Opini
Aceh Juara Miskin, Syariat tak Berfungsi?
ACEH, seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan Januari lalu, masih bertahan sebagai provinsi nomor
Oleh Marah Halim
ACEH, seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan Januari lalu, masih bertahan sebagai provinsi nomor satu termiskin di Sumatera. Jumlah penduduk miskin di Tanah Rencong saat ini sebanyak 831 ribu orang (15,68%).
Posisi Aceh masih kalah dari Bengkulu yang menempati posisi kedua (15,41%). Yang agak menggembirakan ada pengurangan orang miskin sebanyak 8.000 orang dibandingkan tahun sebelumnya (detiknews.com, 15/1/2019).
Suguhan data BPS di atas akan menggiring pikiran liar siapapun untuk menghubungkannya dengan sejumlah predikat mentereng Aceh. Banyak pihak akan mengernyitkan dahi karena akan melihat realitas yang paradoksal tersebut.
Aceh masa lalu adalah Aceh yang paling gigih melawan penjajah sebagai indikasi kuatnya fundamen ekonominya, terutama pemenuhan kebutuhan dasar.
Aceh masa kemerdekaan adalah penyumbang emas untuk pesawat RI 001 yang menandakan orang Aceh kaya. Aceh juga penyandang status istimewa di bidang agama, adat, dan pendidikan sejak Orde Lama; seharusnya pendidikan telah mencetak SDM yang handal, mandiri, dan modern di Aceh. Intinya, tidak mungkin Aceh miskin, apalagi pakai termiskin.
Baca: VIRAL - Mengeluh Sakit Perut Karena tak Sarapan, Keluarga Putri Mengaku Kehabisan Beras
Baca: Kepada Menteri Pertanian, Putri dari Peureulak Sampaikan Bercita-cita Jadi Polwan
Baca: Menteri Pertanian Tawarkan Sekolah dan Pekerjaan Bagi Putri Peureulak dan Abangnya yang Lulusan SMK
Puncak dari semua paradoks itu tentu saja predikat kekinian yang saban hari disematkan kepada Aceh, yaitu: Pertama, Aceh sebagai satu-satunya daerah yang diberi legalitas pelaksanaan syariat Islam di Indonesia; dan kedua, predikat daerah yang memiliki anggaran pembangunan yang besar dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Kedua predikat ini berkorelasi langsung bagi upaya mengentaskan kemiskinan dari dua sisi yang saling melengkapi; sisi jiwa dan kesadaran dengan adanya pelaksanaan syariat Islam yang “anti-kemiskinan” dan sisi fisik/raga berupa anggaran pembangunan yang besar.
Pada 2018 lalu saja, misalnya, total anggaran DIPA APBN untuk Aceh sebesar Rp 48,6 triliun, terdiri dari belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 13,8 triliun dan dana transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 34,8 triliun. Khusus alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Pemerintah Aceh sama dengan tahun lalu, yakni sebesar Rp 8,03 triliun (Acehimage.com, 14/12/2017). APBA Aceh sendiri setiap tahunnya belasan triliun rupiah, lalu mengapa predikat juara miskin bergeming?
Baca: Terenyuh, Menteri Pertanian Serahkan Bantuan untuk Putri, Siswa yang Sakit Perut Sebab tak Ada Beras
Bersifat funsional
Kemudian, paradoks kemiskinan dengan pelaksananaan syariat Islam yang merupakan aspek jiwa dari masyarakat Aceh seharusnya bersifat fungsional bagi kualitas kehidupan nyata masyarakat.
Syariat Islam sesungguhnya menempatkan kemiskinan sebagai musuh. Nabi saw bersabda, “kaadal faqru an yakuuna kufron - kefakiran berpotensi kekufuran.” (HR. Baihaqy dari Anas bin Malik).
Demikian pula dalam Alquran, banyak sekali ayat tentang perintah untuk mengentaskan kemiskinan dengan zakat, kafarat, dan sebagainya; bukan berarti itu perintah melanggengkan kemiskinan tetapi tawaran strategi pengentasannya.
Konsep infak, zakat, shadaqah, wakaf adalah konsep-konsep kesalehan sosial yang bertujuan bukan mendukung kemiskinan, sebaliknya semua konsep itu adalah motivasi bagi yang bersyariat untuk berusaha untuk hidup berkecukupan dan agar orang lain terhindar dari kemiskinan maka yang kelebihan rezeki dianjurkan untuk berbagi.
Konsep-konsep itu semuanya mengarah kepada pencegahan kemiskinan. Ketika konsep-konsep itu belum bisa menjadi jaring pengaman sosial terhadap kemiskinan di Aceh, maka dapat disimpulkan syariat belum difungsikan dengan sebenarnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Ajaran moral dari Alquran dan hadis seperti “malu adalah bagian dari iman”, sepertinya juga belum menjadi karakter bagi masyarakat dan pemerintah di Aceh. Buktinya, berkali-kali BPS merilis data kemiskinan setiap tahunnya dan posisi Aceh tidak banyak berubah, tetapi tidak menjadi hal yang merisaukan terutama bagi ulil amri-nya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/rumah-warga-miskin-di-aceh-timur.jpg)