Opini
Cut Meutia di Mata Uang Baru
PEMERINTAH Indonesia melucurkan uang baru melalui Bank Indonesia (BI) pada Senin (19/12/2016) sebagai satu alat tukar yang sah
Oleh Muhammad Alaidin Johan Syah
PEMERINTAH Indonesia melucurkan uang baru melalui Bank Indonesia (BI) pada Senin (19/12/2016) sebagai satu alat tukar yang sah. Sebanyak 12 pahlawan Nasional dari berbagai penjuru Nusantara, dinobatkan sebagai sosok pejuang Indonesia yang layak disematkan dalam cetakan uang kertas terbaru dengan tampilan baru yang supermodif dan sarat daya tarik.
Dari sederet pahlawan yang bisa dikategorikan sebagai pemenang dalam pemilihan tokoh pejuang untuk muncul di mata uang terbaru, ada sosok wanita yang sangat masyhur dikenal luas oleh rakyat Indoensia, yakni Cut Meutia. Tokoh sekaliber Cut Meutia hampir tak dijumpai berjuang pada era 1900-an di wilayah lain di Indonesia.
Aceh sejak masa kesultanan memang banyak mencetak kader pejuang wanita yang gagah berani, tak kalah dengan kaum laki-laki seperti Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati. Bahkan Sri Ratu Safiatuddin dan Nurul ‘Ala yang memang punya pengaruh besar di Aceh tempo doeloe.
Menjadi viral
Terpampangnya gambar Cut Meutia di uang kertas pecahan Rp 1.000 menuai banyak respons dari masyarakat. Terutama “penduduk dunia maya” yang selalu bergelantungan di media sosial. Seyogianya tanggapan bebas itu tak perlu terjadi di ranah publik, sebab pihak yang berwenang mengedarkan uang baru (Bank Indonesia) telah berkonsultasi dengan ahli waris yang juga keturunan Cut Meutia.
Jauh sebelum percetakan uang berbentuk kecil itu telah dilakukan kajian walau tak terlalu detail. Dan pihak ahli waris seperti tidak menaruh rasa keberatan atas sikap BI untuk mecantumkan gambar Cut Meutia di uang kertas pecahan. Bahkan seakan mendapat rekomendasi khusus untuk tetap memamerkan wajah Cut Mutia tanpa hijab.
Nah, yang membuat masyarakat kecewa, khusus rakyat Aceh adalah penampilan foto Cut Meutia yang viral dan jauh dari fashion islami. Berbagai cibiran membanjiri media sosial atas ketidaksenangan mereka terhadap sikap pemerintah yang melegalkan gambar Cut Meutia tanpa kerudung. Padahal sosok Cut Meutia di samping bergerilya bersama suaminya Teuku Muhammad/Ampon Chik Tunoeng, beliau juga merangkap sebagai wanita muslimah yang taat menjalakan perintah agama.
Perjuangan Aceh sejak masa kerajaan sampai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlandaskan jihad fi sabilillah atau prang sabi, memperjuangkan syariat Islam (walau segelintir orang menilai perjuangan GAM bukan atas dasar agama). Tidak ada yang naik gunung dari kalangan wanita tanpa berhijab. Peperangan Cut Meutia melawan Belanda atas dasar agama, jadi tak ada alasan Cut Meutia berperangan tanpa hijab. Kalau pun ada mungkin karena kondisi “darurat” dalam “masa genting”.
Merujuk pada gambar di uang terbaru beberapa hari lalu, sepertinya gaya Cut Meutia dalam posisi aman, tanpa keterpaksaan. Artinya, beliau seperti men-setting gaya selfie agar hasilnya mantap. Jadi sangat tidak mungkin foto yang dikhususkan sedemikian indah, tapi tak berhijab. Tentu ini ada penyelewangan pencatatan sejarah, atau ada pihak yang ingin memudarkan nasib sejarah Aceh, terutama mereka pahlawan wanita.
Sebelum Cut Meutia, Cut Nyak Dhien juga pernah muncul pada mata uang Rp 10.000 yang dicetak pada 1998. Namun kemunculan Cut Nyak Dhien yang juga tanpa hijab, tidak menuai kritikan setajam saat Cut Meutia diletakkan di mata uang kertas pecahan Rp 1.000 baru-baru ini.
Bisa dimaklumi kala itu belum ada media sosial seheboh sekarang. Tapi masa pemilihan Cut Meutia sebagai pahlawan yang tampil di mata uang telah banyak medsos yang beredar dan digunakan masyarakat, bahkan sampai ke pelosok desa sekalipun. Media sosial tak diragukan sebagai ladang tercepat berkembang informasi dalam tatanan hidup masyarakat.
Lebih dari itu, media sosial menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan kritikan mereka terhadap kebijakan pemerintah. Tak heran aksi demo 212 mampu mengumpulkan jutaan umat Islam seantero Nusantara, disebabkan pengaruh media sosial. Di sisi lain perlu diakui, pada masa pencatutan gambar Cut Nyak Dhien di mata uang, saat itu kaum terpelajar di Aceh masih terbatas hingga tak mampu bersuara seheboh sekarang.
Unsur syariat
Setiap kali pemerintah pusat ingin berbicara tentang Aceh, satu hal yang mesti diingat, yaitu syariat Islam dan kekhususan Aceh melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Nilai-nilai keislaman masih bersatu-padu dalam relung jiwa masyarakat Aceh. Mungkin mereka banyak melakukan kemunkaran, tetapi satu hal tak akan pudar dalam diri rakyat Aceh, yakni pelecahan atas agama Islam.
Foto Cut Meutia (gambar ilustrasi) yang tampil di uang baru, tanpa disertai kerudung menjadi simbol kecil ketidakpedulian pemerintah pusat atas syariat Islam yang berlaku di Aceh. Dan sebagai bentuk tidak menghargai posisi Aceh yang sedang gencar meneriakkan syariat Islam secara kaffah di bumi Iskandar Muda.
Perlu ditinjau kembali model gambar Cut Meutia yang telah diletakkan di uang kertas. Karena Cut Meutia figur kehidupan rakyat Indonesia khususnya Aceh dan lebih khususnya lagi perempuan Aceh yang sejak dulu dikenal daerah paling kental dengan nuasan Islami. Gambar yang beredar di buku-buku sejarah merupakan hasil ulah tangan (lukisan) kolonial Belanda yang berusaha menutupi identitas pejuang perempuan Aceh.
Bahkan di sekolah-sekolah di Aceh telah dicabut doktrin foto Cut Nyak Dhien yang menampakkan rambutnya pascaditemukan foto asli Cut Nyak Dhien pada 2015 yang diapit oleh tentara Belanda di sisi kiri dan kanan pejuang ternama itu. Dalam foto tersebut Cut Nyak Dhien berpakaian hitam dengan ija sawak (kerudung) panjang yang melintasi rambut sampai ke bahunya. Intinya Cut Nyak Dhien tak polos menampakkan kepala tanpa hijab, walau belum sesempurna gadis sekarang dalam menutup kepala/aurat.