Opini
Leuser, Paru-Paru Dunia yang Terancam
TAMAN Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan landskap sekitarnya, merupakan hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati
Oleh Asmaul Husna
TAMAN Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan landskap sekitarnya, merupakan hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi (high biodiversity values). Keberadaan biodiversity tersebut sifatnya sangat esensial dalam rangka menunjang keberlanjutan kehidupan di bumi. Ragam biodiversity kawasan hutan Leuser akhirnya menghantarkan TNGL mendapat predikat “Situs Warisan Dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatera)” oleh komite warisan dunia, UNESCO pada 2004.
Namun kekayaan tersebut dipatahkan oleh sebuah kenyataan bahwa perusakan hutan terus berlanjut dan keadaannya tambah mengkhawatirkan. Pengrusakan pun semakin menemukan jalan sempurna sejak peraturan yang membolehkan tambang di wilayah hutan lindung sebagaimana tertuang dalam Perpu No.1/2004 kemudian berubah menjadi UU No.19/2004 tentang (eksploitasi) Hutan (Jurnal Nasional, 18/6). Bahkan, aktivitas perusakan ini juga melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat. Konsekuensinya, upaya untuk menyelamatkan hutan di negeri ini pun menjadi sulit. Karena banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan dari aktivitas perusakan hutan, yang sebenarnya hanyalah untuk kepentingan sesaat.
Perilaku yang merusak
Leuser juga termasuk ke dalam satu hutan konservasi yang fungsi utamanya ditujukan untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan penyangga kehidupan. MacKinnon, peneliti lingkungan berkelas internasional pernah mengatakan, Leuser mendapatkan skor tertinggi untuk kontribusi konservasi di seluruh kawasan Indo-Malaya. Tapi kian hari “keperawanan” Leuser semakin terancam. Keadaan terkini, TNGL mengalami degradasi dan deforestrasi akibat perambahan hutan dan alih guna lahan di beberapa lokasi (Waruwu, 1984).
Pada era reformasi dan otonomi daerah ini, hutan-hutan lindung dan hutan konservasi mengalami tekanan yang sangat kuat dari penebangan liar dan penggarapan kawasan untuk lahan pertanian sehingga fungsi lindungnya banyak yang terganggu dan tidak optimal. Bahkan beberapa pemerintah daerah ada kecenderungan ingin mengubah status fungsi hutan-hutan tersebut menjadi hutan produksi. Pohonnya dapat ditebang sekadar untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa memperhitungkan akibat kerusakan lingkungan yang mungkin timbul pada jangka panjang.
Hal tersebut didukung oleh kenyataannya, bahwa kerusakan hutan pun akhirnya semakin parah dari tahun ke tahun. Dari 133 juta hektare luas hutan Indonesia, sekitar 21% (26 juta hektare) telah hancur. Diperkirakan lebih dari 1 juta hektare hutan di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahunnya. Laju kerusakan hutan paling parah terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di Sumatera, lebih dari 500 ribu hektare mengalami kerusakan setiap tahunnya. TNGL sendiri yang meliputi wilayah Aceh dan Sumut telah rusak seluas 112.100 hektare.
Penyebab kerusakan
Tidak berhenti di situ, taman nasional yang kerap disebut sebagai paru-paru dunia itu pun ikut dialihfungsikan menjadi lahan pertambangan dan perkebunan. Kini, di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) beroperasi 40 perusahaan pertambangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu, alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan perlu mendapat perhatian khusus, karena hal itulah yang menjadi penyebab utama kerusakan hutan.
Padahal, kendati TNGL termasuk kawasan konservasi bukan berarti tidak dapat dimanfaatkan. Konservasi berarti pemanfaatan secara bijaksana bagi upaya menunjang pembangunan berkelanjutan, yang mencakup pelestarian, pemeliharaan, pemanfaatan berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan mutu lingkungan alamiah (McNeely, 1992:11). Hanya saja dibutuhkan sikap yang lebih bijak untuk kelangsungan hidup generasi selanjutnya.
Di Aceh sebelum periode 1980-an, sebagian besar masyarakatnya tidak akan melakukan penebangan pohon-pohon besar tanpa terlebih dahulu melakukan suatu upacara adat. Pembukaan hutan di Aceh untuk konsesi telah menghilangkan hal tabu dari masyarakat tradisional dan telah mengurangi semangat perlindungan hutan di masyarakat yang tinggal dekat hutan. Akhirnya, mereka pun ikut bergabung dalam penebangan kayu itu sendiri.
Hal tersebut mereka lakukan tentunya punya alasan. Satu aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial ekonomi yang relatif belum baik menjadi satu penyebab eksploitasi sumber daya dan kerusakan hutan (Reksohadiprodjo, 1988). Perambahan hutan dan pencurian kayu banyak dilakukan masyarakat guna memenuhi kebutuhan dan tidak memahami akibat ekologisnya berupa kerusakan hutan yang menyebabkan erosi, banjir dan kekeringan karena tidak ada mata pencaharian lain untuk menghidupi keluarga.
Jika gangguan hutan diakibatkan kemiskinan masyarakat sekitarnya, maka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mutlak harus dilakukan sehingga ketergantungan terhadap hutan dan hasil hutan berkurang. Untuk hutan yang telah rusak harus dilakukan rehabilitasi, penanaman kembali dengan jenis pohon yang sesuai dengan lahan dan peruntukannya. Akan lebih baik juga dipilih jenis pohon Multi Pupose Species (MPTS) yang berfungsi ganda untuk penutupan tanah dan perbaikan ekonomi masyarakat dari hasil hutan bukan kayunya.
Belajar dari Brasil
Kita perlu belajar pada pemerintah Brasil bahwa untuk keberhasilan menjaga kawasan hutan konservasi, harus terlebih dulu melindungi masyarakat adat yang bergantung hidup pada alam hutan. Pengalihan hak pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam kepada masyarakat setempat, telah terbukti menjadi satu kunci keberhasilan pelestarian kawasan Amazon di Brasil.
Hutan beserta flora dan fauna yang ada di dalamnya sangat besar pengaruhnya bagi kelangsungan hidup. Perlu dibangun sudut pandang baru dalam memahami alam dan mekanismenya. Hutan adalah kehidupan kita, gudang air kita, supply oksigen kita, suaka margasatwa kita, udara kita, dan juga “nyawa” kita. Hutan bukan lagi bahan eksploitasi tetapi adalah kawan manusia dan paru-paru dunia dalam melanjutkan kehidupan.
Outstanding Universal Value menunjukkan signifikansi budaya dan/atau alam yang begitu luar biasa sehingga melampaui batas nasional dan menjadi penting untuk generasi sekarang dan masa depan seluruh umat manusia. Pebisnis AS, David Brower mengatakan, “there is no business to be done on the death planet (kalau planet juga mati, maka apa yang bisa kita lakukan).” Dengan demikian, perlindungan permanen terhadap warisan ini adalah sangat penting bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.
Asmaul Husna, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe dan Sekolah Menulis & Kajian Media (SMKM), Aceh Utara. Email: hasmaul64@yahoo.com