Opini
Antara Pembual dan Penasihat
MENGUTIP satu penggalan kalimat dari seorang pelancong yang pernah datang ke Aceh pada abad ke-XVII. Kalimat tersebut adalah
Oleh M. Adli Abdullah
MENGUTIP satu penggalan kalimat dari seorang pelancong yang pernah datang ke Aceh pada abad ke-XVII. Kalimat tersebut adalah: Kata Mareka Tuhan jauh, tetapi Raja Dekat. Kisah “Tuhan jauh, Raja dekat” diucapkan oleh seorang Laksamana dari Perancis Agustin de Beaulieu ketika mengunjungi Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kisah kunjungannya ini kemudian diceritakan dalam Memoires setebal 123 halaman.
Dalam Memoires tersebut antara lain diceritakan kisah para orang kaya (menteri) Iskandar Muda, yang tiap hari membual untuk menyenangkan hati Sultan, bahkan bualannya dapat menjatuhkan orang lain. Laksamana Beaulieu akhirnya tidak sabar melihat sikap si pembual ini. Lalu Bealieu menanyakan mengapa orang kaya ini apakah tidak takut pada Tuhan kalian, sehingga berani menjelekkan orang lain dihadapan Sultan, padahal orang lain yang dibualnya adalah bagus pekertinya dan baik budinya? Si orang kaya menjawab: “Tuhan jauh, Raja dekat.”
Dari cerita di atas, agaknya si penutur sengaja menyaringkan suaranya, untuk mengetahui bagaimana respons pembual dan pembisik Sultan di teras istana. Akibatnya Aceh terjerumus dalam kalah strategi. Nasehat dari ulama sekaliber Syeikh Syamsuddin Assumatrani diabaikan oleh Sultan Iskandar Muda ketika mengatur strategi perang melawan Portugis di Melaka pada 1627. Bahkan, penasehat utama Sultan Iskandar Muda Syeikh Syamsuddin Assumatrani, syahid di sana. Kisah ini pun kemudian diungkapkan oleh Nurdin Ar-Raniry dalam kitab Bustanussalatin.
Nasihat Hasan Tiro
Dalam tulisan ini, saya juga ingin akan merakamkan nasihat Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro dalam bukunya Atjèh di Mata Donja yang diterbitkan pada 15 Maret 1968, di New York, AS. Ia menekankan agar orang Aceh perlu memiliki marwah, integritas dan pentingnya memiliki komitmen pada jati diri. Misalnya, dalam pengantar buku itu diingatkan jika kita melihat diri kita sebagai bangsa yang hina, lemah, tidak mulia, ditipu, diperintahkan oleh orang lain, menyembah bangsa lain dan menerima perintah orang lain yang ke Aceh, maka kita akan hancur. Nama Aceh akan hilang dan menjadi jajahan serta budak bangsa lain. Buku ini agaknya telah mengubah sebagian wajah sejarah Aceh.
Menurut Hasan Tiro, jika kita melihat Aceh seperti bangsa yang hina, maka tidak akan ada lagi cita-cita dan semangat menjadi mulia; Jika kita melihat diri kita lemah, maka tidak akan ada lagi semangat kepahlawanan; Jika kita melihat diri kita bodoh, itu berarti kita sudah mengikuti kemauan orang lain yang akibatnya kita akan ditipu. Sebaliknya, jika kita memandang Aceh sebagai bangsa mulia, tidak bodoh, tidak lemah, berani, tahu apa kepentingan kita, serta paham mengatur negeri kita dan pantang dijadikan budak oleh bangsa lain, maka kita bisa bangkit kembali. Aceh menjadi makmur dan tidak pernah hilang dalam lipatan sejarah dunia.
Pesan dan nasihat itu mengisyaratkan bahwa setiap orang Aceh mesti memiliki prinsip hidup dan tidak bermental penjilat. Setia pada kawan dalam suka dan duka selama ikut perintah Allah. Tidak mengambil lawan menjadi kawan dengan memberikan posisi kunci, dan berani tampil apa adanya atau hidup sederhana.
