Kupi Beungoh
APBA untuk Siapa? Rakyat Atau Kepentingan Penguasa?
Dari segi keterlambatan pengesahan, jelas bahwa kedua belah pihak yang berkuasa, tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat.
Oleh: Mohammad Din
HINGGA awal Januari 2018, APB Aceh belum juga bisa disahkan. Kelihatannya, dalam waktu hitungan hari, belum juga bisa disetujui kedua belah pihak, eksekutif dan legislatif Aceh.
Peristiwa seperti ini terus berulang. Seperti musim, datang dan berlalu lagi, terus begitu. Siapun rezim yang berkuasa, sepertinya, peristiwa itu tetap menjadi habit.
Saya tidak ingin menyalahkan siapapun. Tapi, melihat peristiwa spt ini terus terjadi, rasanya perlu juga mempertanyakan kompetensi eksekutif dan komitmen legislatif.
Karena peristiwa ini terus berulang, mulai muncul berbagai prasangka. Sesungguhnya, patut diduga, interes politik dan ekonomi para pihak sangat menonjol dalam proses dan penyusunan anggaran.
(Baca: Akmal Ibrahim: Ubah Perencanaan untuk Tumbuhkan Sektor Riil)
Kemungkinan masing-masing pihak saling menyandera, yang ujungnya akan muncul "mufakat jahat" dan "keseimbangan" kepentingan.
Andaikata dugaan itu benar, untuk apa dan untuk siapa APBA tersebut? Toh, rakyat tidak mendapat manfaat yang besar.
Dari segi keterlambatan pengesahan, jelas bahwa kedua belah pihak yang berkuasa, tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat.
Semestinya, sebagai penunjang operasional kegiatan pemerintah melayani rakyat, begitu tanggal 1 Januari, anggaran pemerintah sudah bisa dijalankan.
Begitulah pemerintahan dan legislatif yang baik, yang merujuk pada kepentingan orang yang memilihnya.
Gubernur dan anggota Dewan yang terhormat itu punya kehormatan karena dipilih oleh rakyat.
Maka sepantasnyalah, kehormatan tersebut digunakan untuk kebaikan konstituennya, yaitu rakyat.
Kemudian, kalau saya lihat komposisi APBA, dari tahun ke tahun, kecil sekali porsi untuk rakyat.
Sekitar 70 persen untuk operasional pemerintah dan kurang lebih 30 persen untuk belanja publik.