‘Myanmar Ingin Menumpas Habis Muslim Rohingya’
Konflik antara umat Buddha dan Muslim di wilayah tersebut dimulai sejak kekerasan komunal meletus pada 2012.
JAKARTA - Pemerintah Myanmar bermaksud untuk menyapu bersih etnis Rohingya dari negara bagian Rakhine, di barat Myanmar, kata seorang pengungsi Rohingya, Kamis (30/8/2017).
Dilansir Kantor Berita Turki, Anadolu Agency, Jumat (1/8/2017), Karimullah Muhammed adalah warga Rohingya yang mengungsi ke Indonesia. Ia mengatakan, kekerasan atas orang Rohingya bukanlah hal yang baru bagi mereka.
“Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dalam waktu yang lama, namun pemerintah telah meningkatkan pembasmian dalam beberapa tahun terakhir,” kata Muhammed.
Muhammed mengatakan bahwa banyak kerabatnya, termasuk saudara perempuannya, masih berada di Rakhine, sementara beberapa kerabat lainnya tewas dalam aksi kekerasan yang tengah berlangsung.
“Saya membaca berita bahwa sekitar 300 warga Rohingya terbunuh, namun saya telah diberitahu teman-teman saya yang diserang (di negara bagian Rakhine) bahwa lebih dari 3.000 Muslim Rohingya terbunuh dan hampir 100 desa dibakar habis,” ungkapnya.
(Baca: Kapal yang Membawa Pengungsi Rohingya Tenggelam, 19 Orang Meninggal Dunia)
Dunia masih tetap diam menghadapi pembunuhan massal di Rakhine.
Ia menambahkan, beberapa laporan media yang bersumber dari pemerintah Myanmar mengklain bahwa umat Muslim telah menyerang umat Buddha dan memperkosa wanita-wanitanya.
“Hal ini jelas-jelas salah. Bagaimana mungkin kelompok minoritas yang telah hidup dalam kekerasan selama bertahun-tahun melakukan hal itu?” pungkasnya. [BACA: Myanmar Teroris tak Berjanggut]
‘Populasi etnis Rohingya adalah 1,3 juta’
“Jika seseorang bersalah, hanya dialah yang seharusnya dihukum, bukan seluruh kaumnya,” tegas Muhammed.
Ia mengatakan, pemerintah Myanmar dengan sengaja salah menyebutkan populasi Rohingya menjadi 800.000 jiwa, meskipun jumlah populasi sebenarnya adalah 1,3 juta jiwa. “Artinya, pemerintah ingin memberantas 500.000 jiwa,” tegasnya.
Muhammed menambahkan, Indonesia harus membuka pintu bagi ribuan pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari aksi kekerasan di Rakhine.
“Indonesia adalah negara dengan beribu-ribu pulau. Kami berharap Indonesia mau membuka pintu untuk Muslim Rohingya, seperti apa yang dilakukan Turki untuk pengungsi Suriah,” ucapnya.
(Baca: Mengenal Attaullah, Pemimpin Gerakan Arakan yang Membela Muslim Rohingya)
Kekerasan meletus di Rakhine, barat Myanmar, pada Jumat, 25 Agustus, ketika pasukan pemerintah melancarkan operasi militer terhadap etnis Muslim Rohingya. Operasi tersebut memicu masuknya pengungsi baru ke negara tetangga, Bangladesh, meskipun Bangladesh telah menutup perbatasannya untuk pengungsi.
Laporan media menyebutkan bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekerasan dengan menyerang rumah-rumah warga Rohingya dengan mortir dan senapan mesin.
Konflik antara umat Buddha dan Muslim di wilayah tersebut dimulai sejak kekerasan komunal meletus pada 2012.
Oktober tahun lalu, aksi kekerasan terjadi di Maungdaw. PBB mencatat adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan, yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan kemanusiaan, di antaranya adalah pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan paksa. Menurut perwakilan Rohingya, sekitar 400 jiwa tewas dalam aksi kekerasan tersebut.
42 kamp konsentrasi
Habib Rahman, ko-penulis We, the Unnameable: A Burmese Taboo mengatakan, ada 42 kamp konsentrasi di negara bagian Rakhine.
Penulis Rohingya ini mengatakan kepada Anadolu Agency di Paris bahwa kelompok minoritas Muslim tidak punya akses atas hak asasi manusia yang mendasar, seperti makanan dan obat-obatan, pendidikan, dan kebebasan mobilitas.
(Baca: Bahasa Isyarat Menyatukan Para Haji di Tanah Suci)
“Orang-orang Rohingya dikungkung secara sistematis. Ada 42 kamp konsentrasi di Rakhine yang terisolasi dari dunia luar. Tidak ada yang bisa berkunjung ke sana,” jelas Rahman.
“Banyak dari mereka yang bersembunyi di hutan dekat rumah-rumah mereka, karena mereka akan ditembak mati jika mereka mencoba pergi ke tempat lain,” tambahnya.
Sebuah kelompok pejuang HAM yang berbasis di Brussel – Aliansi untuk Kebebasan dan Kemerdekaan (AFD) – mendesak pemerintah Myanmar untuk menghormati hak asasi manusia.
“Tentara Myanmar kembali melancarkan aktivitas militernya untuk menekan dan menganiaya kelompok minoritas di negara bagian Rakhine,” kata Mustafa Akoub, direktur AFD wilayah Asia Pasifik, kepada Anadolu Agency.
“Genosida dilakukan terhadap kaum Muslim di Myanmar yang tertindas, tidak dihargai, dan tidak diakui,” tegasnya.
Ia juga meminta masyarakat internasional untuk mengambil langkah sesegera mungkin untuk menghentikan “pembasmian etnis”.(aa.com.tr)