Cerpen
Tiang
AKU mendongakkan kepala ke luar jendela bus. Hawa dingin pegunungan segera membelai wajahku
“Itu petugas yang hendak melancarkan proses penggusuran!” ia menjawab. Matanya menatap lekat ke arah beberapa orang yang turun dari mobil tadi. Ada empat orang berjas hitam lengkap dengan dasi.
“Katanya, mereka akan membangun mesjid terlebih dahulu di dusun Tunong. Sayangnya, kita tidak diberi kesempatan untuk memberi masukan terhadap rancangan mesjid. Semua ditanganioleh mereka.”
“Jadi kita tidak bisa mengusulkan agar mesjid baru itu dibangun lebih luas? Itu perlu menurutku, Bang. Sebab setiap hari raya, mesjid kita selalu tidak muat menampung jamaah.”
Bang Hamid menggeleng.
***
Hari mulai terang ketika bus yang kutumpangi akan tiba di kampung. Hatiku berdebar-debar menantikan perubahan apa saja yang terjadi di kampung setelah sekian lama kutinggalkan. Tapi yang paling membuatku tak sabar adalah mesjid baru yang kudengar sudah selesai pembangunannya. Aku memang tidak sempat melihat proses pembangunan mesjid di Tunong karena harus berangkat ke Jakarta. Sebuah undangan kuliah di sebuah universitas terkemuka di negeri ini membuatku harus meninggalkan kampung tercinta empat tahun lamanya. Kini, setelah empat tahun berlalu aku pulang.
Bus berhenti tepat di depan mesjid. Tapi seperti dugaanku, tidak ada lagi mesjid di sana. Bahkan aku hampir tak melihat apa-apa selain pagar beton yang tinggi dan cerobong-cerobong asap yang menjulang. Rupanya bukan mesjid saja yang digusur. Tetapi juga beberapa rumah di sekitarnya.Rumah Ainun, Suherman dan tiga rumah lagi disampingnya sudah menjelma menjadi pagar beton. Begitu mudahnya orang berduit melakukan apa yang ia inginkan.
Aku baru sadar ternyata jalan di kampung kami kini sudah diaspal semuanya. Jalan-jalan tak lagi berdebu. Kendaraan lalu lalang. Warung kopi Cek Man kian ramai saja dan sudah terpasang jaringan internet.
“Nggak mampir dulu, Gam?” sapa Cek Man dari warung.
Aku mampir sebentar dan bersalaman. Kemudian minta izin untuk pulang ke rumah. Di rumah, setelah bersalaman dengan seluruh anggota keluarga, aku minta izin ke mesjid. Rasa penasaranku mengalahkan segalanya.
Langkahku kupercepat ke arah dusun Tunong. Orang-orang menyapaku sepanjang jalan. Aku berhenti sebentar-sebentar untuk menyalami mereka. Tapi tidak berlama-lama. Sengaja tidak kutanyakan kondisi mesjid kepada mereka. Itu hanya akan membuatku semakin penasaran saja. Ada baiknya aku sendiri yang melihatnya langsung.
Aku tiba di ujung jalan. Sebuah mesjid ada di sana. Aku kecewa sebab mesjid itu ternyata jauh lebih kecil dari mesjid yang dulu. Tak terasa, air mata mulai menetes. Mengapa mereka menzalimi kami seperti ini?
Kulangkahkan kakiku pelan ke dalam mesjid. Tidak ada kaligrafi atau ukiran-ukiran di dinding. Tidak ada AC atau kipas angin. Pokoknya tidak ada yang istimewa. Kekecewaanku kian menumpuk. Aku kesal dengan orang-orang berduit itu yang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Mengapa mereka begitu malas membangun rumah ibadah?
Tapi sebentar, aku baru sadar ada sesuatu yang menarik di mesjid ini. Kuhitung jumlah tiangnya. Dua puluh!
* YF Rijal, kelahiran Ladang Tuha, Meukek, Aceh Selatan 1992.
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |