Cerpen
Ziarah Laut
AZAN subuh berkumandang. Sayup-sayup terdengar dari rumah tuhan di ujung jalan. Di luar rumah, warga berduyun-duyun
Waktu terus bergulir. Usai magrib, kami salat berjamaah di rumah. Istri meminta tetap salat di rumah. Tak mau berjamaah di meunasah. Alasannya, takut terlalu lama sedangkan dia harus berangkat ke pelabuhan.
Dengkur Taufan menemani salat kami magrib itu. Karena tidak ada yang menemani Taufan, aku tak bisa mengantarkan istri ke pelabuhan. Kasihan membangunkan anak itu.
“Umi bisa sendiri,” kata istriku, “Numpang sepeda motor Bang Ramli.”
Kupanggil Bang Ramli di samping rumah. Minta tolong mengantarkan istriku ke pelabuhan. Bang Ramli setuju. Sejurus kemudian, istri berangkat setelah sebelumnya mencium Taufan dan menyalamiku.
“Pulang lebih cepat,” kataku. “Karena, Taufan pasti merindukanmu.”
“Kuusahakan hanya dua hari di sana.”
Setelah istri pergi aku berbaring di samping Taufan. Berzikir untuk menenangkan hati yang gelisah sejak kemarin. Baru dua jam aku tertidur, pintu rumah diketuk dari luar. Suara Bang Ramli mengucapkan salam berkali-kali sembari memanggil namaku.
Aku setengah berlari membuka pintu. Nafas Bang Ramli tak beraturan. “Abi, istrimu. Gurita karam. Gurita karam.” Tanganya menunjuk ke arah pelabuhan. Baru 90 menit lalu istriku berangkat dari pelabuhan menaiki KMP Gurita menuju Sabang.
“Gurita karam. Tenggelam ke dasar laut. Begitu kudengar dari nelayan.”
Semua persendianku lemah seketika. Bang Ramli memapahku. Mengoyangkan tubuhku agar aku bisa bangkit. “Mari kita ke pelabuhan,” ajaknya.
Kubangunkan Taufan. Menggendongnya menuju pelabuhan. Di sana, ratusan orang berkerumun, Mencari tahu tentang Gurita yang karam.
Kuperhatikan satu per satu kantung mayat. Tak ada satupun wajah yang kukenali. Istriku tertinggal di dasar laut bersama puing-puing Gurita yang tak ditemukan hingga kini.
Malam ini, 19 Januari 2014. Aku dan Taufan yang kini berusia 19 tahun berdiri di Balohan. Kami membacakan surah yasin, untukmu, istriku. Di pinggir laut ini. Menziarahi laut setiap tahun. Sejak kepergianmu, aku memutuskan menetap di Sabang. Taufan kini kuliah di Banda Aceh. Setiap akhir pekan dia pulang ke Sabang. Kami hidup berdua, merawat makam Kek Nyak Sabi, dan merawat kenangan bersamamu di sini, di Pelabuhan Balohan.
* Masriadi Sambo, penulis novel Cinta Kala Perang (Quanta-Elex Media 2014). Tinggal di Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe.