Breaking News

Opini

Aceh Juara Miskin, Syariat tak Berfungsi?

ACEH, seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan Januari lalu, masih bertahan sebagai provinsi nomor

Editor: bakri
Humas Barisan Muda Ummat (BMU)
Rumah Zulfikar (56) di Gampong Seuneubok Panton, Kecamatan Darul Falah, Kabupaten Aceh Timur, Januari 2019. 

Seharusnya segenap jajaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota merasa malu. Sayangnya, ketika malu belum menjadi budaya berarti syariat belum berjalan dalam kenyataan.

Kondisi miskin di zaman now sebagaimana digambarkan di atas menandakan bahwa syariat belum berfungsi nyata membuat kehidupan masyarakat lebih baik (hasanah/berkualitas). Ketidakberfungsian syariat menjadi mindset dan cultural set harus diakui sebagai kesalahan masyarakat dan Pemerintah Aceh sendiri dalam memahami dan mengamalkan syariat; bukan syariat yang salah tetapi kita yang bersyariat.

Alquran mendesakkan pemahaman bahwa risalah Allah harus berfungsi sebagai petunjuk (hudan), pemberi penjelasan (bayyinatan) serta pembeda (furqan).

Kemunculan Islam adalah reaksi dan respons terhadap kondisi sosial pada zaman itu yang penuh dengan problem sosial yang akut, yang juga menjadi isu dan problem sosial di masa kita saat ini.

Jadi, Islam hadir bukan terutama untuk sebuah eksistensi yang hanya bersifat struktural, tetapi lebih kepada fungsinya guna membentuk jiwa pemeluknya agar peka terhadap problem-peroblem sosial kemanusiaan.

Benar bahwa syariat diawali dengan akidah, ibadah, syiar Islam, tetapi desakan Alquran semata-mata bertujuan untuk meneguhkan kebenaran Alquran dan membangun keyakinan yang kokoh dalam jiwa; tetapi itu bukan tujuan, hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya; yaitu hasanah fiddunya wa hasanah fil akhirah (hidup berkualitas di dunia (kini) dan akhirat (nanti).

Dengan kata lain, syariat berfungsi membentuk jiwa manusianya untuk kuat menjadi pembawa perubahan, persis seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad saw menghadapi problem sosial di zamannya.

Baca: Keluarga Miskin di Simeulue Terharu Saat Rumahnya Diroboh untuk Dibedah

Pengamalan simbolik
Kita di Aceh mungkin terjebak dengan pemahaman Islam yang strukturalis, sehingga kita terjebak pada pengamalan yang sifatnya simbolik yang bertujuan untuk meneguhkan kebenaran Islam itu dan segala hal yang berafiliasi dengan pemahaman itu.

Buktinya, substansi dari qanun-qanun syariat setelah 20 tahun pelaksanaan syariat Islam dengan segala dinamika penerapannya sesungguhnya masih berkutat di seputar hal-hal yang sifatnya struktural, yakni upaya meneguhkan kebenaran ajaran Islam itu pada masyarakat Aceh. Qanun tentang akidah, ibadah, syi’ar Islam (2002), khalwat, khamar, judi (2003), jinayah (2014), dinul Islam (2014) mendominasi pelaksanaan syariat Islam.

Hingga saat ini belum ada (baru akan ada) qanun yang mengatur tentang ekonomi syariah, serta aspek-aspek lain yang langsung mengarah ke pemenuhan kebutuhan dasar yang menjadi indikator kemiskinan.

Akhirul kalam, keberfungsian syariat untuk pengentasan kemiskinan ditentukan oleh kesadaran masyarakat dan pemerintah Aceh sendiri.

Syariat tidak akan pernah langsung memberi sembako, rumah, serta biaya sekolah; karena ia adalah seperangkat nilai pembangun jiwa. Syariat membentuk kepercayaan diri, optimis, tekad, tidak putus asa, tidak mengeluh, pantang menyerah, gigih, perfect, maksimal dalam berusaha; yang semuanya adalah refleksi dari sifat-sifat Allah Swt yang selalu menjadi repetisi dalam doa, zikir dan wirid kita.

Sementara pada sisi pemerintah, jiwa syariat akan tampak dalam semua bentuk kebijakan publik yang penuh dengan kebajikan. Syariat yang fungsional dalam jiwa inilah yang harus dihidupkan menghilangkan predikat Aceh juara miskin sepanjang masa.

* Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH., Widyaiswara Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Aceh. Email: marahh77@gmail.com, elhalimi1977@gmail.com

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved