Breaking News

Opini

Isra Mikraj, Antara Akal dan Iman

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Isra Mikraj, Antara Akal dan Iman
Umat muslim mendengarkan ceramah Israk Mikraj Nabi Muhammad SAW 1435 Hijriah di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. SERAMBI/BUDI FATRIA

Oleh Agustin Hanafi

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya untuk memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1)

ISRA berasal dari Bahasa Arab berarti perjalanan, yakni perjalanan spiritual Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sedangkan Mikraj berarti pendakian spiritual menuju Sidrah al-Muntaha, tempat atau maqam paling tinggi. Peristiwa perjalanan ini dilalui dengan kecepatan yang luar biasa, waktu tempuhnya kurang dari satu malam atau dalam sebagian waktu di malam hari. Maka tatkala peristiwa ajaib ini disampaikan, para kaum musyrikin pada masa itu langsung menuduh Rasulullah telah berbohong, berdusta, mengada-ada, bahkan menganggapnya telah gila.

Akal mereka sama sekali tidak bisa menerima kabar perjalanan Nabi saw keluar angkasa dengan rentang masa yang cepat kilat tanpa mempergunakan perantara transportasi apa pun. Namun ketika mereka menanyakan ciri-ciri dan letak bangunan Masjidil Aqsa, Rasulullah menjawabnya begitu akurat dan sangat sesuai, bahkan sempat menceritakan kalau di awal perjalanan berjumpa dengan kafilah tertentu yang dapat dimintai keterangannya. Sehingga memastikan bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi, bukan rekayasa atau hoaks.

Hal itu juga diperkuat dengan firman Allah Swt, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 13-18)

Kemudian, apakah Isra Mikraj itu terjadi berdasarkan ruh atau jasad Nabi, hal ini juga menjadi perselisihan. Satu pihak menganggap Isra Mikraj hanyalah terjadi dengan rohaniah Nabi. Artinya jasad Nabi masih berada di Mekkah, sementara rohnya melakukan perjalanan Isra Mikraj. Kemudian satu pihak lagi mengatakan, Isra dan Mikraj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, karena dalam ayat tersebut terdapat kalimat “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam hari” sebagaimana termaktub dalam surat Al-Isra` ayat 1.

Bukan peristiwa biasa
Dengan demikian peristiwa ini bukan peristiwa biasa, jarang ayat Alquran diawali dengan kalimat Subhana (Maha Suci), yang berarti peristiwa besar dan tak biasa yang menunjukkan keagungan dan kebesaran Allah Swt. Sangat mustahil kiranya, Allah mencantumkan kalimat “Maha Suci” tanpa sebuah maksud tertentu. Kemudian juga terdapat kata bi`abdihi (hamba), yang menerangkan eksistensi Nabi berdasarkan ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadis-hadis Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa Nabi saw melakukan Isra dan Mikraj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.

Sebelum diungkapkan Alquran mengenai peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak memercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya sebagaimana firman Allah Swt, “Bersabarlah wahai Muhammad, tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 127-128). Inilah pengantar Alquran sebelum diceritakannya peristiwa Isra Mikraj itu.

Perjalanan Isra Mikraj adalah sebuah perjalanan yang tidak mampu dicapai oleh kecerdasan akal manapun untuk melogikakannya, karena Allah ingin menunjukkan kebesaran dan keagungan ayat-ayat-Nya kepada Nabi Muhammad saw sebagai hiburan dan kado terindah karena telah lulus dari ujian berat sebelumnya. Begitu juga mengenai kebenaran Isra Mikraj itu sendiri merupakan perkara Allah Swt yang sama sekali bagi-Nya tidak ada hal yang tidak mungkin. Allah Maha Kuasa dan Maha Luas sehingga kekuasaannya melampaui segala batas ruang dan waktu. Apa yang tidak terbatas, tentu saja tidak akan dapat dibatasi oleh sesuatu yang terbatas.

Untuk itu, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imani. Inilah yang ditempuh oleh Abubakar as-Siddiq seperti tergambar dalam ucapannya “apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya. Terlebih dalam pengantar surat al-Isra berulangkali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia, serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut, misalnya “Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Isra’: 8), kemudian, “Sesungguhnya Allah Mengetahui, sedangkan kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Isra’: 74).

Apa yang ditegaskan oleh Alquran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis menyatakan, “Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai pun kepada sajak. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun.

Sementara itu, teori Black Holes menyatakan, pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja sedangkan 97% selebihnya di luar kemampuan manusia. Tidak semuanya harus dibuktikan secara ilmiah, Kierkegaard tokoh eksistensialisme, seorang harus percaya bukan karena ia tahu tetapi karena ia tidak tahu. Dan itu juga sebabnya Immanuel Kant berkata, “saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya”.

Kalau demikian, seandainya pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra Mikraj, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara ilmiah menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksprimen terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal peristiwa israk dan mikraj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksprimen (M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran).

Kita percaya kepada Isra Mikraj karena tidak ada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama itu semua diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Maha Esa. Tidak semua hal dapat kita rasional-logikakan, terlebih menyangkut peristiwa gaib seperti ini. Ia juga tidak dapat dijelaskan dengan mengemukakan perkembangan yang demikian pesat menyangkut alat-alat transportasi luar angkasa, kerena peristiwa Isra Mikraj terjadi tanpa “alat” seperti yang digunakan oleh antariksawan dan itu pun baru pada jarak yang relatif terbatas, tidak mencapai batas yang dilukiskan dengan Sidratul Muntaha.

Maka yang dikedepankan adalah iman bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi terlebih pengantar uraian peristiwa Israk adalah Surah An-Nahl yang berarti keajaiban, yang mana lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra dan Mikraj.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved