Opini
Quo Vadis Pasal 57 dan 60 UUPA
POLEMIK tentang pencabutan Pasal 57 dan 60 ayat (1), (2), dan (4) UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Oleh Indra Milwady
POLEMIK tentang pencabutan Pasal 57 dan 60 ayat (1), (2), dan (4) UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) oleh Pasal 571 huruf (d) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terus bergulir menjadi isu hangat di Aceh. Begitu informasi pencabutan kedua pasal itu keluar, reaksi keras bermuculan di khalayak. Padahal, jauh sebelumnya draf UU Pemilu telah beredar luas, di mana Pasal 557 dan 571 yang digugat tersebut tidak berbeda antara yang berada dalam draf dan setelah disahkan.
Sampai saat ini, tiga gugatan telah terdaftar di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pencabutan dua pasal daru UUPA tersebut. Pemohon terdiri dari pertama 2 orang anggota DPRA, kedua Ketua DPRA sebagai lembaga, dan ketiga 2 orang Komisioner KIP Aceh plus 1 aktivis pemantau pemilu.
Ketiga gugatan di atas mempertanyakan keberadaan Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu dan meminta kepada MK agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945, dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lantas, apa isi kedua pasal tersebut? Apakah memang harus digugurkan? Mari kita bahas satu persatu.
Isi Pasal 557 UU No.7 Tahun 2017: (1) Kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh terdiri atas: a. KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan KPU; dan
b. Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hirarkis dengan Bawaslu. (2) Kelembagaan penyelenggara pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan UU ini.
Ada yang luput dari pengamatan para penggugat, yaitu apabila masalah hirarkis KIP dan Panwaslih kepada KPU dan Bawaslu dipertanyakan, maka seharusnya penggugat dan pengacaranya ikut menggugat Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (3). Pasal 8 ayat (1) berbunyi, “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis, termasuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota atau nama lain pada satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dan pasal 89 ayat (3) bunyinya lebih kurang sama terkait dengan Bawaslu.
Sementara hubungan KIP dengan KPU RI dan Panwaslih dengan Bawaslu RI selama ini memang bersifat hirarkis dan tidak ada yang aneh tentang hal ini. Lihat saja bagaimana kedua lembaga penyelenggara pemilu di Aceh tersebut menjalankan aturan-aturan dan mengikuti aktivitas capacity building yang dibuat oleh KPU RI dan Bawaslu.
Tak main comot
Kemudian untuk memahami maksud dari Pasal 557 ini kita tidak bisa main comot 1 pasal saja, namun harus memahami konstruksi UU itu sendiri. Pasal 557 berada pada bagian Buku Keenam, Penutup, yang terdiri dari 3 Bab, yaitu Bab I Ketentuan Lain Lain, Bab II Ketentuan Peralihan, dan Bab III Ketentuan Penutup. Bab I Ketentuan Lain-lain terdiri dari 4 pasal, yaitu Pasal 555 s/d Pasal 568. Pasal-pasal di dalam Bab I Buku Keenam, mengatur bagaimana bila terjadi hal yang mengakibatkan lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) tidak dapat melaksanakan tugasnya maka lembaga mana yang mengambil alih dan langkah apa yang harus diambil.
Pasal 555 ayat (1) mengatur bahwa bila KPU berhalangan, maka tugasnya diambil-alih oleh Sekjen KPU untuk sementara waktu hingga KPU dapat bertugas kembali. Ayat (2) menyatakan dalam hal KPU berhalangan, maka Presiden dan DPR mengambil keputusan dan/atautindakan yang bersifat strategis agar KPU dapatmelaksanakan tugasnya kembali paling lambat 30 hari. Dan Ayat (3) mengatur apabila KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka KPU setingkat di atasnya mengambil alih untuk sementara waktu sampai KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat menjalankan tugasnya kembali.
Selanjutnya Pasal 556 mengatur perihal Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota berhalangan yang sifatnya mutatis mutandis sebagaimana Pasal 555 dengan KPU. Dan pasal 558 atau pasal terakhir di Bab I Buku Keenam tersebut mengatur apabila DKPP berhalangan, di mana norma yang berlaku hampir sama dengan KPU dan Bawaslu.
Dengan memahami struktur UU seperti itu, akan sangat mudah memahami maksud dari pasal 557. Ketika 3 pasal dalam Bab I Buku Keenam membicarakan tentang situasi bila terjadi ada lembaga penyelenggara pemilu yang berhalangan, maka Pasal 557 sebenarnya menerangkan tentang bagaimana bila KIP dan/atau Panwaslih Aceh berhalangan, maka diambil-alih oleh lembaga di atasnya sebagaimana juga berlaku pada KPU dan Bawaslu daerah seperti diatur dalam Pasal 555 dan 556. Jadi pasal ini untuk mengatur hal tersebut, bukan mencabut kewenangan lain, seperti rekrutmen yang dikhawatirkan oleh penggugat.
Selanjutnya Pasal 571 huruf (d) menyebutkan, pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pasal 57 dan Pasal 6O ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Untuk memahami lebih lanjut, mari kita lihat isi Pasal 57 dan 60 UUPA. Pasal 57: (1) Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan anggota KIP kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur masyarakat; (2) Masa kerja anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Dan, Pasal 60: (1) Panwaslih Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh Panwas tingkat nasional dan bersifat ad hoc; (2) Pembentukan Panwaslih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah UU ini diundangkan; (3) Anggota Panwaslih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK; (4) Masa kerja Panwaslih berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.