Opini
Ulang Tahun dan Maulid Nabi
“MAULID itu apa?” tanya keponakan saya suatu hari. “Maulid itu perayaan ulang tahun Nabi,” jawab saya.
Merayakan atau tidak, itu dikembalikan kepada masing-masing individu. Yang mau merayakan silahkan, yang tidak juga tidak ada pemaksaan. Tetapi tentang fenomena perayaan ulang tahun hari ini, saya memang belum menemukan satu hadis pun yang men-sunnah-kan tiup lilin, balurin diri dengan kue dan tepung, ataupun bernyanyi.
Praktik ulang tahun seperti itulah yang perlu diluruskan. Fenomena itu seolah telah diaminkan dan menjadi budaya yang keren, serta perlu dilestarikan. Terutama di kalangan anak muda. Ini trend sekali. Kue ulang tahun yang bertengger lilin angka usia di atasnya.
Memejamkan mata sambil berdoa sebelum meniupkan apinya. Tak lupa moment tersebut diabadikan, lalu posting di sosial media. Maka sahlah pertambahan usia dengan penuh bahagia. Lalu bagaimana dengan anak-anak? Mereka kehilangan keteladanan. Sebagian orang tua merayakan ulang tahun anaknya dengan ritual demikian sebagai rutinitas tahunan.
Namun jika perayaan ulang tahunnya dengan memberi makan fakir miskin atau sedekah untuk anak yatim, saya pikir itu tidak jadi masalah. Maka penting untuk memberi pemahaman yang baik dan contoh yang benar kepada anak-anak. Apalagi di bulan Maulid seperti ini, maka menjadi momentum yang baik untuk mengajarkan mereka akan arti cinta Nabi. Mengajak mereka bershalawat sebagai bukti cinta pada kekasih Tuhannya.
Salam cinta untukmu Rasulullah. Sallahu’ala Muhammad. Sallahu’alaihi wasallam.
* Asmaul Husna, alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe dan pegiat di Komunitas Panteu Menulis Pasee. Email: hasmaul64@yahoo.com