Bagaimana posisi Aceh sekarang? Kita patut memberikan apresiasi kepada Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai ‘nakhoda’ Aceh periode 2012-2017 yang bertekad membawa Aceh menjadi makmur layaknya Brunei Darussalam, sistem pemerintah dan tata kota bersih layaknya Singapura. Penghargaan pun layak diberikan kepada “Doto dan Mualem” yang memerintahkan kawasan Kantor Gubernur Aceh bersih dari asap rokok alias dilarang merokok di lingkungan tersebut. Kita percaya dengan duet erat dari elit GAM dan mantan Panglima GAM, maka terbentuk kerja sama yang harmonis.
Di sisi lain, kita tidak bisa melupakan sejarah sebagaimana dipaparkan Hasan Tiro yakni orang Aceh mesti ingat sejarah. Sebab dari sejarah kita mengetahui, Aceh sering terkalahkan bukan dengan ujung bedil, tetapi oleh ahli fitnah yang selalu punya keinginan untuk menyenangkan hati pemimpin. Mereka tidak akan peduli jika sewaktu-waktu pemimpin mereka berada di pinggir jurang. Dalam hal ini, pemimpin yang bijak harus menerima nasehat yang baik untuk kebaikan rakyatnya.
Di sini tingkah polah para pembual dan pembisik memang bermacam-macam. Tidak mengherankan para pembual dan pembisik ini cukup lihai mengambil kesempatan dalam setiap momen. Di sini kepekaan pemimpin dengan matahati yang bersih harus mampu menerawang mana yang bisikan yang baik dan bisikan yang akan menjerumuskan dirinya di kemudian hari. Kemampuan inilah yang harus dimiliki oleh pemimpin Aceh hari ini. Hal ini disebabkan mereka telah ditempa di lapangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Karena itu, kepiawaan ini harus dibuktikan ketika mereka berada di puncak pimpinan pemerintah Aceh.
Pembisik dan pengkhianat
Aceh telah jatuh bangun selama beberapa abad lebih. Setiap episode kekecewaan yang ditunjukkan dalam sejarah perjuangan Aceh selalu diakhiri oleh peran pembisik dan pengkhianat. Menurut sejarah, rampuhnya tonggak kesempatan untuk membangkitkan semangat juang, juga terkadang disebabkan oleh sikap aji mumpung di kalangan beberapa rakyat Aceh. Akibatnya, kekuasaan selalu tunduk pada mereka yang ingin mengambil kesempatan pada saat orang-orang bijak tidak memiliki akses pada lingkaran kekuasaan.
Tulisan ini bukanlah ingin menggugat tampuk pemerintahan Aceh, melainkan ini adalah ‘Zikir’ (pengingat) bagi kita semua. Sebab, saat ini semua kendali pemerintahan Aceh benar-benar di tangan rakyat Aceh. Dengan begitu, artikel ini anggaplah suara yang paling jauh dari rakyat Aceh yang ingin melihat pemimpinnya selamat dunia akhirat hingga ke akhir jabatannya. Kita tidak mau mereka nantinya menjadi korban oleh bisikan-bisikan yang tidak bertanggung jawab. Karena setiap detik, denyut nadi pemerintahan akan dipantau seperti ikan dalam aquarium.
Sebagai akhir dari opini adalah kemampuan matabatin pemimpin adalah salah satu suluh bagi rakyat. Kemampuan intelektual pemimpin adalah cara dia merealisasikan visi dan misi ketika hendak bertahta di singgasana. Ketajaman mata pemimpin adalah ketika dia tahu kapan harus berkedip, baik di depan lawan maupun kawan. Jadi, posisi pembisik harus dipahami sebagai pemberi masukan, bukan pemberi masakan yang harus ditelan mentah-mentah.
Kita harus ingat pada hadih maja ureueng tuha yang menyebutkan: Paleh inong jiteumanyong oh lakoe woe; Paleh agam sipat kuah bileueng asoe; Paleh umong cot teungoh kureueng asoe; Paleh rakyat jimeu-upat rata sago; Paleh raja deungo haba beurangkasoe. Semoga!
* M. Adli Abdullah, Pemerhati Sejarah dan Politik/Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al-Aziziyah, Meunasah Subung, Samalanga, Bireuen. Email: bawarith@gmail.com