Pilkada 2017
Suara yang ‘Terlupa’ dari Hotel Prodeo
"Saya sudah merasakannya, jadi saya ingin hukum benar-benar ditegakkan, jangan hanya untuk orang-orang tertentu saja hukum ditegakkan," sebutnya.
Penulis: Subur Dani | Editor: Amirullah
Pencoblosan di dalam lapas hari itu berlangsung meriah. Suara musik yang diputar dari keybord juga terdengar samar, mengiringi proses pemilihan yang diikuti warga binaan di dalam lapas.
Proses pencoblosan hari itu dipantau langsung oleh Ketua Lapas Kelas IIA Banda Aceh, Muhammad Drais. Ia menyebutkan, dari total 509 warga binaannya, hanya 258 orang yang bisa menggunakan hak pilih pada Pilkada 2017, selebihnya tidak bisa.
"Tidak semuanya bisa memilih, karena ada yang tidak masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT), ada yang tidak punya e-KTP, ada juga yang bukan warga Aceh,” sebutnya.
Ke-258 orang yang bisa memilih itu pula, kata Drais, tidak memiliki hak yang sama. Ada yang bisa memilih bupati/wakil bupati berikut gubernur/wakil gubernur Aceh, ada pula yang hanya bisa memilih gubernur/wakil gubernur saja.
"Ini karena ada warga binaan yang bukan berasal dari Aceh Besar, banyak yang dari luar Aceh Besar, makanya mereka hanya bisa milih gubernur saja," sebut Drais.
Iskandar (32) salah seorang warga binaan yang tidak bisa memilih hari itu. Penyebabnya, ia tak masuk dalam DPT kampung asalnya di Desa Julok Cut, Kecamatan Kuta Binje, Aceh Timur dan tak memiliki e-KTP. Namun, pria yang tersandung kasus pembunuhan itu tak mau suara dan harapannya terlupakan dalam Pilkada 2017 ini.
“Kalau suara kami dilupakan, jangan sampai harapan kami juga dilupakan. Walau saya dan beberapa orang yang tak bisa memilih, tapi kita juga banyak harapan kepada pemimpin Aceh yang terpilih nanti. Suara kami memang tak bisa digunakan, tapi setidaknya suara dan harapan kami didengar dan tak dilupakan,” kata Iskandar di sela-sela dirinya melihat proses pemungutan suara yang berlangsung. Hari itu, ia hanya bisa menyaksikan rekan-rekannya memilih.
Meski tak bisa masuk ke bilik suara dan mencelupkan jari ke dalam tinta, tapi Iskandar mengaku seperti memilih. Ia menitip harapannya kepada semua pasangan calon.
Iskandar berharap kepada gubernur/wakil gubernur Aceh terpilih, bisa menyediakan lapangan kerja seluas mungkin bagi masyarakat Aceh.
“Saya kerjanya berkebun selama ini, bertani. Ke depan kalau bisa dibuka lapangan kerja, angka kemiskinan juga dikurangi,” sebutnya.
Meski suaranya ‘terlupakan’, namun Iskandar mengaku punya pilihan sendiri, ia memiliki calon gubernur/wakil gubernur pilihannya. Andai saja ia bisa memilih, Iskandar mengaku akan mencoblos calon yang ia jagokan tersebut.
“Sudah ada pilihan saya, saya pasti pilih beliau kalau saya bisa memilih. Tapi nggak apa-apa, saya yakin nomor itu menang, pasti,” pungkas Iskandar.
Narapidana lainnya, Arlim (25), juga bernasib sama dengan Iskandar. Ia juga tak bisa menggunakan hak pilihnya, persoalannya sama, ia tak masuk dalam DPT di kampung asalnya dan juga tak memiliki e-KTP. Namun, pria asal Meureubo, Kecamatan Meurebo, Aceh Barat itu tetap ngotot untuk menggunakan hak pilihnya.
“Kita tunggu nanti, saya tetap ingin coblos. Masa kami dilupakan, kami kan warga Aceh juga, kami kan punya hak juga. Jangan sampai kami tak bisa memilih, kan kita juga punya calon masing-masing yang harus menang,” kata Arlim.
Arlim tetap bersikeras, ia tak mau suaranya dilupakan. Meski satu suara, namun ia yakin suaranya cukup berarati bagi calon yang gubernur/wakil gubernur Aceh yang ia jagokan. “Kalau bupati Aceh Besar kita memang nggak bisa pilih, karena kita buka orang di sini, tapi minimal kita bisa lah pilih gubernur/wakil gubernur Aceh,” ujarnya.