Kupi Beungoh
Baitul Asyi dan Krisis Kepercayaan Orang Aceh pada Indonesia
Fenomena inilah yang membuat orang Aceh lebih percaya pada nazir yang ditunjuk oleh Mahkamah Saudi Arabia dibanding pada BPKH Indonesia
Oleh: Hasan Basri M. Nur
PEMERINTAH Indonesia melalui Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) merencanakan investasi dana haji di sektor perhotelan di Saudi Arabia.
Di antara rencana itu adalah membangun hotel di atas tanah milik rakyat Aceh yang bersumber dari harta waqaf Habib Abdurrahman Bugak atau dikenal dengan Baitul Asyi (rumah orang Aceh).
Rencana itu disampaikan anggota BPKH, Anggito Abimanyu, dan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan OKI, Alwi Shihab, kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden.
"Kami akan melakukan kerja sama dengan IDB dan juga akan bertemu dengan beberapa pihak investor di Arab Saudi, untuk melakukan administrasi yang paling dekat adalah dengan tanah wakafnya Aceh di Mekah kemudian ada beberapa kesempatan-kesempatan investasi Arab Saudi yang lain," kata Anggito seperti dikutip www.republika.co.id, Jumat (9/3/2018).
(Baca: Komandan Al-Asyi Kecam Rencana Pemerintah Pusat Kelola Tanah Wakaf Aceh di Mekkah)
"Ikrar wakafnya sudah ada, dan sudah diinvestasikan oleh wakif di Arab Saudi, dan itu kita sedang proses negosiasi," lanjut Anggito.
Anggito pernah terpaksa mundur dari dosen UGM Yogyakarta karena dituduh plagiat dalam artikel opini di Harian Kompas pada 10 Februari 2014.
(Baca: Baitul Asyi, Anggito, dan Hikmah Wakaf)
Dalam waktu singkat berita BPKH mengincar Baitul Asyi tersebar luas dalam masyarakat Aceh.
Bermula dari media sosial Facebook, Twitter, dan WhatsApp kemudian meluas hingga diskusi di warung kopi, rangkang meunasah dan jambo blang.
Secepat kilat lalu lalang informasi itu berkiaran di group WA. Bahkan sebagian informasi itu sudah “dicok laba” alias “digoreng” sehingga tidak sesuai dengan berita asli.
Dari amatan saya, di group-group WA dan FB hampir semua warga Aceh tidak setuju terhadap rencana BPKH berinvestasi atas Baitul Asyi.
(Baca: Rencana Pengelolaan Tanah Wakaf Aceh Oleh Pusat, Asrizal: Sudah Cukup Aceh Bantu Indonesia)
Mereka menganggap ini adalah bentuk perampasan Negara Indonesia terhadap harta benda milik orang Aceh yang diwariskan sejak 1809 M.
Rencana BPKH berinvestasi atas tanah Baitul Asyi dianggap sebagai tipuan muslihat. Duh!
Ungkit Pemberian Masa Lampau
Lebih parah lagi, banyak warga Aceh yang mengungkit-ungkit pemberian rakyat Aceh pada masa lampau.
Mereka mengungkit kembali pembelian pesawat Dacota Seulawah RI 001 dan RI 002 secara patungan oleh orang tua mereka pada era perjuangan kemerdekaan.
Pesawat itu kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Maskapai Garuda Indonesia, walau pihak Garuda tidak lagi mengakuinya dengan cara menghapus cerita ini dalam majalah Garuda yang tersedia dalam setiap penerbangan.
Sakitnya tuh di sini!
(Baca: Dana Baitul Asyi Mulai Disalurkan)
(Baca: Kondisi Terkini Baitul Asyi)
Ada pula yang mengungkit sumbangan puluhan kilogram emas yang ditempatkan di puncak Tugu Monas Jakarta merupakan sumbangan dari Markam, pengusaha asal Aceh.
Mereka ramai-ramai mengungkit pemberian masa lampau kepada Negara Indonesia.
Saking palaknya, mereka tampak seperti tidak takut lagi pada “ancaman” meupuree seungkee (tumbuh cabok/luka di siku tangan) akibat mengungkit pemberian.
Di luar sumbangan-sumbangan secara suka rela itu ada pula yang mengungkit “sumbangan paksaan” isi perut bumi Aceh pada era 1976-2014 melalui Exon Mobil dan PT Arun NGL.
Ekplorasi dan eksploitasi migas itu tidak memberi dampak kesejahteraan bagi warga sekitar, apalagi bagi seluruh rakyat Aceh.
