Opini

Ibrahim Abdullah

Ketika saya mengunjungi Jakarta untuk beberapa hari, tanpa disangka saya melewati Jakarta yang banjir. Meskipun cuaca beratmosfer murung

Editor: bakri

Beberapa poin yang saya ingat dari bacaan saya tentang buku ini, salah satunya adalah kedatangan Bung Karno dalam rangka rapat dengan Abu Daud Beureueh di pendopo kewedanan Bireuen. Hal lainnya adalah pertemuan dia dengan Hasan Di Tiro yang disapa Cutbang. Hubungan mereka terjalin tidak hanya karena saboh gampong, tapi juga berlanjut selama keberadaannya di Amerika.

Hal menarik lainnya adalah catatannya mengenai Hasan Di Tiro. Sebelum Ibrahim berangkat ke New York, dia mendapatkan surat pernyataan penerimaan dari Universitas New York melalui Abang Hasan Muhammad Di Tiro yang sedang bertugas sebagai konsulat Jenderal RI di sana. Setelah berlayar dengan kapal, dia langsung mengunjungi rumah Hasan Di Tiro di Manhattan. Secara jelas, dikarenakan hubungan yang dekat dengan Hasan Di Tiro, dia menjadi salah satu saksi utama perjuangan Hasan Di Tiro dalam meneriakkan hak-hak kemanusiaan Aceh, sejak insiden tahun 1954 yang berakhir dengan pencabutan Hasan Di Tiro dari posisinya sebagai Konsulat Jenderal RI. Sebelum pencabutan itu, Ibrahim telah mengingatkan Hasan Di Tiro  konsekuensi dari aksi tersebut yang dijawab oleh Hasan Di Tiro dengan tekad yang bulat: “Itu adalah risiko perjuangan adoe meutuah (hal. 58)”.

Saya tidak akan menceritakan seluruh pengalaman yang dialami oleh Ibrahim dalam bukunya. Namun bacaan ini merupakan hal yang sangat efektif jika dilihat dari perspektif pengarang, seakan menyaksikan sebuah teater hidup dari cerita tentang seorang aneukmiet dari Gampong Blang menuju timur dan barat. Saya percaya buku ini akan menjadi sesi pembelajaran dan kesadaran yang baik bagi setiap kalangan Aceh.

* Mehmet Özay, peneliti independen, pendiri Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved