Opini

Mengenal Ideologi Komunis

BUKAN tidak mungkin paham komunis atau lazim disebut komunisme itu masih ada dan bergentayangan

Editor: bakri
WAKIL Bupati Aceh Besar, Tgk H Husaini A Wahab berbincang dengan Danrindam IM, Kolonel Inf Niko Fahrizal sebelum acara nonton bareng film Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama warga di halaman Dodik Bela Negara, Mata Ie, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, Minggu (24/9) malam. 

Kelemahan Komunis
Kelemahan komunis paling nyata dapat dilihat pada sistem politik absolut, di mana negara dominan dalam segala bidang. Dengan sistem politik seperti itu, pemimpin yang tadinya diisi oleh orang-orang bijak cenderung menjadi diktator dan tidak bisa dikontrol. Kelemahan ini bisa dilihat di Korea Utara dan beberapa negara komunis lainnya.

Karenanya militer menjadi bagian yang paling penting dalam sistem ekonomi politik komunis dalam menjaga kestabilan negara. Tanpa dukungan militer dan kekuatan bersenjata, mustahil negara komunis bisa berdiri tegak. Oleh karena itu, agak aneh ketika di sebuah negara militernya sangat anti dengan komunis, karena sikap itu bertolak belakang dengan karakteristik dasar militer yang cenderung otoritarian.

Selain itu, setiap ideologi juga memiliki keterbatasan karena terikat dengan ruang dan waktu. Artinya, sebuah ideologi sangat tergantung dengan kondisi dan situasi di mana ia lahir. Komunisme misalnya, barangkali hanya cocok dalam konteks masyarakat Eropa abad ke-19, namun tidak lagi cocok di abad ke-20.

Begitu pula dengan sistem yang lain, seperti demokrasi yang hari ini diagungkan sebagai sistem politik terbaik di dunia, barangkali tidak lagi dianggap terbaik di abad ke-25 nanti, karena kompleksitas persoalannya sudah berbeda.

Etnonasionalisme contoh lain yang sangat dekat dengan Aceh. Ideologi ini biasanya mudah berkembang disaat etnis dalam sebuah negara didiskriminasikan oleh etnis dominan lainnya. Namun ideologi ini tidak lagi relevan ketika negara memberi hak yang sama kepada semua etnis.

Di Aceh misalnya, etnonasionalisme sempat mekar dan menjadi primadona, terutama pada saat rakyat Aceh menderita akibat kekerasan dan perlakuan diskrimintif rezim Orde Baru dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada saat itu dapat dikatakan hampir semua rakyat Aceh membayangkan sebuah negara tersendiri, yang berbasis etnis Aceh, terpisah dari Indonesia.

Namun setelah perjanjian damai disepakati, kemudian semua “mantan pejuang” terintegrasi dalam sistem politik Indonesia serta menduduki jabatan penting seperti gubernur, bupati, wali kota dan anggota legislatif, etnonasionalisme atau nasionalisme keacehan pelan-pelan redup dan menjadi layu. Sekarang tidak ada lagi yang bicara tentang nasionalisme keacehan itu dalam konteks ideologi, karena dianggap sudah tidak lagi relevan.

Begitulah narasi sebuah ideologi dalam kehidupan manusia. Ia muncul, berkembang dan redup kembali. Dimulai dari krisis, penderitaan, mimpi indah dan diakhiri dengan kerakusan. Siklus itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Karena itu, tidak ada yang perlu ditakuti sepanjang kita mengenal ideologi-ideologi itu dengan cara mempelajarinya secara kritis dan mendalam. Sikap menjaga jarak justru membuat kita mudah dihantui, bahkan dibodohi seperti yang kita alami setiap tahun menjelang peringatan G30S/PKI. Nah!

* Sahlan Hanafiah, staf pengajar Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar Raniry Darussalam, Banda Aceh. Email: sahlan.hanafiah@gmail.com

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved