Breaking News

13 Tahun Tsunami Aceh

13 Tahun Tsunami – Bencana Itu Merenggut Abang dan Seluruh Keluarga Mertua Saya

Tak ada yang menjawab panggilan kami di rumah ini yang baru bisa tembus pada hari ke dua kami berkunjung. Semua terasa sangat hampa.

Editor: Zaenal
IST
Almarhum Muharram M Nur dan putri ketiganya (jongkok) serta almarhum mertua dan adik ipar penulis (Lailatussa'adah) 

Oleh: Lailatussaadah

Musibah gempa bumi dan tsunami yang menerjang Aceh 26 Desember 2004, masih menyisakan duka mendalam bagi banyak orang di Aceh.

Ini adalah bencana alam terbesar dengan jumlah korban terbanyak pada abad moderen.

Situs wikipedia.org mencatat, gempa bumi Samudra Hindia 2004 adalah gempa bumi berskala tinggi di bawah laut yang terjadi pukul 00:58:53 UTC pada hari Minggu, 26 Desember 2004, dengan episentrum di lepas pesisir barat Sumatera, Indonesia.

Gempa bumi ini terjadi ketika Lempeng Hindia disubduksi oleh Lempeng Burma dan menghasilkan serangkaian tsunami mematikan di pesisir sebagian besar daratan yang berbatasan dengan Samudra Hindia.

Gelombang tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 meter (98 ft) ini merenggut lebih dari 230.000 nyawa manusia di 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi pantai.

Ratusan ribu orang Aceh kehilangan keluarga dan sanak famili.

Saya adalah satu di antara ratusan ribu orang Aceh yang kehilangan banyak anggota keluarga pada hari itu.

Belum lekang dari ingatan, ketika hari-hari dan bulan-bulan setelah bencana itu, saya bersama suami dan anggota keluarga lainnya, masih berusaha mencari Abang, mertua, tiga adik ipar, dan beberapa anggota keluarga lainnya yang hilang dalam musibah tersebut. 

Sampai sekarang, 13 tahun setelah bencana itu, saya maish berharap keajaiban, ada di antara mereka yang selamat.

Meski saya sangat sadar, itu adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Mengenang Muharram M Nur

Muharram M. Nur adalah abang kandung saya. Saat bencana terjadi, beliau tercatat sebagai wartawan Serambi Indonesia.

Bang Muharram adalah satu dari puluhan wartawan dan karyawan Serambi Indonesia yang hilang dalam musibah tersebut.

Banyaknya karyawan Serambi Indonesia yang menjadi korban, karena rata-rata dari mereka menetap di kawasan dekat pantai, seperti Baet, Kajhu, Cot Paya, dan sekitarnya.

Seperti abang kami, Muharram M Nur, beliau tinggal di kompleks perumahan di Cot Paya.

Seperti kebanyakan karyawan Serambi Indonesia, Bang Muharram memilih tinggal di sana, karena lebih dekat menjangkau tempat bekerja, yaitu Kantor Harian Serambi Indonesia yang berada di kawasan Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Bang Muharram, memiliki tiga anak dari istrinya yang bernama Maisarah.

Dari seluruh keluarga abang kami, hanya Kak Maisarah yang dapat kami temukan selamat, dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.

Cerita Maisarah tentang kejadian tersebut, diabadikan dalam sebuah video yang diproduksi oleh Serambi On TV, berikut ini.

Wartawan idealis

Lahir di Gampong Aree Kecamatan Delima Kabupaten Pidie 6 Maret 1962, Muharram M. Nur merupakan putra pertama dari pasangan M. Nur dan Nurasyiah.

Memulai pendidikan dasar di MIN dan MTsN Gampong Aree, melanjutkan sekolah menengah atas ke PGA (Pendidikan Guru Agama) Sigli, dan mengambil pendidikan S1 FKIP Unsyiah Banda Aceh.

Selesai S1 Muharram M. Nur mengabdikan dirinya sebagai pendidik pada mata pelajaran PSPB di Al-Furqan Bambi Sigli dan Universitas Jabal Ghafur (UNIGHA).

Namun, beberapa hal dalam isi buku pelajaran bertolak belakang dengan sanubarinya, sehingga akhirnya beliau memilih resign yang disampaikan langsung kepada Bapak Nurdin AR (almarhum), bupati Pidie kala itu.

Beberapa saat setelah resign, beliau mengisi waktu dengan membantu usaha orang tuanya yaitu menjahit baju tempahan dan pesanan yang akan dijual se Aceh, sambil terus mengikuti berita-berita dunia melalui surat kabar, radio dan televisi.

(Baca: 13 Tahun Tsunami Aceh – Mengenang Muharram M. Nur, Penyambung Hati Nurani Rakyat)

Dalam kondisi itu adik iparnya Husaini Ibrahim (dosen sejarah Unsyiah), mengabarkan bahwa Harian Serambi Indonesia membuka lowongan wartawan.

Merasa inilah dunianya, Muharram pun memohon izin kepada orang tua tercinta untuk berangkat ke Banda Aceh. Beliau mengikuti seleksi dan dinyatakan lulus. 

Menjadi seorang jurnalis seperti menemukan jiwanya. Dunia jurnalis adalah dunia yang sangat digemarinya, ini adalah destinasinya.

Muharram mendedikasikan dirinya untuk memberikan berita yang seimbang dan benar.

Beberapa orang yang pernah bekerja dengan Muharram M. Nur menceritakan kepada saya, bahwa beliau orang yang sangat idealis, berita akan ditelusuri sampai valid.

Penggemar lagu-lagu Bimbo dan Iwan Fals ini memiliki karir yang mentereng dalam dunia jurnalis, pernah menjabat kepala biro Serambi Indonesia di Sigli, Kepala Biro Serambi Indonesia di Lhokseumawe, serta Wakil Redaktur Pelaksana Tabloid KONTRAS.

Muharram juga masuk dalam daftar penggagas lahirnya Aliansi Jurnalis  Independen (AJI) Kota Banda Aceh, dan menjabat ketua AJI Banda Aceh pada tahun 2002-2004.

Melihat karir yang bagus sangat mungkin menjadikan sang jurnalis hidup mewah, namun Muharram M. Nur hidup sangat sederhana sampai akhir hayatnya.

Prinsip hidup sederhana Bang Muharram ini tergambar jelas dari kalimat hadih maja (peribahasa Aceh) yang tertulis di pintu lemari pakaiannya.

Ngui balaku tuboh, pajoh balaku atra (pakailah sesuai dengan keadaan tubuh, dan makanlah sesuai dengan harta yang dimiliki).

Idealis dan kesabarannya dalam memberitakan suara rakyat membuat Muharram M. Nur mendapatkan anugerah “Membangun Perdamaian melalui Media”.

Anugerah ini diterima oleh istrinya Maisarah, beberapa waktu setelah musibah gempa dan tsunami merenggut nyawanya.

Nama Muharram M. Nur diabadikan sebagai nama sebuah sekolah jurnalis MJC Banda Aceh (Muharram Jurnalism College), dengan harapan akan melahirkan jurnalis-jurnalis yang idealis dan sabar dalam memberikan berita dan kebenaran.

(Baca: Ditolak di Hongkong, Ustaz Abdul Somad Isi Tausiyah Peringatan 13 Tahun Tsunami di Banda Aceh)

Kehendak Allah

Suatu hari di tahun 2005. Beberapa bulan setelah peristiwa gempa dan tsunami, saya bersama suami (Bastian Azhar) berkunjung ke sebuah toko elektronik di kawasan Simpang Surabaya Banda Aceh.

Kala itu, suasana Banda Aceh masih sangat sepi.

Seorang pengunjung di toko tersebut memulai percakapan dengan saya. Ia merasa heran karena saya dan suami hendak membeli peralatan elektronik dapur. 

“Tinggal di mana?,” orang tersebut bertanya dengan raut wajah heran.

“Uleekareng, menumpang di rumah kakak,” saya menjawab.

“Kenapa menumpang, dulu tinggal dimana?” orang itu bertanya lagi.

Saya menjawab, seharusnya saya tinggal di rumah mertua saya di Punge Jurong.

Singkat cerita, orang itu menyebut secara detil posisi dan bentuk rumah mertua saya.

“Rumah baru itu ya, rumah yang baru pesta minggu lalu pas seminggu sebelum tsunami itu ya?” orang itu bertanya lagi.

“Benar, sayalah dara baronya,” jawab saya.

Orang itu pun merasa terkejut, lalu memberondong saya dengan sangat banyak pertanyaan.

Bagaimana cara selamat? Pergi kemana hari itu? dan bla bla bla.

Saya menangkap pertanyaan orang tersebut menunjukkan kemungkinan saya selamat dari musibah tsunami sangat kecil.

Pasalnya, tsunami mengepung Punge Jurong dari dua arah, Lampaseh dan Ulee Lheue.

Namun jika Allah berkehendak tidak ada yang dapat menolaknya.

Saya menceritakan bahwa pada Sabtu malam (25/12/2017) atau malam minggu sebelum tsunami, saya bersama suami pergi ke Uleekareng dan menginap di rumah kakak (Halimatussakdiah M Nur, isteri dari Dr Husaini Ibrahim MA).