(Baca: Patgulipat Wakaf Baitul Asyi)
Orang Aceh Utara dibiarkan hidup “phang phoe, ruyang rayoe, deuk troe, saket asoe” dalam gubuk-gubuk reot sambil menonton pameran kemewahan di depan mata mereka. Weuh hate teuh!
Kecewa! Sakit hati! Menyesal! Air susu dibalas tuba! Itulah beberapa perumpamaan yang tergambar dari komentar-komentar orang Aceh atas balasan Indonesia kepada mereka.
Aceh bukannya dibangun secara khusus karena terlalu besar jasanya. Sebaliknya Aceh selalu dicurigai, diawasi, bahkan pernah diberlakukan zona darurat militer dalam rentang waktu yang lama (1989-1998, 1999-2004).
Jadi, wajar saja ketika muncul keinginan Pemerintah Indonesia untuk melakukan investasi atas harta warisan Aceh di Mekkah, maka rakyat Aceh langsung was-was, takut dirampas, takut dikhianati, dan berbagai perasaan negatif lainnya.
Sepertinya kepercayaan rakyat Aceh kepada Indonesia belum pulih.
(Baca: ‘Baitul Asyi’ di Ambang Peralihan?)
Selama ini jamaah haji asal Aceh mendapat perlakuan yang cukup baik dari nazir Baitul Asyi yang memberi kompensasi atas penyewaan beberapa hotel dan apartemen yang dibangun di atas tanah waqaf Habib Bugak.
Setiap jamaah haji asal Aceh diberikan uang tunai antara 1.200–1.500 Riyal (sekitar Rp 4,5–5,5 juta), tergantung keuntungan tahunan.
Penyerahan uang Riyal itu dilakukan langsung oleh nazir (pengelola harta waqaf) kepada setiap jamaah, tanpa potongan apa pun.
Fenomena inilah yang membuat orang Aceh lebih percaya pada nazir yang ditunjuk oleh Mahkamah Saudi Arabia dibanding pada BPKH Indonesia.
(Baca: Nyak Sandang Ingin Naik Haji)
Sebagai gambaran, pada Sabu (10/3) pukul 17.41 WIB, saya memposting berita dan foto tentang Baitul Asyi di halaman FB.
Postingan ini berdasarkan dari pengalaman saya dan kawan-kawan bertemu dengan nazir Baitul Asyi pada momen Umrah KNPI Aceh 2017.
Saya hanya menjelaskan tentang harta Baitul Asyi dan ikrar waqaf oleh pewaqaf.
Namun, aneh bin ajaib, komentar warganet di luar dugaan, hampir semuanya mengecam BPKH. Bertusss!
Dalam tempo singkat postingan di FB saya itu dibagi lebih 1.000 kali, lebih 1.000 komentar, dan lebih 1.000 like. Mengapa ini terjadi? Adanya keingintahuan warga Aceh terhadap Baitul Asyi dan keinginan untuk mempertahankannya.
Berikut tulisan saya di status Facebook.
SESUAI akadnya, harta waqaf dari Habib Bugak Asyi di Mekkah hanya boleh dimanfaatkan oleh jamaah haji asal Aceh (saat itu belum ada Indonesia) dan atau pelajar asal Aceh yg menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Kalau orang Aceh sudah "punah" alias tidak datang lagi ke Mekkah, maka harta waqaf itu boleh dimanfaatkan oleh orang lain dari Nusantara.
Demikian inti pesan yg dapat saya rekam dari pidato dokter Abdurrahman Asyi, nazir (pengelola) Baitul Asyi, dlm jamuan makan malam dg Jamaah Umrah DPD I KNPI Aceh 2017 di Aula Hotel Waqaf Muhammad Qasim Bik, Kudai, Mekkah, pada Maret 2017. Turut hadir pada jamuan itu Syeikh Muhammad Balthu yg juga nazir waqaf Baitul Asyi mewakili mahkamah Saudi.
Harta waqaf Aceh (Baitul Asyi) di Mekkah sekarang sudah berkembang sangat pesat; terdiri dari beberapa hotel (Ramada Hotel, Elaf Hotel), dan beberapa rumah dan apartemen. Hotel-hotel itu terletak di tempat-tempat strategis, hanya beberapa ratus meter dari gerbang Masjidil Haram. Tamu-tamu di hotel ini dapat dengan mudah bolak-balik ke masjid untuk shalat jamaah.
Kepada kami rombongan umrah KNPI Aceh 2017 tidak dibenarkan menggunakan fasilitas hotel milik Baitul Asyi. Menurut Abdurrahman Asyi dan Syeikh Balthu, jamaah umrah tidak berhak atas fasilitas Baitul Asyi karena dalam akad waqaf hanya disebutkan utk jamaah haji asal Kerajaan Aceh dan pelajar asal Aceh yg belajar di Mekkah.
"Ibadah umrah dan ibadah haji itu berbeda," kata sang nazir, dokter Abdurrahman Asyi. Kalimat ini memperlihatkan sikap tegas dan amanah Nazir Baitul Asyi yg tidak ingin menyeleweng sedikit pun dlm mengelola harta waqaf Habib Bugak.
Karena Abdurrahman Asyi adalah seorang jutawan kaya raya di Saudi, maka kepada jamaah umrah KNPI Aceh 2017 disediakan hotel lain, Hotel Wakaf Qasim Bik, sebagai tempat utk kami menginap. Bahkan lengkap dg nasi kotak ukuran jumbo sehari 3 kali. "Yang ini adalah sedekah dari saya, bukan dari Baitul Asyi," lanjut Abdurrahman. Klir, tidak meungom-ngom.
Keuntungan dari sewa beberapa hotel dan apartemen milik Baitul Asyi inilah yg dibagi-bagi kpd setiap jamaah haji asal Aceh setiap tahunnya. Setiap jamaah haji asal Aceh mendapatkan uang cash antara Rp 5 - 6 juta ketika tiba di Mekkah.
Saat ini, nilai aset Baitul Asyi diperkirakan sudah lebih Rp 20 T. Wow! Menggiurkan bukan? Bertusss...
Pulihkan Kepercayaan
Krisis kepercayaan rakyat Aceh terhadap Indonesia yang belum pulih tidak sepatutnya dibiarkan berlanjut.
Harus ada upaya-upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mengobati kekecewaan yang dialami rakyat Aceh. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain, adalah:
1. Maskapai Garuda Indonesia harus mengakui kembali bahwa ada saham rakyat Aceh melalui pesawat Dacota Seulawah RI 001 dan RI 002 dalam pendirian maskapai negara ini. Kisahnya harus selalu dicantumkan dalam majalah dan media informasi lainnya. Selain itu, Garuda Indonesia perlu memberikan harga khusus yang non-komersil untuk rute penerbangan dari dan ke Aceh. Dengan bahasa lain, bek ceukak yuem keu ureung Aceh selaku pemilik saham awal.
(Baca: Pengakuan Nyak Sandang Soal Pesawat Seulawah RI-001: Kami Patuh Ulama karena tidak Mau Terus Dijajah)
2. Pemerintah Joko Widodo perlu menebus kesalahan dan kegagalan pemimpin Indonesia sebelumnya. Penenebusan kesalahan dapat dilakukan antara lain dengan cara:
a). Melakukan investigasi dan mengadili para pelanggar HAM pada konflik;
b). Menggenjot pembangunan strategis nasional di semua sektor yang berdampak ekonomi massal dan berjangka panjang, seperti pembangunan ruas jalan yang saling terhubung antarkabupaten, pembangunan irigasi besar, percepatan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lhokseumawe, pembangunan Kawasan Ekonomi dan Wisata Khusus Sabang, pembangunan sekolah unggul nasional di tiap kabupaten/kota, percepatan pembangunan jalan tol dari Banda Aceh - Medan dan dari Banda Aceh - Singkil, dan lain-lain.
(Baca: Target Pembangunan Jalan Tol Juli)
Krisis kepercayaan yang terjadi di Aceh bukanlah kesalahan Presiden Joko Widodo, melainkan kesalahan para pemimpin sebelumnya terutama pada masa pra-damai. Namun, harapan akan pemulihan krisis kepercayaan tetap digantungkan pada pundak Jokowi yang saat ini memimpin Indonesia.
Melihat track recordnya yang tidak ternoda dengan dosa-dosa terhadap Aceh pada masa lampau, kita percaya Jokowi mampu menekan krisis kepercayaan ini. Apalagi yang bersangkutan adalah pemimpin bersih, pekerja keras, berasal dari kalangan sipil, dan pernah bermukim di Aceh dalam waktu yang lama. Semoga!
* PENULIS Hasan Basri M Nur adalah Mahasiswa Universiti Utara Malaysia (UUM), bekerja pada Yayasan Ummi Gampong Aree, Sigli, dan aktif pada Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), email: hasanbasrimnur@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.