Para Perempuan dan Anak-anak Kelompok ISIS yang Telah Kalah di Kamp Al-Hol
Di dalamnya hidup para perempuan dan anak-anak kelompok ISIS yang telah kalah, dicampakkan para suami, diabaikan khalifah dan pemerintah mereka.
SERAMBINEWS.COM - Kamp al-Hol di timur laut Suriah menjadi wadah bagi aliran deras amarah dan berbagai pertanyaan yang tak memiliki jawaban.
Di dalamnya hidup para perempuan dan anak-anak kelompok ISIS yang telah kalah, dicampakkan para suami, diabaikan khalifah dan pemerintah mereka.
Beberapa di antaranya berkukuh pada ideologi mereka yang disulut kebencian: "Kami tidak terkalahkan!" teriak mereka lantang. Lainnya memohon jalan keluar - jalan untuk kembali pulang.
Baca: Puskesmas Wajib Mendata Seluruh Keluarga dalam Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
Sementara negara-negara Barat bicara berbelit-belit, anak-anak mereka mati.
Umm Usma, perempuan Belgia keturunan Maroko, berkukuh pada fantasinya bahwa ia telah menolong para perempuan dan anak-anak Suriah sepanjang keberadaannya di sana selama enam tahun, sebagian besarnya bersama ISIS.
Mantan perawat itu merengkuh cadarnya dengan tangan yang terbungkus sarung tangan hitam, "Ini pilihan saya," ujarnya. "Di Belgia, saya tidak bisa mengenakan cadar - ini pilihan saya."
"Setiap agama melakukan suatu kesalahan," tuturnya. "Tunjukkan kami sisi baiknya."
Ketika ia berteriak dengan sekelompok wanita berpakaian hitam lainnya, seorang anak yang terbakar parah didorong dalam kereta bayinya di atas lumpur oleh sang ibu. "Lihat apa yang mereka perbuat," teriak ibunya, merujuk pada pasukan yang didukung AS.
Baca: 20 Menteri Keuangan Global Siapkan US$ 10 Miliar, Digunakan untuk Bantu Venezuela
Al-Hol seperti sebuah mimpi buruk, sebuah kamp dengan jumlah pengungsi yang terus meningkat, dari 11.000 orang hingga sekarang lebih dari 70.000 orang. Ia terus membengkak seiring buntut runtuhnya sebuah kekhalifahan semu. Ia siap meledak.
Baca: SBY Mencoblos di Kedubes RI Singapura, Ani Yudhoyono di Rumah Sakit
Dalam benaknya, serangan melawan negara asalnya oleh kelompok yang ia ikuti tak perlu dijawab. Ia menenggalamkan dirinya dalam peran sebagai korban. Ia percaya bahwa negara-negara Barat dan serangan udara mereka terhadap markas pertahanan terakhir ISIS di Baghouz patut dipersalahkan atas penderitaan yang mereka alami. Kebencian dan kekerasan yang dilakukan oleh ISIS ia lupakan.
Inilah permainan pikiran para teroris, ingatan selektif yang menghapus kesalahan apa pun.
"Saya tidak akan membicarakan apa yang telah dilakukan suami saya, saya tidak tahu apa yang ia perbuat," klaim Umm Usma. Ia telah hidup di bawah sistem demokrasi dan di bawah kekuasaan ISIS. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia tahu yang mana yang lebih baik.
Baca: Pesawat Terbesar di Dunia Terbang untuk Pertama Kalinya
"Pikiran Anda tertutup," ujarnya sambil berbalik badan dan meninggalkan saya.
Ini baru dua pekan sejak Baghouz, daerah kekuasaan ISIS yang terakhir, jatuh ke tangan pasukan Kurdi. Mereka mengulur waktu, melakukan gencatan senjata demi gencatan senjata agar para perempuan, anak-anak, dan mereka yang terluka dapat keluar dari daerah tersebut.
Pesawat tempur pasukan koalisi yang menghabisi nyawa penduduk sipil di Mosul dan Raqqa, dua ibu kota ISIS yang telah direbut kembali, bertindak lebih berhati-hati di Baghouz.