Tidak ada firasat apapun, hanya ada beberapa kejadian yang mengharuskan kami pergi dan menginap di Uleekareng.

Keluarga Mertua

Keluarga mertua saya pindah ke Punge Jurong pada awal Desember 2004.

Ayah mertua saya, Azhar Oesman lahir di Samalanga, terakhir menjabat sebagai kepala BP2TKI Aceh, sebelum pensiun pada tahun 2004.

Sebelumnya, keluarga suami saya tinggal di perumahan Lambheu, Aceh Besar.

Dengan niat dapat menampung famili dari kampung, serta untuk menikmati masa pensiun, beliau membangun rumah ke dua yang memiliki halaman.

Di rumah baru inilah, saya dan suami yang merupakan anak pertama Bapak Azhar Oesman melangsungkan pesta pernikahan.

Rumah kami di Punge Jurong, beberapa hari setelah bencana gempa bumi dan tsunami terjadi
Rumah kami di Punge Jurong, beberapa hari setelah bencana gempa bumi dan tsunami terjadi ()

Tepat pada hari Minggu 19 Desember 2004, atau seminggu sebelum gempa dan tsunami menerjang.

Saat bencana terjadi, rumah mertua saya ini masih dipenuhi oleh para keluarga yang datang dari jauh.

Sebanyak 16 orang masih berkumpul di sini, dengan keluarga inti yang terdiri dari ayah, mamak, abu nek, serta tiga adik ipar saya (dua perempuan dan satu laki-laki).

Hanya saya dan suami yang hari itu tidak ada di rumah tersebut.

Berdasarkan saksi mata, warga Blangpaseh yang kami jumpai sebulan setelah bencana terjadi, gempa dahsyat yang mengguncang pada pukul 7.58.53 WIB tidak meruntuhkan rumah ini.

Setelah gempa, penghuni rumah ini masih duduk-duduk sambil terus membaca tahlil.

“Beberapa menit setelah gempa dahsyat tersebut, kami lari dari arah Lampaseh ke arah Blang Padang sambil teriak air laut naik. Mendengar teriakan air laut naik, keluarga di sini lari ke arah masjid Punge Jurong (yang berada di tengah perkampungan),” ujar pria yang kami jumpai saat sedang membersihkan bengkalai tsunami dari rumah ini.

Ia melanjutkan ceritanya; “Saya melihat pintu rumah ini terbuka lebar, saya berpikir tak mungkin untuk lari lebih jauh lagi karena air naik sangat kencang dari sungai di depan. Saya pun memilih naik ke lantai 2 dan naik ke plafon rumah ini,” ujarnya.

Abang kandung penulis, almarhum Muharram M Nur dan anak ketiganya Anis Rizkia (jongkok). Berdiri dari kanan, Azhar Oesman (ayah mertua), Asni Ilyas (ibu mertua), Herawati (adik ipar), Ruhul Aflah (adik ipar), Taufik Hidayat (adik ipar)
Abang kandung penulis, almarhum Muharram M Nur dan anak ketiganya Anis Rizkia (jongkok). Berdiri dari kanan, Azhar Oesman (ayah mertua), Asni Ilyas (ibu mertua), Herawati (adik ipar), Ruhul Aflah (adik ipar), Taufik Hidayat (adik ipar) ()

Di rumah mertua saya itu, saya melihat masih bekas endapan air di dinding lantai dua rumah ini.

Sampah menumpuk sampai ke teras lantai dua.

Sebagian bangunan hanyut dan hanya tinggal lantai saja.

Tak ada yang menjawab panggilan kami di rumah ini yang baru bisa tembus pada hari ke dua kami berkunjung.

Semua terasa sangat hampa.

Hingga kami menyadari, inilah takdir dan kehendak Sang Pencipta Yang Maha Kuasa.

Hanya doa yang selalu kami hantarkan kepada Abang, Ayah, Mamak, Abu Nek, dan adik-adik tercinta. Kalian adalah syuhada: * Muharram M Nur (abang kandung) bersama tiga orang putrinya * Azhar Oesman (ayah mertua) * Asni Ilyas (ibu mertua) * Ilyas (abu nek) * Taufik Hidayat (adik ipar) * Ruhul Aflah (adik ipar) * Herawati (adik ipar)

Banda Aceh, 26 Desember 2017 (Tiga Belas Tahun Kemudian)

* Penulis adalah adik kandung dari almarhum Muharram M Nur, dan menantu dari almarhum Azhar Oesman dan almarhumah Asni Ilyas. Saat ini mengabdi sebagai Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, juga Pengurus Yayasan Ummi Gampong Aree, Kecamatan Delima Pidie

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved