Breaking News

Opini

Esensi Ilmu

ILMU yang akar katanya berasal dari bahasa Arab, ‘aliiman berarti pengetahuan

Editor: bakri

Oleh Didi Wahyudi

ILMU yang akar katanya berasal dari bahasa Arab, ‘aliiman berarti pengetahuan. Sedangkan menurut Jujun S Suriasumantri, ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara konsisten dan telah teruji kebenarannya secara empiris. Menurut Sidi Gazalba, ilmu adalah pengetahuan. Kebenaran pengetahuan sepanjang pengalaman. Menurut Zainuddin Ali, ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, diinterpretasi, menghasilkan kebenaran objektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Ada yang mengatakan sulit untuk mendefinisikan ilmu.

Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan dalam Islam terbagi tiga kategori: Pertama, pengetahuan murni dari Tuhan, diistilahkan dengan wahyu, dalam bentuk kitab Alquran; Kedua, pengetahuan Nabi/ Rasul Tuhan yang berasaskan atau lanjutan wahyu, diistilahkan sunnah-hadis Nabi saw; Dan, ketiga, pengetahuan ulama (orang yang berilmu), ahli pikir atau ilmuwan yang berasaskan, berpedoman, berkaitan dan digerakkan oleh wahyu dan sunnah-hadis, merupakan hasil ijtihad.

Menurut pandangan Harun Nasution, ada dua teori untuk mendapatkan jalan pengetahuan: Pertama, teori empirisisme, yaitu pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindera. Pancaindera memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan itu terkumpul dari diri manusia. Pengetahuan terdiri dari penyusunan dan pengaturan kesan-kesan dari berbagai rupa ini.

Kedua, teori rasionalisme, yaitu pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal. Dalam hal ini akal berhajat pada bantuan pancaindera untuk memperoleh data dari alam nyata. Akal yang menghubungkan data ini satu dengan yang lain, sehingga terdapat apa yang disebut dengan pengetahuan.

Mencari kebenaran
Di antara sebab pentingnya ilmu adalah untuk mencari kebenaran. Allah Swt berfirman: “Sesungguhya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Faathir: 28). Yang dimaksud ulama dalam ayat ini adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan akan meyakini kebenaran dari Tuhannya. Bagaimana cara mencari kebenaran?

Menurut John JOI Ihalauw, ada beberapa alternatif cara manusia mencari kebenaran. Mengutip pendapat Wallace (1971) mengemukakan empat cara untuk memperoleh dan menguji kebenaran dari suatu pernyataan-empirik. Ia membedakan ke dalam cara-cara authoritarian, mystical, logico rational, dan cara scientific.

Melalui cara authoritarian, pengetahuan dicari dan diuji dengan mengacu pada orang yang secara sosial dipandang memenuhi persyaratan sebagai sumber pengetahuan. Sebagai contoh seorang profesor, tetua atau para pemimpin, yang karena kedudukan sosial, dipandang sebagai sumber kebenaran. Apa yang dikatakan mereka diterima oleh pihak lain sebagai suatu kebenaran.

Pengetahuan yang diperoleh melalui cara mystical bersumber pada orang yang mempunyai otoritas supra-natural antara lain paranormal dan para Nabi. Prosedur untuk memperoleh pengetahuan semacam ini bergantung pada karunia pribadi yang dimiliki oleh seseorang. Satu langkah dalam prosedur ini mempersyaratkan penyucian ritualistik.

Seperti hal authoritarian, kebenaran melalui cara mystical dapat membawa dampak besar bagi mereka yang meyakinkannya. Andai, orang-orang yang dipandang sebagai sumber kebenaran mystical hanya akan kehilangan wibawa dan tidak dipercayai apabila ditemukan bukti-bukti penyanggah yang cukup banyak.

Pengetahuan yang benar melalui cara logica-rational mengandalkan pada kemampuan nalar atau logika formal. Itu berarti, siapa pun dia dapat menjadi sumber pengetahuan yang benar asalkan didasarkan pada penalaran yang benar; pernyataan-empirik yang dibuatnya masuk akal, bernalar. Prosedur untuk memperoleh pengetahuan yang benar mengandalkan pada rules of formal logic. Untuk menyanggah kebenaran dari suatu pernyataan-empirik diperlukan bukti-bukti yang masuk akal pula.

Akhirnya pengetahuan ilmiah. Cara untuk memperoleh kebenaran secara ilmiah (scientific) bersumber pada siapa pun asalkan pernyataan yang dibuatnya didasarkan pada pengamatan empirik dan dengan menggunakan metode tertentu. Metode tersebut memanfaatkan assessment kolektif dan membuka peluang dilakukannya replikasi dari prosedur yang digunakan oleh orang yang bersangkutan. Cara ilmiah ini terbuka terhadap kritik ilmiah, dan pengetahuan ilmiah yang diperoleh akumulatif.

Sebenarnya ada kekeliruan dalam memahami ilmu. Ada muncul istilah ilmu umum dan ilmu agama. Kita tidak membahas kapan awal terjadinya dikhotomi ilmu. Tercatat dalam sejarah, dunia pendidikan Islam masa dinasti Abbasiyah merupakan puncak kejayaan ilmu dalam dunia Islam. Ketika itu, Eropa masih gelap dalam soal ilmu pengetahuan, sampai mereka mengutus para mahasiswanya untuk belajar ke Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah ketika itu.

Tak ada dikhotomi
Lalu, adakah dikhotomi ilmu menurut Islam? Merujuk pada Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw, sebenarnya sepengetahuan dari bacaan saya tidak diketemukan adanya pemisahan ilmu agama dan ilmu umum dalam Islam. Banyak orang salah atau keliru dalam memahami ilmu Islam. Seakan-akan Islam itu hanya tentang Nabi, hadith, fiqih, dan tafsir saja. Padahal Islam juga berbicara tentang sosiologi, antropologi, fisika dan beberapa keilmuwan lainnya.

Apabila hanya meyakini bahwa Islam hanya tentang ilmu tafsir, fiqih, dan hadis saja, berarti kita tidak meyakini ada ayat-ayat lain dalam Alquran yang berbicara berbagai ilmu lainnya untuk kemaslahatan manusia. Ini bisa keliru karena hanya meyakini beberapa ayat saja pada bagian keilmuwan. Jika ada demikian maka kepahaman terhadap Alquran belum sempurna. Semisal, Ibn Sina dan Al-Ghazali, mereka tidak membedakan kepada adanya istilah ilmu umum dan ilmu agama.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved