Kupi Beungoh

Saat Perpustakaan Tak Lagi Jadi Tempat Favorit Anak Muda

Dulu, perpustakaan adalah tempat yang dihormati, bahkan dianggap “surga ilmu”. Kini, suasana itu berganti dengan keheningan yang sunyi.

Editor: Amirullah
Serambinews.com
Ulfatul Hayah - Prodi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Oleh: Ulfatul Hayah

Pernahkah kita perhatikan, betapa sepinya ruang baca di perpustakaan akhir-akhir ini? Rak-rak buku yang berjejer rapi tampak seolah hanya menjadi hiasan, sementara meja-meja baca tak lagi ramai dipenuhi oleh anak muda yang tenggelam dalam buku.

Dulu, perpustakaan adalah tempat yang dihormati, bahkan dianggap “surga ilmu”. Kini, suasana itu seakan berganti dengan keheningan yang sunyi dan langkah-langkah yang jarang terdengar. Fenomena ini menandakan bahwa perpustakaan mulai kehilangan daya tariknya di mata generasi muda.

Perubahan ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada banyak faktor yang membuat anak muda kini lebih memilih berselancar di dunia digital dibanding datang ke perpustakaan. Perkembangan teknologi informasi menjadi penyebab paling utama.

Dengan hadirnya internet dan gawai pintar, segalanya menjadi mudah diakses. Artikel, jurnal ilmiah, bahkan buku-buku klasik kini bisa dibaca secara daring.

Anak muda tidak perlu lagi menghabiskan waktu berjam-jam mencari bahan di rak buku, karena cukup mengetik kata kunci di mesin pencari, semua informasi tersedia dalam hitungan detik. Efisiensi ini membuat perpustakaan kalah cepat dan kalah praktis.

Namun, persoalannya tidak hanya soal teknologi. Gaya hidup generasi muda masa kini juga turut memengaruhi. Anak muda sekarang hidup di era serba cepat, di mana segala hal harus instan dan dinamis.

Mereka cenderung mencari tempat yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga ruang sosial dan ekspresi diri. Sementara itu, sebagian besar perpustakaan masih mempertahankan citra lama: tenang, formal, dan penuh aturan.

Baca juga: Zohran Mamdani Terpilih Jadi Wali Kota New York, Jadi Walkot Muslim Pertama di Kota Terbesar di AS

Larangan berbicara, dilarang makan, bahkan dilarang membawa ponsel masih sering ditemukan. Akibatnya, perpustakaan terasa kaku dan tidak ramah bagi generasi yang tumbuh di tengah budaya digital yang serba terbuka.

Di sisi lain, media sosial juga berperan besar dalam mengubah cara anak muda berinteraksi dengan pengetahuan. Kini, banyak informasi disajikan dalam bentuk singkat dan menarik, video satu menit, infografik, atau kutipan ringkas.

Pola konsumsi informasi seperti ini berbeda jauh dengan tradisi membaca panjang di perpustakaan. Akibatnya, minat baca mendalam mulai tergantikan oleh kebiasaan scrolling cepat.

Anak muda menjadi pembaca instan:cepat tahu, tapi jarang mendalami. Dalam situasi seperti ini, perpustakaan yang berisi tumpukan buku tebal tentu tampak “menakutkan” bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kecepatan digital.

Meski begitu, menyalahkan anak muda sepenuhnya bukanlah solusi yang bijak. Perpustakaan pun perlu berbenah. Banyak perpustakaan di Indonesia masih berorientasi pada sistem lama: tempat menyimpan buku, bukan tempat menghidupkan pengetahuan.

Padahal, fungsi perpustakaan seharusnya jauh lebih luas daripada sekadar ruang baca. Perpustakaan bisa menjadi pusat kegiatan literasi, tempat berdiskusi, hingga wadah kreativitas generasi muda. Sayangnya, konsep ini belum banyak diwujudkan secara nyata.

Beberapa perpustakaan modern telah mulai menunjukkan perubahan. Misalnya, dengan menghadirkan konsep library cafe yang menggabungkan kenyamanan ruang baca dan suasana santai seperti kafe.

Baca juga: Kronologi Arjuna Tewas Dianiaya di Masjid Agung Sibolga, Korban Dituduh Curi Kotak Infaq

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved