Opini
Tausiah bagi Jamaah Haji
HAJI, yaitu mengunjungi Baitullah di Mekkah al-Mukarramah, Arab Saudi, untuk melakukan thawaf,
Oleh Abdul Gani Isa
“... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)
HAJI, yaitu mengunjungi Baitullah di Mekkah al-Mukarramah, Arab Saudi, untuk melakukan thawaf, sa’i dan wukuf di Arafah. Kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi orang Islam yang mampu, disebut juga dengan istitha’a, sesuai isyarat Alquran “walillahi 'alannasi hijjul baiti manistata’a ilaihi sabila.” (QS. Ali Imran: 97). Istitha’a mencakup kemampuan biaya, sehat jasmani dan rohani, aman dalam perjalanan dan memiliki bekal ilmu manasik. Karena beratnya ibadah yang dilakukan, maka haji juga disebut dengan jihad maksudnya diperlukan kesungguhan dari setiap orang yang berhaji. Rasulullah saw juga mengimbau umat Islam untuk melakukan safar kepada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, masjidku (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha di Palestina.
Ketiga masjid tersebut, memiliki keutamaan masing-masing: Barang siapa shalat di Masjidil Haram, mendapat kebaikan atau pahala seratus ribu kali; Barang siapa yang shalat di masjid Nabawi mendapat pahala seribu kali; Demikian juga yang melakukan shalat di Masjidil Aqsha memperoleh pahala limaratus kali. Tidaklah berlebihan, bila dikatakan safar untuk haji merupakan rihlah muqaddasah (perjalanan suci). Perjalanan haji tidaklah sama dengan rekreasi, tour atau wisata biasa, tetapi perjalanan suci untuk menemukan fitrah dirinya, di hadapan Zat Yang Mahasuci, yaitu Allah Swt. Untuk itu pula biaya haji harus suci/bersih, niatnya ikhlas semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt, yang akhirnya meraih haji mabrur.
Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam yang tahun ini berkesempatan dan diberi kemudahan oleh Allah menunaikan Rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji. Kebahagiaan di sini dimaksudkan, dengan niat dan cita-cita yang tulus, sekalipun merasa dirinya kurang mampu, tapi bisa sampai ke rumah Allah (Baitullah). Sebaliknya, banyak pula orang kaya, memiliki kekayaan lebih, dan berkecukupan (istitha’a), namun belum tergerak hati dan niatnya untuk berangkat haji. Ketika kepadanya ditanyakan, mengapa belum berhaji, jawaban polos, belum ada panggilan Nabiyullah Ibrahim as.
Agar ibadah diterima
Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh para jamaah caloh haji (JCH) agar ibadahnya diterima (menjadi haji mabrur), antara lain: Pertama, niat ikhlas. Kesempurnaan ibadah tentu tidak bisa lepas dari sebuah prosesi awalnya, yaitu niat yang ikhlas. Rasulullah saw mengatakan, “innamal a’malu binniyati...” Hanya sanya suatu amal ada karena niatnya (HR. Bukhari dan Muslim). Tanpa niat maka amalan itu sia-sia. Niat itupun harus ikhlas, semata-mata mengharapkan ridha Allah, Rasululullah saw mengatakan dalam sebuah hadis qudsi, “al-ikhlashu sirrun min sirri istauda’at qalbahu man ahbabtu ilayya” (ikhlas sebuah rahasia dari rahasiaku, ditempatkan di dalam hati bagi siapa yang mencintai Aku).
Ikhlas memberi makna “ridha Allah”, semata-mata ber-taqarrub kepada-Nya. Ikhlas itu pula yang membuat seseorang tenang dan tidak merasa berat dalam setiap tugas dan amaliahnya. Dalam ungkapan bahasa Aceh disebutkan, “Beuget niet dengan qashad, pebuet ibadah hati nyang suci. Keudeh u Makkah laju tujuan penuhi panggilan Allah Ta’ala”.
Kedua, jauhi riya, bid’ah dan syirik. Riya identik dengan pamer, ingin dipuji orang. Rasulullah saw menjelaskan bahwa riya termasuk syirik khafi. Sifat ini sangat ditakutinya karena disadari atau tidak banyak umatnya digandrungi syirik khafi, karena riya. Selain riya juga perlu dihindari bid’ah, yaitu menambah-nambah dalam ibadah yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah saw.
Mengerjakan sesuatu yang tidak ada nashnya berdampak kepada dua hal, yaitu: Pertama, bid’ah dan Kedua, merusak akidah. Bid’ah karena kita menambah-nambah waktu dan tempat beribadah seperti shalat sunat di Jabal Nur, Jabal Tsur, dan Jabal Rahmah. Sedangkan bisa merusak akidah karena beranggapan tempat itu berkah.
Selain itu juga perlu menjaga jangan sampai amaliahnya menjurus kepada syirik. Seperti meyakini dengan mencium Hajarul Aswad misalnya, akan menjadi saksi di akhirat nanti. Berkaitan dengan ini, Umar bin Khattab pernah mengucapkan, sebenarnya engkau hanya sebuah batu hitam biasa, karena Nabi menciummu, maka kau kucium. Begitu juga melempar jamarat, jangan anggap bahwa anda melempar setan. Anda hanya melempar tiang (jumrah), karena begitulah yang dituntun Rasulullah saw.
Ketiga, saling membantu (ta’awun). Saling membantu di antara sesama jamaah, tanpa harus menunggu diminta, seperti membawa barangnya, membawanya ke rumah sakit, atau menjenguknya di rumah sakit, mencari alamatnya ketika sesat jalan, memberikan tempat yang mudah dijangkau terutama bagi jamaah yang tua dan ‘uzur. Yakinlah semakin sering membantu orang lain di tanah suci, semakin Allah mudahkan bagi dirinya.
Keempat, fokuskan dalam ibadah. Usahakan setiap diri lebih banyak di masjid daripada di pasar. Selalu shalat berjamaah baik di Madinah maupun ketika berada di Mekkah, isi waktu lowong dengan membaca Alquran, berzikir dan lainnya. Usahakan pula berdoa terutama pada tempat-tempat mustajabah doa.
Kelima, selalu bersikap sabar. Sabar sesuatu yang sulit, tapi dengan sikap sabar semua aktivitas menjadi indah. Sabar dengan keluarga sendiri, sabar dengan sesama jamaah, sabar menunggu waktu, sabar dalam menjalankan ibadah, sabar bila pemondokan agak jauh dengan masjid dan seumpamanya. Jangan melakukan jidal, rafats, dan fusuq, karena semua itu dapat mengurangi bahkan menghilangkan pahala ibadah.
Dosa terampuni
“Man hajja falam yarfats wa lam yafsuq raja’a kayaumin waladadhu ummuhu”, Barang siapa melaksanakan ibadah haji dan tidak melakukan perbuatan rafats atau mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi atau bersetubuh, dan tidak berbuat fasiq (kedurhakaan), maka ia pulang (setelah melaksanakan ibadah haji) seperti saat ia dilahirkan (dari rahim) ibunya (suci tidak berdosa) (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini merupakan penegasan firman Allah Swt, “Siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. al-Baqarah: 197).
Rafats dalam ayat ini dimaksudkan: (a) tidak melakukan jimak dengan isterinya, ketika ia dalam keadaan berihram baik ihram untuk umrah maupun haji; (b) tidak lagi berkata kotor terhadap teman-temannya atau sesama jamaah. Sedangkan dimaksud dengan fasiq adalah khuruj ‘anil haq (keluar dari kebenaran) dan khuruj ‘anil millah (keluar dari agama). Di samping itu juga tidak melakukan jidal atau pertengkaran sesama jamaah.