Cerpen
Di Seunuddon, Seratus Kuntul Hitam Bermalam
Adakah yang lebih menyakitkan selain kenangan? Tidak! Setidaknya Triani merasakan itu. Lebih-lebih saat matahari senja
“Makannya kapan?”
“Oh, iya ya, hahaha...!”
Mereka kemudian tergelak bersama. Mereka baru beranjak dari rangkang saat Emak dan Abah bersiap beranjak pulang dari sawah. Saat itu biasanya matahari sudah tepat di atas ubun-ubun. Burung-burung kuntul pun beterbangan dari sawah menghindari sengatan panas.
Tapi kenangan itu telah lama berlalu. Ah, Subi, tahukah kau Subi, laki-laki aneh dan asing itu sama sekali tak pernah hinggap di hati Triani. Hanya setengah tahun laki-laki aneh itu mengisi malam-malam Triani, kemudian ia hengkang dari rumah batu bersama teman-temannya. Meskipun masih berstatus suami, tapi laki-laki aneh itu tak pernah lagi berkabar pada Triani. Laki-laki aneh dan asing yang kembali ke negeri entah. Biarlah. Sebelas tahun bukan waktu singkat untuk mendapat kabar dari orang yang tak pernah diharapkan datang.
Bahkan Triani tak ingin lagi sekedar menyebut nama laki-laki aneh itu.
Sore menjelang magrib, matahari menggaris merah di langit barat. Suasana kampung tersirap aroma basah lumpur sawah. Triani masih sendirian di rangkang depan rumah. Serombongan burung kuntul hitam tiba-tiba muncul untuk menjejakkan kaki di antara batang-batang padi muda. Mereka pasti akan bermalam lagi di sana. Mendadak Triani ingat pada Subi. Dua butir air hangat lepas dari talang matanya. Dia sangat ingin menangis.*
* Muhammad Nasir Age, bekerja di bagian Humas Kantor Bupati Aceh Utara
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |