Opini

Identitas Aceh, Suci dalam Debu

Bangsa Aceh itu adalah ‘anak singa’, bukan keturunan biri-biri yang kapan saja dapat dibeli, disembelih...

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Identitas Aceh, Suci dalam Debu
Dr. H. Yusra Habib Abdul Gani, SH

Oleh Yusra Habib Abdul Gani

WAJAH ketulusan politik dan identitas kebangsaan Aceh yang diperagakan lewat hubungan internasional, regional, termasuk format kebijakan politik dalam negeri, hanya dapat dikenali dalam catatan sejarawan yang kemudian dipakai menjadi referensi. Identitas kebangsaan Aceh serupa itu, tidak dikenal dalam realitas politik yang disaksikan sekarang.

Belakangan ini kita baru tahu dan sadar, kalau Aceh sebuah bangsa yang memiliki tamadun berteraskan Islam, pernah menawarkan identitas kebangsaan Aceh melalui ketulusan politik kepada kekhalifahan Osmaniyah Turki, sambil menyerahkan bungong jaroe berupa lada dan bendera Aceh. Saat berlabuh di pelabuhan Ankara, diplomat Aceh mengibarkan bendera Turki di atas geladak kapal Aceh, sebagai isyarat mau bersahabat, sekaligus menyatakan tunduk dan meminta diikut-sertakan menjadi satu negara di bawah perlindungan kekhalifahan Turki. Peristiwa ini berlaku pada 1520.

Diplomat Aceh menunggu lebih dari sebulan lamanya dalam kapal, sebelum diterima oleh penguasa Turki. Tawaran identitas kebangsaan Aceh akhirnya diterima dan membuahkan hubungan persahabatan antara kedua negara, dan terus kekal hingga meletus perang antara Belanda-Aceh pada 1873.

Turki kemudian membalas tawaran Aceh dengan mengirim perlengkapan senjata perang untuk menghadapi kekuatan Belanda, setelah Sultan Ibrahim Alaidin Mansur Syah (1838-1870) mengirim surat secara resmi kepada penguasa Turki. Meriam yang diberi oleh pemerintah Turki dengan nama Lada Sicupak, kini disimpan dalam Museum Militer di Bronbeek, Arnhem, Nederlands.

Dari sudut pandang moral politik dan hubungan internasional; tawaran identitas kebangsaan Aceh bersulam ketulusan hati (common sense) kepada pemerintah Turki adalah merupakan sebuah tradisi terhormat dalam sejarah perjalanan tamadun manusia.

Identitas kebangsaan
Tradisi memperkenalkan dan menawarkan identitas kebangsaan dengan ketulusan politik yang demikian, sudah pernah dilakukan oleh Rasulullah, ketika mengirim sepucuk surat kepada Raja Rum dengan menyebut “Dari Muhammad Rasulullah/Hamba Allah, kepada Harikal ‘Adhim ar-Rum” pada kepala surat.

Pemberian gelaran harikal ‘adhim merupakan simbol identitas Islam yang sangat mulia. Selanjutnya Baginda menulis “... Aku menyeru engkau dengan seruan Islam. Islamlah! Niscaya engkau selamat. Allah memberi pahala kepadamu dengan dua jenis. Pertama, kepada engkau. Kedua, rakyat engkau. Jika engkau berpaling, maka engkau menanggung dosa rakyatmu.” (Teks lengkap tersimpan di Museum di Istanbul, Turki).

Pangeran Maurits van Nassau juga mengamalkan tradisi menawarkan identitas kebangsaan Belanda melalui surat yang dikirimnya kepada Sultan Alaudin Ali Riayat Syah IV (1589-1604) dengan menyebut “Sri baginda yang mulia dan yang Maha berkuasa”. Surat tersebut ditutup dengan mengucap “Kami cium tangan Sri Baginda” (Yusra Habib Abdul Gani, 2008, hlm. 169).

Maurits bahkan mengadu kepada Sultan Aceh prihal penderitaan bangsanya di bawah jajahan Spanyol. Belanda respek dan simpati dengan sikap politik Aceh yang telah memberi pengakuan (recognation) bahwa Belanda adalah negara merdeka, di saat Belanda masih merupakan satu dari 17 provinsi di bawah jajahan Spanyol.

Namun, ketulusan politik Belanda tercoreng, apabila Belanda menganggap telah melakukan kesalahan karena telah mengakui bahwa Aceh sebagai sebuah negara merdeka melalui Traktat London 1824. Bahkan memprovokasi segelintir uleebalang hingga nekad mengibarkan bendara Belanda di Idi, Aceh Timur, dan menolak membayar pajak kepada pemerintah Aceh.

Peristiwa ini berlaku, justeru setelah perjanjian persahabatan antara Belanda-Aceh ditandatangani pada 1857. Tragisnya, Inggris yang menandatangani Perjanjian Raffles 1819, terpengaruh dan sanggup mengkhianati Aceh lewat Perjanjian Sumatera 1871. Inggris membatalkan Perjanjian itu pada 1871 dan Aceh membatalkannya pada 1 Mei 1873. (Anthony Reid, 2007, hlm 150.). Padahal Ratu Inggris pernah menawarkan identitas kebangsaannya kepada Aceh, yang diutarakan melalui surat diplomatik kepada Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Jenderal de Beaulieu juga pernah menawarkan identitas kebangsaan Prancis dengan ketulusan politik melalui sepucuk surat dari kepala negara Prancis yang diserahkannya kepada Sultan Iskandar Muda. Surat tersebut dibalas dengan tulisan bertinta emas, yang antaranya menyebut, “berhubungan dengan tawaran, apakah saya memerlukan sesuatu dari Prancis, saya sampaikan melalui Kapten Jenderal de Beaulieu sebuah laporan untuk menunjukkan betapa besar penghargaan saya, dan saya katakan pula jika Allah mengarahkan surat ini dengan selamat, saya mengharapkan jawaban dengan kapal-kapal yang bakal datang dengan muatan barang dagangan...” (Yusra Habib Abdul Gani, 2008, hlm. 164).

Betapa pentingnya moralitas dan identitas kebangsaan ini, nampak dari prilaku seorang uleebalang di Aceh Timur, di mana pedagang Prancis pernah menitipkan barang dagangannya selama jangka masa dua tahun lamanya, tanpa mengalami kerusakan apa pun, sebab dijaga dengan amanah (Anthony Reid, 2007).

Fragmen-fragmen identitas kebangsaan Aceh dan ketulusan politikterhadap sesama masyarakat Islam maupun non-muslim yang mengagumkan ini terlaksana karena Aceh dihormati sebagai sebuah negara merdeka. Kekaguman bangsa luar terhadap Aceh, masih tetap menyerah hingga abad ke19.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved