13 Tahun Tsunami Aceh

Menyaksikan Mayat-mayat Bergelimpangan - Kisah Jurnalis Serambinews.com Dikejar Tsunami (3-Habis)

Gadis itu terus berusaha untuk keluar dari puing-puing. Nahas, gelombang laut yang datang berikutnya memupuskan harapannya, ia hilang digulung ombak.

Penulis: AnsariHasyim | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM/BEDU SAINI
Jalan T Panglima Polem Peunayong, Banda Aceh, 26 Desember 2004. 

Kami melaksanakan shalat berjamaah diimami Tgk Amir dengan pakaian apa adanya. Pada 2016 lalu, tersiar kabar beliau menghadap Yang Maha Kuasa dalam usia senja di atas pembaringannya. Semoga Allah swt merahmatinya, mengampuni dosa-dosanya dan meluaskan kuburnya.

Semoga kelak Allah juga mempertemukannya dengan istri dan anak semata wayangnya di surga Jannatun Naim. Keduanya menjadi korban dalam musibah memilukan itu.

Seusai shalat kami memutuskan turun dari masjid. Innalillahi wainna alaihi rajiuun, saya menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Ada yang terjepit dalam puing, ada yang mengapung di atas air, dan ada pula yang tersangkut di atas rumah.

Orang-orang yang selamat mengangkat satu per satu mayat-mayat tadi ke dalam masjid. Di situ saya baru sadar, ternyata, bukan hanya satu. Tapi ada puluhan mayat yang terlihat bergelimpangan. Sedangkan saya bersama keluarga pulang melihat rumah.

Kami harus berjalan di atas puing-puing yang menggunung dengan air yang masih sebatas lutut. Tapi kami tak menemukan apa pun lagi. Semuanya sudah hilang tak berbekas. Saya melihat banyak rumah warga desa lain yang rusak dan hilang tersapu gelombang.

Pada sore harinya, saya dan keluarga akhirnya memutuskan keluar dari kampung. Setapak demi setapak kami menyusuri genangan air menuju Masjid Lambhuk. Kami juga mendapat kabar dari seseorang, kakak saya Erawati bersama suaminya Rinaldi yang sempat terpisah dari kami, selamat dari musibah ini.

Mengungsi dan cerita aneh Si Pus

Keesokan paginya kami mengungsi ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, dan kemudian pindah ke kamp pengungsian Desa Cot Madi, tak jauh dari bandara.

Setahun di pengungsian sebuah NGO membangun kembali rumah kami sebagai awal untuk menata hidup kembali pasca tsunami. Dari semua hal yang saya alami dalam peristiwa tsunami, ada satu yang hingga saat ini tak bisa saya lupakan.

Yaitu tentang kucing kesayangan saya bernama si Pus. Ternyata benar, naluri hewan menangkap tanda-tanda alam lebih tajam dari manusia. Tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa tiga hari sebelum gempa bumi dan tsunami terjadi, si Pus sudah mengetahuinya.

Ia menampakkan perilaku gelisah. Setiap malam tiba kedua tangannya menggaruk-garuk pintu kamar rumah kami sambil mengeong. Seolah-olah ia ingin memberi tahu sesuatu kepada kami. Namun tak satu pun dari kami yang mengerti perilaku anehnya itu.

Sehari sebelum pagi 26 Desember tiba, saya sudah tidak melihat lagi Si Pus di rumah kami. Malam itu juga tidak terdengar lagi ia mengeong dan mencakar pintu kamar rumah kami dengan kedua tangannya.

(Baca: Subhanallah! Setelah Tsunami 2004, Ditemukan Cadangan Minyak Bumi di Aceh Melebihi Arab Saudi)

(Baca: Gunung Agung Bali Akan Meletus? Warga Mulai Mengungsi, Tanda-tandanya Sudah Terlihat)

(Baca: VIDEO Catatan 12 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh)

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved