Asiknya Umrah Backpacker
Selain untuk mendekatkan umat dengan kiblat, melalui gerakan umrah backpacker ini diharapkan mampu mengundang jamaah dari luar Aceh
Inilah ciri utama umrah semi backpacker. Ada bagian tertentu yang difasilitasi panitia, banyak pula agenda yang mesti disiapkan oleh masing-masing individu. Kondisi ini tentu menuntut jamaah untuk proaktif dalam mencari kawan guna membentuk kelompok-kelompok kecil agar dapat menjalankan agenda masing-masing. Sungguh mengasikkan.
"Menaklukkan" Kota Mekkah
Jamaah umrah KNPI Aceh tergolong beruntung. Jamaluddin berhasil melobby dua orang pengelola harta waqaf (nazir) Baitul Asyi, yaitu Dr Abdul Latif Balthu dan Abdurrahman Asyi. Kedua nazir ini memenuhi permintaan Ketua KNPI Aceh agar disediakan penginapan dan makan gratis di Mekkah (Makan dan Tidur Gratis di Mekkah, Citizen Reporter Harian Serambi Indonesia, edisi 5 Maret 2017).
Penginapan setara hotel bintang tiga yang disediakan secara cuma-cuma itu tergolong jauh dari Masjidil Haram, berjarak sekitar 2,5 km dari gerbang masjid.
Rumitnya lagi hotel ini tidak terletak di jalan utama, tetapi masuk lorong. Untuk berjalan kaki menuju masjid membutuhkan waktu dan energi ekstra.
Dalam kondisi seperti ini, jamaah tertantang untuk "menaklukkan" Kota Mekkah, setidaknya dalam dua hal.
Pertama, jamaah harus mempunyai keberanian untuk naik kendaraan umum atau taxi menuju masjid. Naik taxi di Mekkah tergolong ribet, karena tidak menggunakan argo dan menaik-turunkan penumpang di jalanan, ibarat labi-labi. Selain itu, sopir taxi yang umumnya orang Pakistan kerap memasang tarif gila-gilaan.
Nah, di sinilah dibutuhkan kemampuan komunikasi dalam bahasa Arab. Sangat jarang ditemukan sopir taxi yang mampu berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, jamaah yang mengerti Bahasa Arab sering menjadi idola bagi jamaah lain dalam membentuk kelompok agar tidak meuramah (dikerjai) oleh sopir taxi yang kebanyakan "nakal" kepada orang asing.
Begitu juga saat hendak melaksanakan umrah tambahan yang mewajibkan starting dari miqat (mengambil posisi ihram di luar tanah haram).
Lokasi miqat terletak di pinggiran Kota Mekkah. Mau tidak mau, jamaah harus naik taxi atau bus umum di terminal. Usaha mencari terminal dan bepergian sendiri ke miqat tentu menjadi penambah wawasan tentang seluk beluk Kota Mekkah.
Kedua, jamaah tertantang dalam mencari rumah makan. Memang di pertokoan seputar Masjidil Haram banyak pedagang yang menawarkan aneka makanan, tetapi hampir semuanya bercita rasa Arab atau India.
Bagi orang Indonesia ini tentu menjadi masalah, apalagi bagi orang Aceh suka makan pedas. Di sini jamaah ditantang untuk menapaki semua mall hingga lorong-lorong kota dalam upaya mencari menu makanan yang cocok.
Ketika ada jamaah yang berhasil menemukan menu sesuai lidah Aceh, maka secepat kilat akan menyebar ke jamaah lain, dari mulut ke mulut hingga group WA.
"Di lantai gedung anu terdapat nasi lemak Malaysia", atau "di jalan pulan ada menu ikan teri tumis pedas" adalah contoh pesan yang kerap gentayangan di group WA.
Dengan umrah pola semi backpacker jamaah banyak mengetahui seluk beluk Mekkah, Madinah dan sekitarnya. Pengalaman ini tentu tidak dimiliki oleh jamaah yang bepergian dengan pelayanan full dari travel. Perlu diingat, umrah backpacker ini tidak cocok bagi orang berjiwa boss, "anak mama" serta lansia.
Selain untuk mendekatkan umat dengan kiblat, melalui gerakan umrah backpacker ini diharapkan mampu mengundang jamaah dari luar Aceh untuk berangkat ke Mekkah melalui Serambi Mekkah.