Opini

Fakir Demokrasi

DI tengah gemerlap dan glamournya kehidupan kota, selalu saja ada kaum bawah yang belum tersentuh kesejahteraan

Editor: hasyim
SERAMBINEWS.COM/IDRIS ISMAIL
Janda miskin asal Gampong Hasan Kumbang, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, Nurliah (42), Minggu (21/9/2014) mengamati gubuk reot yang telah ditempati selama 14 tahun. Gubuk reoat tersebut semakin memprihatinkan. 

Oleh Nasrul Azwar Abubakar

DI tengah gemerlap dan glamournya kehidupan kota, selalu saja ada kaum bawah yang belum tersentuh kesejahteraan. Katakanlah “kasta” terendah yang belum tersentuh kesejahteraan itu adalah si fakir yang untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri saja tidak sanggup, apalagi untuk membantu orang lain. Dalam terminologi agama, istilah fakir adalah satu mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat).

Kita bisa memberi banyak saat punya kelebihan. Dan kita hanya bisa menerima saja (bahkan meminta) tanpa punya daya memberi saat dalam kondisi fakir. Aceh dalam sejarah kemerdekaan Indonesia diakui telah memberi banyak. Pesawat RI 001 dan RI 002 serta sumbangsih lainnya yang diberikan untuk kemerdekaan Republik.

Tak hanya materi dan semangat perjuangan, secara sistem tatanan sosial Aceh juga (pernah) kaya. Kita tahu bagaimana tatanan sosial masyarakat Aceh masa Sultan Iskandar Muda masih tetap dielu-elukan hingga kini. Dalam perkembangannya, gerak perubahan sosial terus terjadi. Dunia mulai mengenal demokrasi, hal yang sebelumnya belum dikenal oleh masyarakat Nusantara.

Demokrasi tak lagi hanya sebatas polis di Yunani, tapi demokrasi telah menjadi tuntutan global. Bahkan Negara yang oleh sebagian orang mungkin tidak akan disebut Negara demokrasi ternyata juga mempunyai embel-embel demokrasi di nama negaranya. Sebut saja, Democratic People’s Republic of Korea (nama resmi Korea Utara), sampai-sampai dalam studi ilmu politik kitapun juga mulai mengenal istilah demokrasi komunis, demokrasi sosialis, dan seterusnya.

Demokrasi adalah kata yang tentu sudah familiar kita dengar di Aceh saat ini. Apalagi menjelang perhelatan demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Februari 2017 mendatang. Demokrasi begitu dielu-elukan. Semua orang membicarakan demokrasi. Semua pihak menuntut pilkada yang demokratis. Tak terkecuali peserta pemilihan kepala daerah di Aceh.

Pemerintahan demokratis
Pada 2005 silam, sebenarnya para pihak dalam mengakhiri konflik Aceh yang berkepanjangan telah sepakat untuk menciptakan pemerintahan rakyat Aceh yang demokratis dan adil. “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”.

Begitulah adanya satu kalimat dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 silam di Helsinki, Finlandia. Dengan menggaris-bawahi kata demokratis dalam kalimat tersebut, kita bisa memaknai bahwa kondisi demokrasi yang baik bagi Aceh adalah satu semangat yang ingin diwujudkan para pihak dalam kesepakatan damai itu.

Lalu, sejauh mana sudah upaya “demokratisasi” Aceh itu berjalan? Mari kita lihat sejenak apa yang paling sering dibicarakan di Aceh terkait Pilkada 2017 mendatang. Kegelisahan terhadap kekerasan pilkada dari para calon tampak nyata adanya, meskipun sebagian berusaha disembunyikan dengan menebar semangat positif bahwa Pilkada Aceh akan aman dan damai-damai saja. Namun, tentu saja rentetan peristiwa yang pernah terjadi pada pemilu sebelumnya (tanpa maksud menimbulkan ketakutan) patut menjadi pembelajaran.

Tentu saja iklim demokrasi yang penuh intimidasi, teror, ketidakbebasan dalam mengemukakan pendapat adalah bertentangan dengan semangat demokrasi. Aceh “fakir demokrasi”. Mulai dari pro-kontra tambahan pasukan untuk pengamanan pilkada datang ke Aceh, pilkada tanpa kekerasan dan intimidasi, pilkada damai hingga pilkada halal adalah hal-hal yang kerap disuarakan guna menolak terjadinya pilkada yang tidak demokratis.

Saking fakirnya demokrasi Aceh, proses Pilkada Aceh menjadi fokus serius pemerintah pusat dengan tingkat kerawanan pilkada yang tinggi bersama Papua, sebagaimana diungkapkan Menko Polhukam, Wiranto (Tempo, 30/8/2016). Dan ternyata adanya partai politik (parpol) berbasis lokal sebagai satu instrumen demokrasi tidak serta-merta membuat Aceh menjadi “kaya demokrasi”.

Untuk bisa lepas dari “kefakirannya” akan demokrasi saat ini, Aceh tentu harus bebas dari segala bentuk kekerasan dan intimidasi menjelang pemilu. Dan ini pulalah yang memang sering disuarakan oleh elite Aceh. Walaupun memang belum begitu terasa ke tingkat bawah. Tapi tentu para elite harus mencontohkan yang terbaik.

Statemen elite yang disajikan lebih santun, syahdu dan senantiasa menenangkan sangat dibutuhkan untuk memantapkan ketentraman dan kedamaian. Sebab ada istilah mengatakan “ayah kencing berdiri, anak kencing berlari”. Oleh karenanya peranan elite sangat amat penting dalam menjaga ketentraman dan prilaku pendukung di tingkat bawah. Apalagi di pilkada kali ini eskalasi persaingan para calon dari eks GAM masih terasa begitu kental.

Harus dihidupkan
Untuk mewujudkan iklim sosial politik di Aceh yang kaya akan demokrasi. Maka instrumen-instrumen demokrasi itu juga harus dihidupkan, di antaranya adalah parpol. Satu dari fungsi parpol menurut Miriam Budiarjo adalah sebagai sarana pengatur konflik. Sekarang kita lihat banyak konflik terkait pilkada melibatkan simpatisan calon atau parpol. Oleh karenanya, penting bagi partai politik untuk mengendalikan dan menghindari konflik sampai ke tingkat bawah untuk kemajuan demokrasi Aceh.

Kemudian bagaimana proses menjadi kaya demokrasi itu akan berlangsung? Ketika demokrasi mengglobal ia bukanlah menjadi konsep baku yang harus diterima mentah-mentah oleh setiap bangsa. Namun ia dinamis, berkembang sesuai budaya politik dan keadaan yang ada pada suatu bangsa. Demokrasi ala polis (Negara kota di Yunani) tentu tidak akan bisa diterapkan di Negara besar seperti Indonesia.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved