Breaking News

Lipsus

Kota Dingin pun ‘Membara’

MESKIPUN terkenal dengan julukan Kota Dingin, tidak lantas kehidupan keluarga di dataran tinggi tersebut adem

Editor: bakri
SERAMBI/MAHYADI
BERSIHKAN SAMPAH - Seorang anak perempuan ikut mengambil sampah di kawasan Pantai Menye, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah, Minggu (2/8/2015). Kegiatan pembersihan sampah tersebut digagas oleh Gayo Diving Club (GDC). SERAMBI/MAHYADI 

MESKIPUN terkenal dengan julukan Kota Dingin, tidak lantas kehidupan keluarga di dataran tinggi tersebut adem-adem saja. Seperti halnya juga kawasan lain, jumlah kasus perceraian di Aceh Tengah terus meningkat. Menurut Mahkamah Syar’iyah Aceh, Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Pidie, merupakan kabupaten yang dominan angka perceraian di Aceh.

Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab ratusan pasangan di daerah penghasil kopi itu, memilih untuk berpisah. Namun yang paling mendominasi, perceraian terjadi akibat tidak adanya keharmonisan antar pasangan dan tidak adanya saling tanggung jawab.

Data diperoleh Serambi dari Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Tengah, angka perceraian di daerah itu selama dua tahun terakhir meningkat. Ironisnya lagi, perkara perceraian yang paling banyak didaftarkan di Mahkamah Syar’iyah yaitu cerai gugat atau pihak istri yang menggugat cerai. Sepanjang tahun 2014 saja, terdapat 421 perkara perceraian dengan rincian 141 cerai talak dan 280 cerai gugat.

Bahkan di tahun 2015, angka perceraian meningkat beberapa persen. Tercatat, jumlah perkara perceraian yang terdaftar di tahun 2015 sebanyak 480 perkara dengan rincian 173 cerai talak dan 307 cerai gugat. “Memang cerai gugat lebih banyak jika dibandingkan dengan cerai talak. Artinya, pihak perempuan yang paling banyak menggugat cerai daripada laki-laki,” kata Wakil Ketua Mahmakamah Syar’iyah Aceh Tengah, Munir, kepada Serambi, Kamis (11/2).

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian pasangan nikah di daerah itu. Tahun 2014, terdapat 115 perkara peceraian lantaran tidak ada tanggung jawab dan 178 perkara disebabkan lantaran kurang harmonis dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Selain itu, ada juga faktor cacat biologis, 3 perkara, cemburu 1 perkara, ekonomi 3 perkara, nikah di bawah umur 1 perkara, serta gangguan pihak ketiga ada 4 perkara.

Begitu juga di tahun 2015, dari 480 perkara perceraian yang didaftarkan, faktor terbesar akibat kurang harmonisnya rumah tangga yang mencapai 306 perkara, sedangkan karena tidak bertanggung jawab ada 93 perkara. Krisis moral 1 perkara, penganiayaan berat 1 perkara, kekejaman mental 1 perkara, cemburu 1 perkara, kawin paksa 2 perkara, nikah di bawah umur 1 perkara, dan gangguan pihak ketiga ada 4 perkara.

Tingkat perceraian yang terjadi rata-rata pasangan yang umur pernikahannya belum berlangsung lama. Bahkan sebagian besar usia pernikahan antaran dua hingga lima tahun. “Ada juga pasangan yang baru menikah beberapa bulan, sudah bercerai. Ya, penyebab terbanyaknya karena kurang harmonis dan tidak bertanggung jawab,” papar Munir.

Lebih jauh dijelaskan, pasangan yang memilih berpisah karena faktor tidak bertanggung jawab, biasanya terkait dengan penelantaran anak maupun istri. Bahkan sebagian mengaku tidak diberikan nafkah lahir maupun batin sehingga berujung pada perceraian. “Ada juga karena tidak harmonis. Ya, penyebabnya tentu bermacam-macam,” jelas Munir.

Tingkat perceraian rumah tangga di Kabupaten Aceh Tengah, diperkirakan masih cukup tinggi di Provinsi Aceh. Untuk itu, sebut Munir, perlu kembali dilakukan sosiliasasi serta peran pemerintah sehingga angka perceraian rumah tangga bisa dikurangi untuk ke depannya.

“Jadi perlu peran semua pihak untuk mengurangi angka perceraian ini. Mulai dari bimbingan nikah, peran imam kampung serta penyuluhan harus lebih ditingkatkan,” saran Munir.

Sementara Mahkamah Syar’iyah Sigli mencatat kasus ditangani selama periode Januari - Desember 2015 mencapai 331 kasus perceraian. Seperti juga sejumlah daerah yang lain, yang paling dominan adalah kasus istri menggugat cerai (fasah). “Faktor masih dominan istri menggugat cerai karena ekonomi,” kata Badriah SH, Panitera Mahkamah Syar’iyah Sigli kepada Serambi, Selasa (9/2).

Disebutkan, dari 687 kasus yang masuk, paling tinggi cerai gugat mencapai 255 kasus sedangkan cerai talak (suami menggugat cerai istri) lebih rendah, yakni 76 kasus selama tahun 2015.

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, faktor paling dominan istri minta cerai adalah faktor ekonomi. Biaya hidup tak mampu dipenuhi, lantaran istri tak diberikan nafkah berbulan-bulan.

Selain itu, ada pula faktor lain penyebab istri minta cerai, yakni karena kekerasan dalam rumah tangga. “Ada pula faktor perselingkuhan,” kata dia.

Jika pada tahun 2014 cuma 500-an kasus, di tahun 2015 lebih banyak lagi perkara yang disidangkan. “Kita sarankan agar pasangan berdamai jangan bercerai. Tapi tidak semuanya bisa menempuh damai, mereka tetap menempuh jalur untuk bercerai,” katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Korban Nova Buat Halaman di Facebook

 

Mengintip Proyek Masjid Raya

 

Realisasi Fisik 55 Persen

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved