Opini

Ulang Tahun dan Maulid Nabi

“MAULID itu apa?” tanya keponakan saya suatu hari. “Maulid itu perayaan ulang tahun Nabi,” jawab saya.

Editor: bakri

Oleh Asmaul Husna

“MAULID itu apa?” tanya keponakan saya suatu hari. “Maulid itu perayaan ulang tahun Nabi,” jawab saya. “Eh, ya? Mana orangnya? Dek Aya belum kasih kado (terlihat ekspresinya yang sedikit gelisah karena belum menyiapkan kado untuk yang berulang tahun). Saya sedikit tersentak dengan pertanyaannya itu. Lalu sambil tersenyum saya jawab: “Cukup hadiahkan shalawat Nak.” Dia pun kemudian tersenyum-senyum dengan ekspresi kebingungan.

Paragraf di atas adalah penggalan percakapan saya dengan keponakan yang baru berumur empat tahun ketika perayaan hari maulid. Ia bingung kenapa hari itu orang ramai-ramai ke meunasah (surau) atau mesjid sambil membawa bungkusan nasi. Ia juga bingung kenapa ia dibawa pulang ke rumah kakek-neneknya (orang tua saya) dan lainnya juga ikut ramai pulang padahal belum hari raya.

Tidak bisa ditampik bahwa perayaan ulang tahun saat ini identik dengan kue, balon, bernyanyi, kado, dan tiup lilin. Ini fenomena yang menjangkiti banyak kalangan. Belum lagi sebagian anak muda yang merayakannya dengan saling lempar telur dan tepung, muka dibalurin kue, atau diceburin ke kolam. Banyak yang menganggap perayaan yang demikian adalah bagian dari kekinian. Tidak tiup lilin rasanya tidak sah bertambah usia.

Padahal jika merujuk pada sejarah, awal mula tradisi tiup lilin itu berasal dari Yunani yang memberikan persembahan kepada Artemis (Dewi Bulan), berupa kue yang di atasnya diberi lilin. Ini dilakukan karena mereka percaya bahwa asap dari lilin tersebut akan membawa pengharapan mereka ke surga. Maka dari itu, banyak hari ini yang berdoa sebelum meniup lilin, karena percaya bahwa meniup lilin dalam satu hembusan akan membawa nasib baik.

Fenomena inilah yang selama ini keliru dipahami oleh banyak muslim. Seolah merayakan ulang tahun dengan potret di atas dianggap kekinian. Padahal dalam Islam tidak ada kaitan antara doa hamba kepada Allah yang menjadikan api sebagai perantara.

Tak hanya itu, satu doa yang dipanjatkan ketika ulang tahun adalah minta dipanjangkan umur. Saya pikir doa seperti ini juga perlu ditambah kalimat ujungnya: panjangkanlah umur taatnya. Jangan berdoa setengah-setengah. Karena untuk apa panjang umur kalau tidak ada perbaikan diri dalam ibadah atau hanya jadi penyakit sosial bagi masyarakat.

Tanda sukacita
Lalu bagaimana dengan perayaan Maulid? Pada dasarnya Maulid Nabi dirayakan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan penghormatan atas lahirnya junjungan alam, Nabi Muhammad saw. Bahkan saat itu, semesta alam bertasbih menyambut kelahiran beliau. Tanda sukacita yang mendalam atas lahirnya pembawa cahaya bagi kehidupan.

Di Aceh sendiri, perayaan Maulid Nabi selalu istimewa. Selama hampir tiga bulan lebih yaitu pada Rabbiul Awal dan Rabbiul Akhir, Maulid dirayakan di berbagai kampung di Aceh. Mesjid dan meunasah dipenuhi oleh anak-anak muda yang berzikir dan bershalawat. Semua terlihat bergembira. Mungkin Nabi Muhammad hanya satu-satunya manusia yang dirayakan ulang tahunnya bahkan ketika beliau sudah meninggal berabad tahun lalu lamanya dan akan tetap dilanjutkan oleh generasi ke depannya.

Di keluarga saya sendiri (dan mungkin sebagian keluarga lainnya), Maulid Nabi adalah satu-satunya acara ulang tahun yang dirayakan. Dipersiapkan jauh-jauh hari. Mulai dari menyiapkan ayam kampung yang berkualitas hingga meminta semua anak, menantu, dan cucunya untuk pulang ke rumah merayakan Maulid Nabi. Tidak ada tradisi ulang tahun lainnya. Bahkan dari kami terkadang malah lupa dengan ulang tahunnya sendiri.

Apalagi para orangtua yang punya kebiasaan mengaitkan tahun lahir dengan suatu peristiwa. Misal anaknya lahir berbarengan dengan masa DOM, krisis moneter, atau disebayakan dengan pohon kelapa yang ditanam oleh kakek di sudut halaman rumah. Tidak banyak orangtua yang ingat kapan tepat tanggal lahir anaknya jika tidak melihat catatan, apalagi tanggal lahirnya sendiri.

Namun ada satu hal yang selalu diingat dan dipastikan oleh para orangtua bahwa anak-anaknya harus ingat hari kelahiran nabinya. Dengan merayakannya setiap tahun ada satu pesan yang ingin disampaikan bahwa penting untuk menjaga tradisi tersebut. Tidak akan berkurang rezekimu karena berkenduri untuk orang yang bershalawat kepada Nabi. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa malaikat pun tidak tahu berapa banyaknya pahala yang Allah berikan untuk orang-orang yang bershalawat kepada Nabi Muhammad.

Tidak hanya itu, bahkan satu riwayat lain juga menyebutkan bahwa paman Nabi, Abu Lahab, setiap 12 Rabiul Awal diringankan siksanya oleh Allah di neraka, karena memerdekakan budaknya Tsuwaibah Islamiah sebagai wujud gembiranya atas kelahiran Rasulullah saw.

Maka rasanya kurang santun jika menyebutkan: untuk apa kenduri Maulid, shalat saja tidak. Karena janji Allah, tidak ada kebaikan yang sia-sia. Bahkan dalam salah satu ceramah yang saya dengar, ustaznya sambil berseloroh menyebutkan: kalau Anda sadar diri malas shalat ataupun ibadah lainnya, perbanyaklah kenduri maulid. Minimal setiap malam 12 Rabbiul Awal, Allah akan meringankan siksa Anda seperti yang diberikan kepada Abu Lahab.

Cinta Rasul
Walau demikian, bukan berarti merayakan maulid bisa menggugurkan kewajiban shalat dan lainnya. Tidak. Karena selain Maulid, sungguh banyak sunnah Nabi yang harus dijalankan sebagai bukti cinta kepada beliau, Rasulullah saw. Namun tulisan ini bukan untuk memperdebatkan apakah merayakan Maulid Nabi itu bid’ah atau tidak.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved