KUPI BEUNGOH

Dari Mana Gambar Cut Mutia di Uang Rp 1.000? Ini Sejarahnya

Padahal, pokok permasalahan dari mana sumber utama Cut Mutia? Tulisan ini akan berusaha menelaah sumber awal foto itu muncul.

Editor: Yusmadi
ist
Hermansyah 

Dari sanalah terbongkar bahwa sumber “Cut Mutia palsu” berasal dari postcard (kartu pos) tersebut yang masih digunakan sampai tahun 1905.

Periode tersebut, postcard dijadikan sebagai hadiah, kekhassan, pesan atau kiriman dari seseorang kepada orang lain, termasuk kepada para petinggi Belanda.

Jika ditilik lebih dalam, wajah dan potret dalam foto tersebut sama dengan tokoh Cut Mutia yang dipercayai saat ini.

Demikian juga dengan penanggalan tahun tersebut sama dengan penyebutan Zainuddin. Dapat dipastikan Colijn yang bertugas mendapatkan foto ini saat berada di Banda Aceh sebelum ditugaskan ke Lhokseumawe.

Maka dapat disimpulkan itu bukanlah foto Cut Mutia, sebab di tahun yang sama Cut Mutia sedang berperang mempertaruhkan nyawa dan memerdekakan bangsanya bersama suami dan anaknya di pedalaman Aceh Utara sejak 1890 sampai 1910.

Pada tahun itu (1900-1901) proses gambar "foto model" dilakukan di Banda Aceh. Tentunya ini sangat mustahil Cut Mutia menjadi ikon "foto model". Sebab ini tahun-tahun dahsyatnya perang. Di mana Cut Mutia, suami, dan pengikutnya melawan Belanda, memblok jalur darat, merusak jalur kereta api, tragedi Meurandeh Paya, hingga suaminya Teuku Tjut Muhammad syahid 1905, dan berikutnya Pang Nanggroe syahid (26 September 1910).

Sedangkan Cut Mutia syahid 25 Oktober 1910 bersama Teungku Syekh Paya Bakoeng atau Teungku Seupôt Mata, Teungku Mat Saleh, dan beberapa orang pasukannya di hutan belantara Pucok Krueng Peutoe.

Bagi orang Aceh, syahid dalam perang kolonial suatu kemuliaan. Namun, tidak ada data valid siapa yang melihatnya terakhir, menguburkannya, apalagi memotretnya.

Sumber-sumber otentik tersebut telah menjawab bahwa gambar Cut Mutia yang selama ini beredar tidak asli, bahkan duplikasi dari foto lainnya.

Sejarah Foto Cut Meutia
Postcard CB Nieuwenhuis 1901-1905. Code. 1400103. KITLV

Temuan tersebut sudah cukup menepis segala prasangka yang ditujukan kepada Cut Mutia secara khusus, dan kaum hawa di Aceh tempo dulu, secara menyeluruh.

Sebagai langkah bijak, sebaiknya pemerintah dapat mengkaji dan mengambil sikap, selanjutnya merevisi gambar Cut Mutia yang kini telah bertebaran dari sumber yang tidak valid, sehingga tidak ada pengaburan sejarah di Aceh secara luas.

Lebih lanjut, dua kubu “pro dan kontra” dapat mereview kepada sumber-sumber primer yang ada, merujuk pada literatur barat dan lokal, sehingga tidak melegalisasi hukum atas kedangkalan pengetahuan dan keterbatasan wawasan kita saat ini.

Sebab, Aceh tidak dapat dilukis sepenuhnya seperti Arab, dan tidak pula seperti budaya barat.

Ke depan, dengan kasus ini Pemerintah Aceh dan masyarakat bisa intropeksi diri untuk “melawan lupa” sejarah, dan tetap fokus untuk terus memperkenalkan pahlawan-pahlawan Aceh lainnya ke tingkat Nasional ataupun internasional, tanpa menanggalkan sumber-sumber primer yang masih tersebar di dalam dan luar negeri.

[Hermansyah adalah Filolog dan Pemerhati Manuskrip Aceh, Jawi/Malay, dan Arab. Ia juga dosen Filologi dan Kajian Naskah di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Saat ini sedang menempuh S3 di Centre for Study Manuscript Cultures, Universitas Hamburg, Jerman. Salah satu kajiannya adalah tentang manuskrip-manuskrip perang Aceh dengan Belanda. Website:www.hermankhan.com, FB: Herman Syah]

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved