Opini
Quo Vadis Wali Nanggroe?
KALIMAT bijak di atas sejatinya cocok dijadikan sebagai bahan pengingat untuk kita semua dalam memahami masa transisi jabatan
Oleh Zulfata
Roek ngon bara bak ureung nanggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha. Tameh teungoh bak uleebalang, peutrang puteh-itam bak ulama. (Hadih Madja)
KALIMAT bijak di atas sejatinya cocok dijadikan sebagai bahan pengingat untuk kita semua dalam memahami masa transisi jabatan Wali Nanggroe (WN) yang akan berakhir pada 16 Desember 2018. Dalam narit madja di atas, terselip pesan bahwa masyarakat dapat berperan sebagai subjek ketahanan negeri, perekat kesatuan diperankan oleh tokoh-tokoh adat, dan pengendali kebijakan diperankan oleh penguasa, serta pembina kehidupan diperankan oleh ulama. Semua peran tersebut seyogianya akan terpadu jika lembaga WN dapat memediasinya melalui berbagai program kewenangannya.
Seiring dengan akan berakhirnya jabatan WN, terbukalah wacana publik tentang siapakah nantinya yang akan menggantikan posisi Malik Mahmud Al-Haythar sebagai WN? Selain besarnya anggaran terkait pemilihan WN yang mencapai Rp 1,7 miliar, permasalahan kinerja lembaga WN pun patut dievaluasi dengan bijak oleh publik. Sehingga jabatan WN benar-benar menghadirkan kemaslahatan dan bukan sebagai pemicu kecurigaan, sehingga “jangan sampai ada dusta di antara kita”.
Kajian ini tidak sedang mempermasalahkan apakah jabatan WN sebagai jabatan politik praktis atau jabatan kebudayaan. Dan bukan pula ingin mengusulkan pembubaran lembaga WN, tetapi kajian ini mencoba untuk menguraikan tentang kemana arah kepemimpinan dan efektivitas dari lemabaga WN tersebut? Suka tidak suka, kecenderungan masyarakat belum begitu paham tentang arah pembangunan kebudayaan dan manfaat pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang diprogramkan oleh lembaga WN.
Kepemimpinan adat
Secara yuridis, melalui UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh dan kemudian lahir lagi UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sehingga lembaga WN dijelaskan sebagai kepemimpinan adat, pemersatu masyarakat yang independen serta diberi kewenangan untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat atau diberikan kewenangan untuk memberikan gelar kehormatan dan derajat, serta upacara-upacara adat lainnya (Taqwaddin Husin, 2013).
Tak munculnya kebingungan bagi publik ketika memahami lembaga WN secara yuridis di atas, namun demikian bila dipahami secara perwujudan kerjanya selama ini, justru memicu kebingunagn bagi masyarakat Aceh. Misalnya, beberapa waktu lalu Aceh dilanda polemik tentang belum adanya titik temu antara pihak eksekutif dan legislatif terkait pengesahan APBA 2018, sehingga keterlambatan pengesahan kembali dialami Aceh. Sungguh membingungkan, di manakah peran WN pada waktu itu? Sudahlah, anggap saja WN waktu itu telah berusaha bersikap yang terbaik untuk Aceh.
Tanpa berpikir untuk terus mencari-cari kesalahan atau kekurangan WN. Mestinya lembaga WN justru harus didorong untuk mampu membangun semangat gotong-royong, guna mewujudkan “Aceh Hebat” dan “Aceh Bersyariat”. Bagaikan oasis di padang pasir, lembaga WN menjadi penyejuk ketika pihak eksekutif dan legislatif khilaf, dan menjadi penenang bila masyarakat bergejolak. Lembaga WN patut dirawat oleh kita semua, bukan dihujat dan bukan pula memandangnya dengan sebelah mata. Untuk itu, marilah bersama-sama untuk membenahi lembaga WN agar sesuai sebagaimana diamanahkan UUPA.
Tak mudah bagi generasi masa kini membentuk lembaga yang seimbang dengan lembaga WN. Membiarkan lembaga ini menuju kematian, sama halnya ketika kita menghilangkan sejarah perjuangan para pejuang Aceh masa kerajaan Aceh atau masa kolonial Belanda. Sebab, lembaga WN ini terbentuk dari sejarah panjang yang tersimpulkan dalam prinsip hukum pada MoU Helsinki.
Disadari atau tidak, lembaga WN bukan produk politik sebagian elite politik. Lemabaga WN bukan milik sekelompok adat di Aceh, tetapi lembaga WN adalah milik seluruh warga adat yang terdapat di Aceh, baik itu dari adat Gayo, Tamiang, Alas, Kluet, Singkel, Jamee atau adat Simeulue. Sungguh keliru bila terdapat anggapan bahwa lembaga WN dianggap sebagai lembaga adat yang hanya bersifat seremonial dan politis.
Tantangan lembaga WN
Menghadapi gelombang industri 4.0 yang serba digital juga secara tidak langsung berpotensi munculnya upaya kerapuhan jati diri masyarakat daerah. Dampak globalisasi masa kini terus membuka peluang terciptanya masyarakat Aceh bermental kebarat-baratan (westernisasi), tanpa paham karakter indentitas khas daerahnya. Tidak hanya itu, perilaku berpolitik juga menggrogoti semangat persatuan antarmasyarakat Aceh dewasa ini. Perpolitikan cenderung sebagai ajang pertempuran, bukan persaingan sehat. Kelompok-kelompok adat bukannya dirawat, melainkan dimanfaatkan demi kepentingan sesaat.
Bukan dilarang lembaga WN menghabiskan anggaran yang berlimpah bila efisiensi alokasi anggarannya bersifat rasional dan penuh tanggung jawab sosial. Harus diakui, tanpa anggaran, pembangunan moral publik akan lamban, dan peningkatan SDM pun akan tersendat. Namun demikian penggunaan anggaran tanpa kejelasan, masyarakat dipastikan bertambah melarat. Lembaga WN diharapkan harus mampu membaca dan menjembatani keinginan masyarakat dan para wakilnya guna mencapai persatuan dalam memajukan Aceh secara berkelanjutan.
Memahami kondisi perpolitikan menjelang pilpres 2019, tentunya prosesi pemilihan WN harus benar-benar bersih dan adil tanpa adanya benturan kepentingan politik para tim sukses yang ingin memenangkan calon presidennya mendatang. Netralitas dan independensi lembaga WN patut dijaga walau langit akan runtuh. Kepercayaan masyarakat Aceh terhadap lembaga WN terus dibuktikan, kecurigaan negatif terhahdap WN harus digantikan dengan apresiasi positif. Sebab lembaga WN terbentuk bukan untuk dicurigai atau dicaci-maki, melainkan lembaga WN tercipta untuk pemicu elemen-elemen Aceh agar saling mengasihi dan mencintai dalam meraih visi dan misi.
Dengan kehadiran kaum ulama dalam lembaga WN semestinya menjadikan lembaga WN penuh dengan misi kemaslahatan bagi seluruh rakyat Aceh tanpa memandang perbedaan sejarah dan darah keturunan. Spirit lembaga WN harus mampu menabur benih-benih politik moralitas dan kedaulatan adat-istiadat dalam menghadapi intervensi pengusaha “asing” atau “asong”. Hak-hak adat masyarakat di wilayah perusahaan seperti di Nagan Raya dan Aceh Singkil harus diperhatikan dan ditangani dengan bijak.
Tanggung jawab lembaga WN sejatinya mengontrol kedauatan kebudayaan Aceh dalam mencapai kesejahteraan dan kedamaian seluruh masyarakat Aceh. Jadi, sudah saatnya kita bahu-membahu untuk berkontribusi agar lokomotif lembaga WN tetap melaju pada relnya sendiri, tanpa bergeser ke rel lain, sehingga kedaulatan kebudayaan Aceh tak terjungkal atau bertabrakan dengan “lokomotif” lainnya. Quo vadis Wali Nanggroe? Nah!
* Zulfata, S.Ud,. M.Ag., Dosen luar biasa di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, dan penulis buku Agama dan Politik di Aceh. Email: fatazul@gmail.com