Mengenang Tsunami
Anakku Meninggal, Suami Menceraikanku
Petaka baru timbul dalam rumah tanggaku. Suamiku berselingkuh pada saat bayiku masih berumur 6 bulan
SEBELUM aku mencurahkan semua perasaan yang menyelimuti hatiku selama ini, aku mengharapkan ampunan dari Allah agar senantiasa rahmatNya dilimpahkan kepada kita semua.
Mungkin ketika anda mendengar nama Lhoknga, terbayang oleh anda bagaimana parahnya daerah itu diterjang tsunami 7 tahun yang silam. Semua porak-poranda. Hidup tak menentu arah, karena harta dan keluarga hilang seketika.
Tulisan ini terutama kutujukan kepada para ibu yang kehilangan buah hatinya ketika musibah Tsunami. Memang sungguh berat derita bagiku ketika harus rela untuk kehilangan ketiga putraku dalam waktu yang tanpa terduga oleh siapapun. Namun semua itu kehendak Allah yang telah menitipkan mereka kepadaku, yang kini titipan itu telah diambil kembali.
Aku sungguh bahagia bahwa aku menjadi seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan 3 orang putra dan aku juga pernah merasakan kebahagiaan bersama mereka.
Sungguh pun dalam menjalani hidup berumah tangga selalu diterpa badai rumah tangga yang tak kunjung selesai, namun demi anak-anak aku bertahan hidup. Walaupun harus kujalani dengan penderitaan batin yang begitu berat. Suamiku sa’at itu bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Aku selalu dijadikan tempat ia melampiaskan amarahnya, padahal aku juga bekerja disamping mengajar juga menerima upahan menjahit pakaian wanita. Karena aku mampu dan ingin menambah penghasilan rumah tangga. Akan tetapi apa yang kulakukan tidak ada penghargaan sedikitpun dimata suamiku. Malah disaat dia marah, aku selalu disuruh pergi dari rumah untuk pulang kerumah orangtuku.
Ketika Allah mendatangkan musibah tsunami tepatnya 26 Desember 2004, ketiga putraku ikut hilang dalam musibah itu. Semua mereka sa’at itu berada dirumah ibuku di Pasar Lhoknga. Semua kelurgaku hilang termasuk ibuku, kakak, abang ipar dan 4 orang ponakanku.
Dengan kejadian itu aku merasa tidak ada lagi yang harus kupertahankan untuk hidup bersama suamiku lagi. Aku mohon kepadanya agar mengizinkan aku pergi ke Jakarta untuk berkumpul dengan abang dan adik-adikku. Ternyata suamiku berharap agar aku izinkan dia untuk ikut bersamaku. Setelah satu bulan disana dia pulang ke Aceh, sedangkan aku sebulan kemudian baru kembali.
Pertengahan Maret 2005 aku kembali ke Lhoknga dan tinggal di tempat pengungsian selama satu bulan. Kemudian semua warga lampaya kembali kerumah masing-masing. Sebenarnya berat sekali hatiku untuk kembali karena aku tak sanggup menerima perlakuan suamiku jika seperti dulu lagi. Dia berjanji tidak akan menyakiti hatiku.
Dalam menjalani hidupku yang penuh kesedihan, kesepian dari canda dan tawa anak-anak, aku selalu berdoa kepada Allah agar aku diberi keturunan lagi. Aku sadar bahwa usiaku sudah lanjut, 41 tahun sa’at itu.
Alhamdulillah….segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan aku seorang anak laki-laki yang kami berikan nama ;Muhammad Zikra Mulia (5 Maret 2006) Dengan kelahiran bayiku, dukaku terasa terobati walau hanya sedikit. Aku berfikir dan yakin, dengan kehadiran anak yang sangat kami harapkan dapat menumbuhkan kebahagiaan dalam keluarga kami. Ternyata dugaanku meleset, malah suamiku merasa tidak begitu menerima keadaan itu.
Dia sering keluar malam dan meninggalkan aku berdua dengan bayiku di rumah. Kadang-kadang tidak tahan aku menangis mengingat aku sudah tidak ada siapa-siapa lagi, hanyalah dia tempat aku bergantung dan bisa kujadikan teman. Dengan hati yang terpaksa aku mengirim sms agar dia bersedia untuk pulang tidak terlalu larut malam.
Petaka baru timbul dalam rumah tanggaku. Suamiku berselingkuh pada saat bayiku masih berumur 6 bulan, ada-ada saja sikapnya yang membuat aku sakit hati. Setiap ada masalah selalu berujung dengan pertengkaran, aku berkesimpulan bahwa dia tidak mencintai kami lagi. Sehingga pada suatu hari aku bicara pada suami dengan hati yang berat, agar kami berpisah secara baik-baik, anak biarlah aku yang asuh. Ternyata dia setuju sekali dengan pendapatku.
Pertengkaran terakhir terjadi 5 Januari 2007, waktu itu anakku berumur 10 bulan dan belum bisa berjalan. Mulai sa’at itu suamiku tidak pulang dan tidur dirumah bantuan tidak jauh dari desa kami.
Tanggal 25 Januari 2007, malamnya dia menceraikan aku lewat pesan singkat. Aku menganggap itu sah, dan mulai saat itu aku mendesaknya untuk menyelesaikan perceraian melalui jalur hukum. Seminggu kemudian dia menyuruh aku pergi dari rumah bersama bayiku. Kemudian aku menyewa rumah selama 3 ½ tahun.
Tanggal 26 Maret 2007, dia mengajukan permohonan talak terhadapku, akupun tidak keberatan, karena menurutku tidak ada artinya hidup bersama orang yang mengkhianatiku. Kemudian aku menjalani sidang selama 16 kali dalam jangka waktu 1 tahun. Dia hanya ingin menceraikan aku tanpa mau memberikan sedikitpun hak untukku dan untuk anak. Karena aku merasa ada hak dari apa yang pernah kami miliki, maka aku balik menggugat harta bersama.