Opini
‘Orang Dalam’
SHALAT jarang. Ngaji apalagi. Sedekah kalau ingat. Cita-cita ingin masuk surga. Memang situ punya “orang dalam?” Bunyi
Oleh Asmaul Husna
SHALAT jarang. Ngaji apalagi. Sedekah kalau ingat. Cita-cita ingin masuk surga. Memang situ punya “orang dalam?” Bunyi sebuah meme dengan kalimat menggelitik yang saya baca di sosial media. Perumpamaan bisa masuk surga melalui “orang dalam” tersebut adalah sindiran satir atas realitas yang terjadi selama ini. Karena tidak ada asap tanpa api. Meme tersebut tidak akan muncul jika tidak mewakili keadaan yang sebenarnya.
Istilah “orang dalam” sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Yang dipahami publik, “orang dalam” adalah istilah yang digunakan kepada orang yang menjadi perantara dan dianggap bisa “memudahkan” urusan. Orang-orang tersebut bisa dari kerabat keluarga, tetangga, atau pun relasi yang dikenal dekat, dan “dipercaya” bisa dan mempunyai kapasitas untuk memudahkan suatu urusan.
Penggunaan jasa “orang dalam” biasanya saat penentuan lulus atau tidaknya ketika melamar pekerjaan atau pun dalam hal pelayanan publik. Misal, ketika melamar kerja di suatu perusahaan dan di tempat tersebut ada “orang dalam,” maka kemungkinan untuk bisa diterima kerja akan lebih besar berkat rekomendasi orang tersebut.
Cerita tentang peran “orang dalam” untuk memudahkan urusan, memang bukan kisah baru. Fenomena ini sudah menjamur dan seolah dianggap seperti sebuah hal yang lumrah. Dalam hal pekerjaan misalnya. Untuk bisa diterima kerja dan mendapat posisi tertentu, saat ini tumpukan titel dan bagus atau tidaknya nilai tes ujian tidak lagi menjadi faktor penentu kelulusan. Malah peran “orang dalam” kini dipercaya lebih punya pengaruh.
‘Anak titipan’
Saya tidak sedang mengarang cerita. Baru-baru ini, teman saya menceritakan bagaimana ia harus tergeser dari posisi kelulusan kerjanya, padahal ia memenuhi persyaratan dan lulus dengan nilai memuaskan. Selidik punya selidik, ternyata sudah ada nama-nama lulus yang merupakan “anak titipan” dari petinggi-petinggi di institusi tersebut. Dan ajaibnya, mereka lulus tanpa harus melalui rangkaian tes kerja yang memusingkan kepala itu. Ini zaman sudah edan. Kalau tidak ikut edan, tidak kebagian. Begitulah pembelaan orang-orang.
Perlakuan seperti itu tentu sangat mengecewakan. Ini tidak hanya tentang kejujuran, tapi juga ketidakadilan. Institusi tersebut mungkin memang membuka perekrutan secara terbuka. Informasi disebar luaskan. Orang pun berbondong-bondong mengirim surat lamaran kerja dengan harapan bisa menempati posisi tersebut sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
Namun sayang, ada drama di balik itu semua. Ada banyak agenda setting di dalamnya. Perekrutan tenaga kerja yang ‘“dianggap” terjadi secara terbuka itu pun ternyata hanya ceremony belaka. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa lembaga atau institusi tersebut memang telah melaksanakan perekrutan secara terbuka sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Saya cukup kecewa mendengar cerita teman tersebut. Jika memang sudah ada nama-nama yang harus lulus, untuk apa perekrutan itu dilakukan. Itu hanya akan membuat lelah dan kecewa banyak orang. Sudah belajar keras untuk bisa lulus rangkaian tes, tapi harus tergeser oleh orang-orang yang bahkan sama sekali tidak ikut tes. Fenomena dan peran “orang dalam” tersebut telah menggeser orang-orang yang pantas dan mengubur kejujuran.
