Opini
‘Aceh Lon Sayang’
SURAT ini saya tulis untuk menyikapi persoalan Aceh kini, terutama dalam masalah kemiskinan yang mendera masyarakat
(Surat untuk Plt Gubernur Aceh)
Oleh Munawar A. Djalil
SURAT ini saya tulis untuk menyikapi persoalan Aceh kini, terutama dalam masalah kemiskinan yang mendera masyarakat Aceh. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh bahwa jumlah penduduk miskin Aceh mencapai 15,68%. Angka ini masih tertinggi di Sumatera. Artinya, Aceh masih rangking pertama termiskin di pulau Sumatera (Serambi, 17/1/2019). Sangat disayangkan (ironi) memang ketika dana Otonomi Khusus (Otsus) melimpah dikucurkan pusat ke Aceh, namun faktanya masih banyak masyarakat Aceh yang belum sejahtera, miskin, dan banyak pengangguran. Pertanyaannya, ada apa dengan Aceh?
Beberapa catatan
Dalam surat ini, penulis mencoba menyampaikan beberapa catatan “Aceh Lon Sayang” kepada Plt Gubernur Aceh, semoga catatan ini menjadi gugahan sekaligus dapat tersadar dari lamunan panjang dan mungkin akan menjadi solusi. Pertama, sebagai negeri syariat, Aceh sudah seharusnya keluar dari kubangan kemiskinan, karena Islam mengajarkan cara pengentasan kemiskinan melalui beberapa jalur khusus.
Kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Syariat Islam sebesar 2,5% dari harta kekayaan. Zakat hasil pertanian, zakatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Nabi saw, dengan sabdanya, “Yang disiram dengan air hujan zakatnya 10% dan yang disiram dengan Qirab (tenaga dan alat-alat seperti timba, pompa dan lain sebagainya) zakatnya 5%.”
Zakat yang menurut istilah modern boleh disebut dana jaminan sosial tidak semata-mata diserahkan atas dasar rasa belas kasihan seseorang, atau dibiarkan setiap seserang muslim menentukan sendiri jumlahnya secara suka rela, tetapi merupakan kewajiban yang dipaksakan oleh negara. Karenanya Gubernur Aceh harus segera membuat sebuah kebijakan untuk “memaksa” dana zakat dapat terkumpul dan tersalurkan secara baik dan tepat sasaran.
Ada asumsi dari masyarakat (mudah-mudahan asumsi ini keliru) bahwa kesadaran berzakat masyarakat Aceh semakin tinggi, sehingga pengumpulan yang dilakukan Baitul Mal relatif baik. Namun pada tahap penyaluran dana zakat non komsumtif berupa pembanguan rumah, misalnya terkesan masih asal jadi dan belum tepat sasaran, ditambah lagi dengan tingkah laku buruk petugas di lapangan, sehingga muncul pameo ureung kaya maken kaya lam tika ‘eh, ureung gasien maken meukeuwien lam tapeh.
Ada satu riwayat sangat terkenal mengenai peristiwa yang terjadi antara Khalifah Umar Ibnul Khattab dengan seorang Yahudi peminta-minta. Setelah diadakan tanya jawab dan diadakan pemeriksaan seperlunya, terbukti orang Yahudi tua itu benar-benar tidak mampu bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Oleh Khalifah Umar, ia diberi tunjangan tetap yang diambilkan dari Baitul Mal berdasarkan sabda Nabi saw, “Barangsiapa mempunyai keluarga sangat lemah, hendaklah ia datang kepadaku, sebab akulah pengasuhnya.” Artinya, siapa saja yang benar-benar tidak mampu memberi penghidupan kepada keluarganya, hendaklah ia datang kepada beliau, yang akan bertanggung jawab atas penghidupan keluarga tersebut.
Dalam catatan sejarah bahwa Khalifah Umar Ibnul Khattab menetapkan pemberian tunjangan kepada setiap anak keluarga miskin 100 dirham setahun. Jumlah tunjangan ini bertambah besar sesuai dengan pertambahan usia anak yang bersangkutan. Tidak hanya itu saja, dana zakat sering memberi bantuan modal kepada orang yang tidak mampu agar ia dapat memperoleh penghasilan lewat usaha dagang. Inilah yang pernah dilakukan oleh Khalifah kedelapan Dinasti Bani Umayyah Umar Bin Abdul Azis. Beliau telah mengantarkan negara Islam masa itu ke tingkat surplus, sehingga suatu saat negara mengumumkan bahwa segala biaya pernikahan warga ditanggung oleh negara dan utang pribadi pun dibayar oleh negara.
Bercermin dari kisah tersebut, maka untuk menyejahterakan masyarakat Aceh bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan, yang diperlukan adalah keinginan baik (good will) Gubernur Aceh dan stakeholder pemerintah “Aceh Hebat” sebagaimana yang ditunjukan dua Khalifah di atas. Saya hingga kini masih berasumsi bahwa “Aceh Hebat” baik dari aspek kuantitas maupun kwalitasnya hanya sebatas slogan (untuk tidak saya sebut sebagai “dagelan politik”). Buktinya hampir dua tahun pemerintah “Aceh Hebat”, namun Aceh masih terjerembab dalam kemiskinan. Rakyat masih menunggu kiprah gubernur saat ini dengan sisa waktu lebih tiga tahun lagi untuk mensejahterakan rakyat Aceh. Oleh karena itu perlu usaha yang sungguh-sungguh berlandaskan syariat Islam, misalnya dengan mengoptimalisasikan Baitul Mal Aceh melalui program jaminan sosial sebagai satu opsi pengentaskan kemiskinan.
Kedua, syariat Islam yang telah diformalisasikan di Aceh ternyata belum memberikan keberkahan kepada pemimpin dan rakyatnya. Bank Aceh misalnya walaupun telah dikonversikan dari konvensional ke sistem syariah berdasarkan Qanun Aceh No.9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah, namun dalam prakteknya masih menggunakan pola “ribawi”. Sebut saja produk dengan skema Murabahah, yaitu akad yang dijalankan menggunakan instrumen jual beli dengan mengambil keuntungan.
Akhir-akhir ini banyak pengguna produk ini, terutama PNS yang mengambil kredit untuk berbagai keperluan mengeluh karena bunga pinjaman yang “mencekik” leher PNS, malah petugas bank tidak segan-segan mengutarakan jumlah bunga di awal akad dengan besaran tertentu. Pertanyaannya di mana syariahnya Bank Aceh, apa beda syariah dan bank konvensional? Dua pertanyaan itu terus-menerus muncul dan menjadi diskursus dalam masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, supaya hidup masyarakat Aceh lebih berkah, maka Plt Gubernur harus segera mencari solusi untuk menghilangkan praktek ribawi di Bank Aceh Syariah, sehingga laba/keuntungan dari Bank Aceh Syariah yang selama ini dijadikan penghasilan daerah akan menjadi satu sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA) yang berkah.
Merujuk kepada Alquran Surat Al’araf ayat 96: “bahwa kunci keberkahan itu adalah iman dan takwa kepada Allah. Karenanya secara teologis, agar Aceh berkah dan masyarakatnya hidup sejahtera, maka pemimpin (gubernur, bupati/wali kota) dan seluruh masyarakat Aceh mesti taat dan mengabdi kepada Allah, menghidupkan masjid dengan shalat berjamaah, zikir dan berbagai ritual keagamaan lainnya. Jangan sampai terjadi sebagaimana teman saya berseloro, pemimpin geutanyoe meu meuseujid hana geuteupat.
Ketiga, dari perspektif Islam, pemimpin itu benar-benar sebagai “abdi”. Dalam kamus bahasa Arab “abdi” terambil dari kata `abd mengandung paling tidak tiga arti, pertama, tumbuhan yang memiliki orama yang harum, kedua, anak panah dan ketiga bermakna sesuatu yang dimiliki (hamba sahaya). Seorang abdi seharusnya menggambarkan ketiga hal itu, dia memberi orama yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan anak panah dan dimiliki secara penuh oleh sipemilik atau kepada siapa ia mengabdi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/kemiskinan_20170829_201753.jpg)