Opini
Tegak Lurus Adat Aceh dan Syariat Islam
ARTIKEL “Adat Aceh Milenial” oleh Mulyadi Nurdin (MN) di ruang Serambi Opini (Serambi, 25/10/2018), menarik dibahas lebih lanjut
Selain itu, jika merujuk ke teori fitrah (Ibnu Khaldun dalam Warul Walidin, 2005), adat Aceh (juga adab) merupakan wujud pengejawantahan (manifestasi/tajalli) dari akhlak; dan akhlak merupakan aktualisasi (bentuk nyata) dari fitrah (potensial). Fitrah dan akhlak bersifat universal (berlaku di mana saja, kapan saja).
Sedangkan adat (juga adab) mengikuti konsep ruang-waktu; dinamis (beda tempat, beda masa; beda adat dan adabnya). Terkait metode pembiasaan atau pendisiplinannya, adat dilakukan dengan pendekatan tarbiyah (pendidikan) dan siyasah (politik). Sedangkan adab dengan pendekatan tarbiyah dan tarikat (jalan menuju insan bertakwa melalui penyucian jiwa).
Dengan memahami konstruksi adat Aceh secara utuh, dari akar hingga cabang-cabangnya, kekhawatiran MN sebagaimana dinyatakan dalam tulisan “Istilah adat dan milenial terkesan memiliki makna yang berjauhan, dan perilaku generasi manusia terhadap adat juga berbeda. Generasi terdahulu sangat berpegang teguh pada nilai adat, sedangkan kaum milenial terkesan jauh dari nilai adat budaya” dapat diantisipasi sejak dini. Caranya dengan pendekatan kesadaran melalui pendidikan dan keteladanan dari generasi yang lebih tua atau aturan-aturan adat.
Sementara itu, usulan MN supaya keterlibatan generasi milenial dalam berbagai tingkatan struktur lembaga adat, perlu dipertimbangkan dengan bijaksana. Karena menjadi pemangku lembaga adat mesti memenuhi empat kriteria penting sebagaimana diungkapkan beberapa tuha adat yang pernah saya jumpai, yaitu tuha (aspek otoritas, layak dipilih sebagai peutua adat), tuhoe (aspek kapasitas, memiliki pengetahuan dan kearifan yang komprehensif terkait adat), tupeu (aspek kapabilitas, memiliki kemampuan teknis dan operasional penyelenggaraan adat), dan teupat (aspek integritas, seiring kata dengan perbuatan; memiliki rekam jejak yang baik).
Akhirnya, dengan dukungan dan kerjasama berbagai pihak, penyelenggaraan adat Aceh dengan terminologi “Tegak Lurus Adat Aceh dan Syariat Islam” dapat kita jadikan sebagai agenda perjuangan bersama, baik melalui agenda pengetahuan (pengkajian dan penulisan), agenda komunitas (masyarakat mukim-gampong) dan agenda kebijakan (berbagai tingkatan pemerintahan). Semoga!
* Muhammad Taufik Abda, pengkhidmat adat, gampong dan mukim; juga peneliti Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: mtaufikabda@yahoo.com