Mengenang Tsunami
Akhirnya Istri Pamanku Ketemu Juga
Allah masih melindunginya, bunda dibawa ombak sampai kelaut di tengah laut bunda sempat ditolong oleh marinir yang menjaga kapal perang
Kejadian itu mungkin rencana Allah yang manusia tidak tahu kapan akan datang. Allah sedang menegur kita, mungkin kita lupa kepadaNya…
26 Desember 2004 tepatnya 7 tahun yang lalu, saat itu aku dan keluarga di Lhokseumawe. Aku punya banyak saudara di Banda Aceh, adik ke dua dan adik bungsu ibu ku tinggalnya di Lingke, Banda Aceh. Waktu itu adik bungsu ibuku belum menikah dan dia bekerja di salah satu Hotel di Banda Aceh, dan adik ke dua ibuku sudah berkeluarga dan memiliki 4 orang anak yang ke tiga sudah Almarhumah akibat musibah tsunami.
Adik bungsu ibuku bernama Amar dan aku biasa memanggilnya dengan sebutan cecek (paman), kemudian adik ke dua ibu, biasa memanggilnya dengan panggilan Om Din waktu itu di rumah tersebut ada ibu mertua Om yang meninggal syahid waktu tsunami dan keponakan istri Oom bernama Deva, berusia 3 tahun yang meninggal pada bencana gempa-tsunami.
Pukul 07.00
Yang aku tahu biasanya mereka hari Minggu selalu di rumah berkumpul dengan keluarga, namun pada saat itu Om Din dan istrinya pukul 07.00 mau pergi ke Indrapuri untuk mengunjungi anak pertamanya yang berada di salah satu pasantren di Indrapuri. Ketiga anaknya lagi Arif, Vira, dan almarhumah Putri, alm ibu mertua, dan Deva keponakan bunda tidak mau ikut karena mareka hendak menonton film kartun yang disiarkan di salah satu televisi setiap hari Minggu, sedang ibunya duduk santai sambil menemani anak-anak, Cecek Amar masih tidur.
Pukul 08.00
Gempa ya Allah… ketiga anak Om membangunkan Cek Amar…. Cek Amar langsung terbangun, , rumah tersebut berlantai dua, cek amar turun ke lantai satu, karena gempa terasa cukup kuat mereka keluar ke halaman rumah.
Pukul 08.15
Air laut naik!… teriakan warga dari arah Tibang dan Alue Naga, orang-orang lari keluar perumnas Rawa Sakti, sekilas Cecek mendengar teriakan tersebut terbesit di pikirannya air luat naik? Seakan perasaan lupa-lupa ingat menghampirinya …..karena teriakan warga semakin menggema .. mencoba untuk naik ke atas lantai 2 rumah namun gempa susulan juga masih terasa karena takut rumah roboh, mereka keluar rumah, cecek membawa anak-anak dengan satu sepeda motor, bayangkan saja satu sepeda motor Cecek membonceng tiga orang anak Om dan satunya keponakan bunda. Ibu mertua Om tidak ingin ikut, beliau hanya duduk di depan dan beristighfar, beliau menyuruh mereka pergi. Beliau pun dibawa oleh ombak.
Air laut semakin menderas rasanya seperti mengejar mereka, Cecek mencoba untuk membawa cepat tapi jalan semakin padat dengan kendaraan lainnya belum sempat keluar dari komplek, air laut semakin tinggi, Cecek pun tidak bisa mengendalikan dirinya lagi dan terjatuh, kedua sepupuku, Putri dan Deva mereka terlepas dari tangan cecek, Vira masih dalam gendongan Cecek, sedangkan Arif lari langsung memanjat mobil-mobil yang sudah tertindih akhirnya Arif sampai di atas atap pertokoan.
Air semakin lama semakin tinggi untung saja Cecek punya keahlian berenang walaupun tidak sepandai para atlit renang.
Lain halnya dengan Om yang ke Indrapuri, mereka melihat keramaian di jalan dan bertanya ada apa kepada warga yang berlarian mereka pun menjawab tsunami-tsunami. Akhirnya mereka balik lagi ke Banda Aceh.
Aku dan Cecek hilang komunikasi, listrik pun padam sampai dua hari.. dan tak bisa melihat berita di televisi, kami tahu saat itu gempa sangat dasyat, tapi tidak tahu sebesar apa, dan bagaimana air laut naik karena di Lhokseumawe tidak separah seperti di Banda Aceh, mencoba menelepon kakak di Medan Alhamdulillah dia baik-baik saja.
Senin, 27 Desember 2004
Kami di Lhokseumawe baru mendapat kabar dari Banda Aceh melalui radio amatir, ternyata di Banda Aceh lenyap, suram, dan menjadi lautan yang sangat hitam, sungguh mengejutkan ketika kami tahu ada tetangga yang baru berangkat ke Banda Aceh mengantar jamaah haji, mobil beserta rombongan disapu oleh ombak yang hitam pekat.
Pada hari Senin itu juga ibu ku langsung berangkat ke Banda Aceh bersama saudara sepupunya, walaupun berdesakan di dalam mobil L-300 tak apalah yang penting bisa ke Banda Aceh. Sesampai di Banda Aceh ibu ku sangat terkejut, hitam pekat, bau seperti bau hangus, jalan terasa panas, tumpukan sampah dan mayat sungguh membuat hati ibu luluh.. mencoba untuk tegar.. pada malam itu ibu ku berjalan kaki dari simpang Surabaya ke Darusalam sesampai di Mesjid Darusalam ibuku bertemu dengan Cecek yang baru saja memandikan jenazah sepupuku, berpelukan sambil menangis tersedu-sedu, ibu kumenanyakan di mana abang mu (Om Din), Cecek menjawab mereka akan ke sini.