Opini
Udep Merdeka, Mate Syahid
SETIAP 26 Maret, kita mengenang kisah perang Aceh dengan Belanda. Dimulai pada 26 Maret 1873 sampai datangnya
(Memori Perang Aceh, 26 Maret 1873)
Oleh M. Adli Abdullah
SETIAP 26 Maret, kita mengenang kisah perang Aceh dengan Belanda. Dimulai pada 26 Maret 1873 sampai datangnya Jepang ke Aceh pada 1942. Perang ini telah menewaskan sekitar 75.000 rakyat Aceh. Jumlah tersebut, sekitar 15 persen dari penduduk kerajaan Aceh waktu itu (lihat; Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa, 2009 dan Henk Schulte Nordholt, A Genealogy of Violence dalam Roots of Violence in Indonesia, 2002). Bahkan Nordholt menegaskan 75.000 bangsa Aceh yang tewas oleh serdadu kolonial Belanda itu, bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah pejuang dalam rangka melawan usaha pendudukan Belanda di Aceh.
Usaha menahan gempuran Belanda saat itu tidak ringan bagi rakyat Aceh, karena Belanda menggunakan berbagai taktik untuk menguasai kerajaan Aceh, termasuk memerintahkan Prof Dr Snouck Hurgronje (1857-1936) berangkat ke Mekkah pada 1883 untuk mempelajari watak dan karakter bangsa Aceh agar mudah ditakluki. Menggunakan jasa kaum intelektual ini juga sebagai satu “senjata” untuk menaklukkan Aceh. Teori-teori yang dikembangkan Snouck sebagai seorang antropolog, dijadikan alat oleh Belanda di lapangan untuk menghancurkan sendi-sendi peradaban Aceh.
Sejarah besar
Atas dasar itulah, pernyataan perang Belanda terhadap kerajaan Aceh jelas sebagai sejarah besar bagi Aceh kini. Pernyataan perang yang dibaca Komisaris Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen, menyebabkan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1873) mengumpulkan pembesar istana Kerajaan Aceh, untuk bermusyawarah. Hasil musyawarah sepakat bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada Belanda. Segenap lapisan rakyat diserukan ikut mempertahankan kedaulatan negara dan Islam dengan semangat: Udep merde’ka, mate syahid; langet sihet awan peutimang, bumoé reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna, demikian titah Sultan.
Belandapun dengan kekuatan penuh telah disiapkan untuk menyerang kerajaan Aceh, dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R. Köhler (1818-1873), dibantu Kolonel C.E. van Daalen (1863-1930) dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku Kepala Staf. Jumlah kekuatan yang disiapkan Belanda seluruhnya terdiri dari 168 opsir, 3.198 serdadu (1.098 Belanda dan 2.100 orang Indonesia asli), 31 ekor kuda perang untuk opsir, 149 ekor kuda untuk serdadu, 100.026 orang hukuman dari Jawa, 220 janda, 8 pasangan suami isteri, dan 300 buruh.
Penyerangan Belanda kali pertama ini gagal dan harus dibayar mahal oleh Belanda, di mana pada 14 April 1873 pimpinan pasukan Belanda, Jenderal Mayor J.H.R. Köhler ditembak di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh oleh angkatan perang kerajaan Aceh, sehingga dia berucap, “O God, Ik ben getroffen” (ya Tuhan, aku kena). Itulah ucapan terakhir yang keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya. Sang Jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Belanda tidak mengira akan mendapatkan perlawanan setangguh ini. Aceh pada akhir abad ke-19 adalah dua wilayah merdeka di Asia Tenggara bersama Thailand yang belum dapat dikuasai bangsa Eropa.
Kisah Perang Aceh Belanda ini dicatat oleh wartawan perang Belanda, Paul van’t Veer dalam bukunya, De Atjeh-Oorlog. Menurut dia, perang Aceh Belanda ini dimulai pada 26 Maret 1873 berakhir pada 1942. Ia membaginya dalam empat babak: Pertama, perang 1873; Kedua, perang yang terjadi 1874-1880; Ketiga, perang 1884-1896, dan; Keempat, perang 1898-1942.
Dijelaskannya, bahwa Belanda hampir 69 tahun tak henti-hentinya berperang di Aceh. Aceh adalah negara yang paling akhir dimasukkan ke dalam pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia), dan yang mula-mula sekali pula keluar dari padanya pada 1942. Banyak pahlawan Kerajaan Islam Aceh Darussalam syahid kena peluru atau kelewang Marsose Belanda. Begitu juga ada tokoh-tokoh Aceh yang berkhianat pada negerinya dan memihak kepada Belanda. Dalam sejarah Aceh juga tercatat munculnya kaum wanita yang berdiri di depan melawan penjajahan negerinya.
Paul van ‘t Veer juga mencatat kisah kekejaman yang dilakukan oleh Belanda dan pasukan Netherland Indie di Aceh, di antaranya seperti kisah Kapten Christoffel, yang mendapat perintah pada 1907 dari Gubernur Swart, untuk mematahkan perlawanan sisa-sisa pejuang Aceh yang dipimpin oleh Cut Meutia, Tgk Chik Paya Bakong dan Tgk Chik Seupot Mata di Keureuto. Gubernur Swart memerintahkan si Kapten: “Kau usahakan pemberontakan berakhir di Keureuto dan dalam hal ini kau boleh bertindak keras sekali.” Christoffel menjawab “In orde zijn (bereslah)”.
Zentgraaff juga menyatakan ucapan, In orde zijn itu mengakibatkan tindakan kekerasan yang dahsyat sekali dilakukan dengan cara sangat sistematis. Akibatnya, Belanda dalam melakukan aksi pendudukan di Aceh tidak segan-segan setiap malam memeriksa rumah-rumah kampung. Bila ada lelaki yang tidak ada di rumah, pintunya diberi tanda silang dengan kapur. Esoknya, pagi-pagi buta, rumah-rumah itu disatroni lagi. Jika ada lelaki di rumah itu dan tidak bisa memberi keterangan memuaskan soal apa yang dilakukannya pada malam hari, pasukan Belanda tak segan-segan mencabut nyawa mereka.
Tetap semangat
Walau demikian, pejuang-pejuang kerajaan Aceh baik lelaki maupun perempuan tetap semangat untuk melawan Belanda yang menjajah negerinya. Bahkan, Zentgraaf sangat terkagum terhadap wanita Aceh yang gagah berani. Di medan-medan perang mereka menjalankan tugas tempur dengan keberanian tak takut mati sehingga sering mengalahkan seorang pria. Sampai pada detik-detik darah penghabisan dan merenggut nyawanya, dengan perasaan jijik dan amarah, mereka masih meludahi muka kami yang merampas kemerdekaan negerinya.
Satu bukti korbannya tentera Belanda di Aceh sekarang masih dapat dilihat di kuburan Belanda, Kerkhof Peutjoet kompleks pekuburan militer Belanda (Dutch Graveyard) berukuran 150 x 200 meter yang berlokasi di Jalan Teuku Umar, Gampong Sukaramai (Blower), Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Di mana, lebih 2.200 tentera KNIL Belanda terbaring kaku di sana, sehingga F.V.D Veen ketua Yayasan Peutjoet mengatakan pada 1984 lebih dari 40 tahun tentara kami harus berperang di Aceh demi mendapatkan negeri ini tunduk pada pemerintahan kami. Perang ini telah mengorbankan banyak jiwa. Dan lebih 2.200 tentera KNIL terbunuh di sini (Peutjoet, 1984).
Momentum perang Aceh sudah harus menjadi spirit bagi kita untuk melihat bagaimana keteguhan sebuah keputusan. Perang harus dijadikan sebagai inspirasi bagi orang Aceh untuk bangkit dan melawan lupa. Sejarah kehidupan perang di Aceh juga harus menjadikan referensi bagi pembangunan Aceh. Orang Aceh harus bersatu melawan dirinya, untuk memperkuat setiap agresi zaman now yang akan datang kapan saja membuat Aceh konflik lagi.
Hari ini, Aceh telah damai. Proses damai telah dilalui dengan darah syuhada yang tidak boleh kita lupa dan permainkan dengan perilaku dan kata-kata yang saling merendahkan martabat sesama orang Aceh. Orang Aceh harus selalu bersyukur bahwa syuhada yang telah mengorbankan nyawanya, menjadikan Aceh masih dikenal dalam peta dunia.