Setali tiga uang dengan “orang dalam”, aksi sogok-menyogok pun berperan besar dalam proses mulus-tidaknya sebuah urusan. Dalam perekrutan pegawai misalnya. Muncul asumsi di masyarakat bahwa jangan bermimpi menjadi PNS jika tidak melalui proses sogok-menyogok. Puluhan juta pun harus melayang jika memang ingin lulus pekerjaan yang dianggap “menjanjikan” oleh banyak masyarakat itu. Walau banyak juga yang menjadi korban penipuan.
Setelah tertipu, apa yang dilakukan? Mereka kemudian melaporkannya ke polisi dan seolah merasa menjadi korban yang paling dirugikan. Di satu sisi memang mereka terlihat sebagai korban penipuan. Namun di sisi lain, sikap tersebut malah mengumumkan bahwa mereka adalah orang-orang dengan kualitas jujur yang rendah. Media massa meliputnya. Mereka seolah adalah orang yang perlu mendapat simpati karena telah menjadi korban penipuan. Padahal jelas sekali, mereka adalah bagian dari orang-orang yang merancang penipuan itu sendiri. Ya, penipuan kelulusan.
“Menolong” adalah alasan yang kerap digunakan. Tetapi menolong seseorang dengan cara yang tidak pantas bukanlah bentuk pertolongan. Karena pertolongan tersebut bisa menyengsarakan orang lain yang seharusnya lebih berhak atas pertolongan itu sendiri. Kita dengan mudah melihat fenomena “orang dalam” itu dibanyak tempat. Misalnya mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Choisiyah, yang berhasil membangun dinastinya di semua ruang lingkup pemerintahan di wilayah kuasanya. Nepotisme besar-besaran terjadi.
Bukan cerita baru
Maka bukan cerita baru jika hari ini kita juga mendengar kisah serupa seperti Ratu Atut yang berhasil membangun “dinastinya”. Di banyak instansi, kita akan melihat fenomena “orang dalam” tersebut. Jika seorang suami yang menjadi pimpinannya, maka kemungkinan kita juga akan mendapati istri, anak, menantu, atau pun keponakannya juga berada di instansi yang sama. Jika pun tidak di tempat yang sama, lingkaran kerabatnya akan mudah mendapat posisi jika mendapat rekomendasi dari orang yang memiliki kuasa tersebut.
Tidak ada salahnya jika seseorang mempunyai “orang dalam” untuk mendapatkan posisi tertentu dalam pekerjaan, tapi pastikan itu adalah perusahaan pribadi, milik keluarga, bukan instansi pemerintahan. Dan jika pun milik pemerintah, maka pastikan orang tersebut harus mengikuti prosedur perekrutan yang berlaku secara jujur dan tentu saja memiliki kapasitas untuk menduduki posisi tersebut.
Memang tidak selamanya istilah “orang dalam” merujuk makna negatif. Misal, seseorang ingin berkunjung ke suatu tempat, tapi tidak tahu jalannya. Kebetulan ada temannya yang berdomisili tersebut dan tahu alamat yang dimaksud lalu dia menawarkan diri untuk mengantarnya. Dalam hal ini, istilah “orang dalam” masih merujuk makna positif sebab tidak ada yang merasa dirugikan. Jika konteksnya demikian, maka menjadi “orang dalam” seperti itu sangat dianjurkan.
Munculnya asumsi bahwa jangan berharap banyak jika tak punya “orang dalam”, memang telah mengakar kuat. Tapi percayalah, kesempatan baik bagi orang-orang yang memilih untuk jujur itu tetap ada. Karena jika tidak, maka meme di kalimat pembuka di atas mungkin menjadi benar adanya. Hanya keluarga Nabi yang akan masuk surga. Karena Nabi sebagai hamba pilihan Allah sekaligus “orang dalam”, tentu mempunyai posisi tawar yang kuat di mata Tuhan.
Sisanya? Tinggallah manusia-manusia dalam ratapan panjang. Maka bersyukurlah, di surga tidak demikian. Semoga di dunia cerita kurang sedap mengenai “orang dalam” juga segera khatam.
Asmaul Husna, alumnus FISIP Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, pegiat di Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU) dan Panteu Menulis Pasee. Email: hasmaul64@yahoo.com