. Aksi di lapangan akan terus berlangsung, selama mimpi mimpi indah menjadi milyarder terus menggema dari lahan tambang.
Penutupan tambang emas sering ditingkahi alasan klasik, dikemanakan ribuan atau bahkan ‘digelembungkan’ menjadi puluhan ribu, warga yang selama ini menggantungkan hidup di area tambang emas. Padahal kita tahu sebagian besar mereka adalah pendatang, dan hanya sebagian kecil warga setempat.
Kini kita balik bertanya, kemana 30 ribu penambang di Gunong Ujuen, yang kini hanya menyisakan kerusakan lingkungan yang parah, serta ampas merkuri yang membayang kematian? Mereka mencari jalan sendiri, tanpa campurtangan pemerintah.
Jika berkaca dari fenomena Gunong Ujuen, maka kita hanya menanti kapan kandungan emas di Geumpang atau tempat lain habis. Dan para penambang pun bubar jalan sendiri, tanpa perlu regulasi moratorium. Kalau itu jadi pilihan, maka siap siaplah menanti nyanyian kematian dari lokasi tambang tradisional di Aceh.