Citizen Reporter
Di Jepang, Tak Ada Murid yang Tinggal Kelas
BERADA di Jepang, bukan impian saya sebelumnya, tapi dikarenakan banyak informasi dan jaringan maka
Di Jepang, para guru sangatlah sopan dan sabar. Kalaupun ada segelintir guru yang marah, tapi mereka tidak pernah sampai memukul muridnya. Di Jepang juga tidak ada anak-anak yang tinggal kelas. Murid yang rendah prestasi belajarnya, wajib mendapat pelajaran tambahan pada jam sekolah, jadi mereka dapat naik kelas sampai tamat.
Satu hal lagi yang istimewa, karakter orang Jepang cenderung sangat menghormati orang lain dan taat aturan. Pemerintah Kota Kyoto juga mempunyai tanggung jawab untuk membayar transportasi pelajar sehingga mereka tak perlu mengeluarkan uang sendiri.
Kedua, kesibukan saya sebagai narasumber di Jepang. Program ini menjadi kegiatan sampingan saya untuk berbicara tentang program pengenalan budaya Indonesia yang presentasinya disampaikan dalam bahasa Jepang. Poin penting dalam program ini adalah saya dapat memberikan informasi tentang Indonesia supaya anak-anak Jepang tahu tentang Indonesia. Saya sering diminta menyampaikan bahan materi di SD tentang aisatsu (menyapa), makanan, budaya tradisional, permainan anak-anak, dan tempat wisata menarik di Indonesia.
Di Jepang aisatsu itu sangat penting diterapkan dalam kebiasaan mereka dengan mengucapkan ohayogozaimasu (selamat pagi), konichiwa (selamat siang), dan arigatougozimasu (terima kasih) dan gomennasai (maaf) kalau ada kesalahan. Ini sering kita jumpai hampir di setiap lingkungan kerja, pendidikan, dan ruang publik.
Untuk tingkat siswa SMA materinya lebih tinggi lagi. Misalnya, tentang sejarah Jepang di Indonesia, tsunami, dan perbedaan antara Indonesia dan Jepang dalam hal sosial budaya. Hampir setiap bulan saya diminta menjadi narasumber di sekolah-sekolah. Saat ini ada sekitar sepuluh sekolah tempat saya berpartisipasi dalam program pengenalan budaya Indonesia.
Ketiga, di kampus tempat saya belajar (Ritsumeikan Univertsity), mahasiswa bisa mendapatkan segala informasi melalui e-mail kampus, baik tentang budaya, TA, maupun kegiatan lainnya yang tersedia untuk mahasiswa. Dalam berbagai kegiatan saya tertarik ikut TA untuk program bahasa Inggris di SMA Ritsumeikan. Dalam program ini, mahasiswa asing boleh ikut, setelah proses seleksi akan dipanggil untuk ikut kelas bersama siswa SMA. Biasanya durasi program ini bisa 2-3 bulan dan satu jam dibayar Rp 150.000 untuk mahasiswa S3, sedangkan untuk mahasiswa S2 lebih rendah.
Dalam proses belajar, TA hanya mendengar dan memberi komentar serta mengajukan pertanyaan dalam kelompok diskusi yang mereka lakukan khusus untuk mata pelajaran bahasa Inggris. Metode ini digunakan supaya siswa lebih confidence untuk bicara dan tampil di muka kelas. Menariknya, materi presentasi ditentukan, yakni mengenai lingkungan internasional secara global dan bahannya dapat di-searching di Google, sesuai dengan tema per grup.
Di tingkat SMA mereka sudah mulai diarahkan mendesain brosur, membuat powerpoint, dan melakukan presentasi dalam bahasa Inggris. Pernah saya dampingi satu kelas, ada beberapa kelompok yang membuat hasil diskusi mereka tentang fasilitas sekolah. Intinya, mereka ingin sekolah menyediakan tempat tidur dan tempat santai khsusus. Walaupun keinginan ini belum terwujud (itu hanyalah sebuah impian terkait dengan perasaan siswa), tapi kegiatan sekolah tetap terus berjalan sesuai dengan aturan sekolah dan peraturan yang telah ditentukan.